Tanpa R.A. Sutartinah rasanya R.M. Suwardi Suryaningrat tidak akan menjadi sosok Ki Hajar Dewantara. Pikiran itu sekilas melintas di benak saya ketika membaca buku lawas berjudul Nyi Hajar Dewantara yang ditulis oleh B.S. Dewantara (1979).

Bukan tanpa alasan jika memandang R.A. Sutartinah atau Nyi Hajar Dewantara sebagai sosok di balik suksesnya karir perjuangan Ki Hajar Dewantara. Sebab, Sutartinahlah yang selalu menjadi pemantik api perjuangan Suwardi.

Tatkala Suwardi mulai menerjunkan diri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, prestasinya di STOVIA menurun. Sehingga, dia mendapat teguran dari orang tuanya, melalui pesan yang dititipkan kepada Sutartinah, bahwa: “…jangan melibatkan diri pada gerakan-gerakan politik lebih dulu. Nanti saja kalau kau sudah jadi dokter (lulus dari STOVIA), terserah padamu kalau ingin bergerak dan berjuang.”

Perlu diketahui bahwa Suwardi dan Sutartinah waktu itu telah punya status sebagai pasangan “nikah gantung”. Dalam arti, sudah memiliki hubungan yang disahkan di depan penghulu pada 4 November 1907, namun belum berkumpul sebagai suami-istri dalam satu atap rumah tangga hingga saat pernikahan mereka sepenuhnya diresmikan.

Mendengar pesan dari orang tuanya, hati Suwardi mulai mengecil. Untunglah, dia memberanikan diri bertanya pada Sutartinah: “Apakah amanatmu sendiri buatku?”

“Apabila angin mulai baik, mengapa tak kaukembangkan layarmu sekarang juga?” Jawab Sutartinah.

Kalimat singkat itu menyuburkan semangat perjuangan di hati Suwardi, sehingga sejak itu dia pun benar-benar menerjunkan diri dalam pentas perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mulai dari merintis karir sebagai jurnalis, terjun dalam perjuangan politik, hingga bergerak dalam dunia pendidikan (mendirikan Taman Siswa). Dan, Sutartinahlah yang selalu membersamainya dalam setiap perjuangan bangsa.

Ketika Ki Hajar Dewantara masih bimbang menerjunkan diri dalam gerakan pendidikan, Sutartinah tampil sebagai suporter terbaiknya. Kata Sutartinah untuk menguatkan suaminya: “Kita tak usah khawatir dikatakan orang meninggalkan perjuangan. Dunia pendidikan adalah dunia perjuangan juga….” Sutartinah selalu punya cara mendukung perjuangan suaminya.

Tidak heran jika Douwes Dekker sampai berkata pada Suwardi: “Seharusnya kau mulai menyadari Wardi, bahwa apapun yang terjadi kamu dan Tinah tidak boleh berpisah sedetik pun juga.”

Sebab, tanpa Sutartinah, Suwardi ibarat burung yang kehilangan sayapnya. Sutartinah merupakan istri yang selalu setia pada suaminya. Tidak hanya sebagai ibu dalam rumah tangga, namun juga rekan dalam setiap episode perjuangan suaminya.

Orang-orang mungkin mengenal Ki Hajar Dewantara dalam 3 serangkai Indiesce Partij: Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), Douwes Dekker, dan Sucipto Mangunkusumo. 4 serangkai dalam PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat): Ir. Sukarno, Dr. Moh. Hatta, K.H. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantara. Namun, dalam setiap episode perjuangan sang pahlawan ini, sejak awal hingga akhir, sejatinya hanya ada 2 serangkai, yaitu Suwardi dan Sutartinah (Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara).

Pertemuan pasangan ini seakan telah menjadi garis takdir dari harapan Nyi Ageng Serang. Di penghujung umurnya, Nyi Ageng Serang berkata kepada cucunya, Ali Basah Notoprojo: “Aku bermohon kepada Tuhan, apabila aku tidak sempat menyelesaikan tugasku hari ini, semoga kelak ada di antara anak cucu atau cicit-cicitku yang menjalin hidup dan perjuangannya bersama anak cucu atau cicit Kaki Aryo Diponegoro, agar perjuangan kita melawan penjajahan Belanda dapat kita kobarkan terus.”

Harapan Nyi Ageng Serang terpenuhi tatkala cicitnya, R.M. Suwardi Suryaningrat, menikah dengan cicit Pangeran Diponegoro, R.A. Sutartinah. Dan, sebagaimana mimpi Nyi Ageng Serang bahwa pasangan ini meneruskan perjuangan mereka dalam melawan penjajah.

R.A. Sutartinah tidak hanya perempuan yang mewarisi garis darah Pangeran Diponegoro, namun juga dirinya memiliki semangat dan jiwa merdeka sang pangeran.

Dari jalur ayahnya, Pangeran Sasraningrat, Sutartinah merupakan keturunan Sri Paku Alam, sehingga masih terhitung sebagai kerabat Pangeran Suryaningrat, ayahnya Suwardi. Dan, dari ibunya, Dyah Ayu Sasraningrat (R.A. Mudmainah), dia merupakan canggah Pangeran Diponegoro.

Meski memiliki dua garis keturunan bangsawan besar tanah Jawa, namun dirinya tidak sombong dengan itu. Sejak kecil, ibunya sering mengajarkan bahwa Pangeran Diponegoro bukan sekadar bangsawan karena keturunan, namun sebab sikap lahir dan batin yang mulia serta punya jiwa kesatria, sehingga dihormati rakyat, bahkan lawan pun kagum padanya.

Sutartinah selalu mendengarkan hikayat Pangeran Diponegoro langsung dari ibunya yang merupakan cicit sang pangeran. Tidak heran kalau semangat nasionalismenya sudah terbangun sejak kecil.

Meski sinyo-sinyo Belanda di tempat Sutartinah sekolah sering mengejeknya sebab merupakan keturunan “Brandal” Diponegoro (di masa itu Pangeran Diponegoro mendapat stempel sebagai brandal/pemberontak). Namun, sedikit pun Sutartinah tidak pernah malu, sebaliknya dia sangat bangga sebagai keturunan Pangeran Diponegoro.

Bagi Sutartinah, Pangeran Diponegoro bukanlah seorang brandal, melainkan pejuang yang dengan gagahnya melawan penjajah.

Dalam buku B.S. Dewantara berjudul Nyi Hajar Dewantara, terdapat cerita menarik yang sekilas bisa menggambarkan bagaimana nasionalisme Sutartinah kecil.

Suatu waktu, di tahun 1903, seorang murid laki-laki Belanda bernama Karel mengatakan bahwa Belanda datang ke Jawa (baca: Nusantara) membawa peradaban dan kebudayaan baru. Karena, orang-orang Nusantara waktu itu masih primitif dan tidak mengenal Tuhan.

Meski umurnya saat itu baru 13 tahun, namun dengan epiknya Sutartinah membantah pernyataan demikian: “Itu tidak benar. Jangankan pada zaman kedatangan orang-orang Belanda, sedangkan pada waktu orang Hindu yang pertama datang ke pulau Jawa, penduduk pribumi di sini sudah mengenal Tuhan, meskipun namanya bukan ‘God’ seperti diucapkan oleh orang-orang Belanda.”

Sebab tidak mampu membantah pernyataan Sutartinah, si Karel malah mengatainya bodoh, cucu raja goblok, dan keturunan brandal. Mendengar penghinaan yang amat terlalu itu, Sutartinah pun berkata: “Kalau Eyang Retnaningsih (istri Pangeran Diponegoro) berani menampar seorang kontrolir Belanda, mengapa aku tidak?” Seketika telapak tangan Sutartinah mendarat di pipi si murid Belanda.

Akibat peristiwa ini pihak sekolah mengirimkan surat untuk Pangeran Sasraningrat dengan harapan tidak membiarkan anaknya membawa pikiran-pikiran politik di sekolah. Dan, mengetahui Sutartinah telah menampar seorang murid Belanda, ayahnya pun memberi pesan kepadanya:

“Kalau ada orang Belanda menghinamu sebagai keturunan Paku Alam ke-III yang goblok, atau menghinamu sebagai keturunan brandal Diponegoro, janganlah kamu gusar. Tapi berbanggalah bahwa kamu ini keturunan pejuang-pejuang yang gigih menentang penjajahan Belanda. Tapi meskipun demikian Tinah, selesaikanlah dulu sekolahmu. Carilah dulu kepandaian sebanyak-banyaknya. Sebab yang perlu kautampar bukan hanya seorang Belanda Karel saja, tetapi seluruh penjajah Belanda itu.”

Alangkah besar hati Sutartinah mendengar pesan ayahnya. Perkataan itu semakin menumbuhkan jiwa nasionalisme dalam dirinya. Sehingga, tumbuhlah Sutartinah menjadi sosok pejuang kemerdekaan, melanjutkan semangat para pendahulunya. Dan, jika leluhurnya berjuang di medan perang, Sutartinah melanjutkan perjuangan mereka di medan pendidikan.

Sejak awal, medan perjuangan Sutartinah adalah pendidikan. Meski sebagai keturunan bangsawan, itu tidak membuatnya sombong. Sebaliknya, dia sangat dekat dengan rakyat, dan sering berbagi pengetahuan dengan anak-anak dari golongan masyarakat umum yang sulit mendapatkan pendidikan.

Pada 1928, ketika Suwardi Suryaningrat berusia 40 tahun, dirinya dengan resmi menggunakan nama Ki Hajar Dewantara. Saat itu, tentu Sutartinah pun menjadi Nyi Hajar Dewantara.

Sebelumnya, pada 1922, Ki Hajar Dewantara bersama rekan-rekannya mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa. Gerakan ini maju pesat dalam kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Eksisnya Taman Siswa tentu tidak lepas juga dari peran Nyi Hajar Dewantara, yang sebagai seorang guru telah memahami seluk-beluk perjuangan di medan pendidikan. Hal ini sangat membantu Ki Hajar Dewantara dalam memajukan Taman Siswa.

Dalam gerakannya, Nyi Hajar Dewantara merintis organisasi Wanita Taman Siswa untuk membantu fokus pendidikan di kalangan perempuan. Dan, sebagaimana dijelaskan Thera Widyastuti dalam tulisannya tentang Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang, yang terbit di Jurnal Wacana bahwa, terlaksananya Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta, pada 22 Desember 1928, adalah digagas oleh 3 perempuan, yaitu Nyi Hajar Dewantara, Suyatin, dan Sukonto.

Kongres tersebut bertujuan untuk membangun kesadaran kaum perempuan di Indonesia agar bisa bersatu dalam upaya perjuangan kemerdekaan dan persamaan hak.

Ketika Ki Hajar Dewantara mangkat pada 26 April 1959, kepemimpinan Taman Siswa diemban oleh Nyi Hajar Dewantara. Dia pun sukses memimpin Taman Siswa. Hingga wafatnya pada 16 April 1971 M, telah banyak gerakan perjuangan untuk negeri yang dilakukannya.

Leave a Response