Pada abad ke-19, dunia Islam mengalami masa suram, terbelakang, dan banyak negara muslim yang sedang menghadapi penduduk asing. Saat itulah muncul seorang pembaharu Mesir bernama Jamaluddin al-Afghani  (w. 1897 M.) yang mengumandangkan seruan untuk membangkitkan kaum muslimin.

Semangat pembaharuan Jamaluddin al-Afghani yang berangkat dari respons sosial politik tersebut diikuti oleh para muridnya. Muhammad Abduh (w. 1905 M.) adalah salah satu murid al-Afghani yang sejalan dengan pemikirannya dalam mengadakan reformasi. Mereka berusaha mencari kesesuaian antara al-Qur’an dan norma yang berlaku di masyarakat pada saat itu.

Hal serupa digerakkan oleh pemikir India, seperti Sayyid Ahmad Khan (w. 1898 M.) dan Muhammad Iqbal (w. 1938 M.). Mereka berpendapat bahwa pemahaman fleksibel terhadap Islam dan sumber-sumbernya merupakan hal yang mampu mengembangkan pandangan yang sesuai dengan era modern.

Salah seorang tokoh revolusioner sekaligus mufasir yang mengikuti jejak Sayyid Ahmad Khan adalah Maulana Abul Kalam Azad. Dalam hal ini, Azad berperan besar dalam menanamkan nasionalisme India yang akhirnya mendorong kemerdekaan India.

Keberhasilan tersebut selalu dihubungkannya dengan keyakinannya terhadap petunjuk Al-Qur’an yang memang mendukung usahanya tersebut. Ide Azad tentang petunjuk Al-Qur’an dituangkan dalam salah satu mahakaryanya, Tarjuman al-Qur’an.

India memiliki posisi penting dalam sejarah peradaban dan pembaharuan pemikiran Islam. Benih yang ditanam Syah Waliyullah kemudian dipupuk dan dikembangkan oleh para penerusnya. Kondisi politik dan sosial pada waktu itu membuat setiap tokoh memiliki cara tersendiri untuk menghidupkan api Islam di tanah India.

Para tokoh pembaharu Islam menginginkan adanya negara tersendiri yang menjadi rumah bagi umat Islam. Hal tersebut dikarenakan sejarah dan realitas membuktikan bahwa sangat sukar bagi umat Islam jika hidup berdampingan dengan masyarakat mayoritas Hindu India.

Dalam hal ini, Azad menginginkan agar Islam dan Hindu bersinergi menentang penjajahan Inggris untuk menciptakan negara India merdeka, di mana muslim dan umat Hindu dapat hidup berdampingan dengan baik.

Prinsip tersebut yang membuat Azad setia kepada partai Kongres India dan menjadi salah seorang tokoh penting serta beberapa kali pernah menjadi menteri pendidikan mewakili partai tersebut. Maka, wajar jika ia dianggap muslim India yang paling berpengaruh di setiap golongan masyarakat, baik kalangan intelektual maupun orang awam.

Sayyid Ahmad Khan dan Azad memiliki pandangan berbeda dalam menentukan konsep negara. Ahmad Khan lebih cenderung kepada pendirian satu negara tersendiri yang memisahkan Islam dan Hindu. Sementara itu Azad menginginkan satu negara di mana Hindu dan Islam dapat hidup bersama.

Akan tetapi, ada pemikiran keagamaan Azad yang kontroversi, khususnya dalam masalah kesatuan agama. Dalam hal ini, ia seakan menganggap bahwa semua agama pada hakikatnya benar jika setiap pemeluknya menjalankan agama mereka dengan baik.

Maulana Abul Kalam Azad lahir dari seorang ibu yang merupakan keturunan Arab. Ia tumbuh di atmosfer Islam. Islam seolah-olah sudah mengalir dalam darahnya.

Azad mengakui bahwa ia terinspirasi oleh tulisan-tulisan Sir Sayyid Aḥmad Khan untuk menguasai Bahasa Inggris dan ilmu-ilmu modern lainnya.

Sejak itu ia mulai membaca Bibel berulangkali, hingga yang dalam edisi Urdu dan Persia, secara detail. Ia juga mulai membaca berbagai literatur sejarah dan filsafat dalam Bahasa Inggris.

Azad menimba ilmu di perguruan-perguruan Mekkah dan Kairo. Selama itu, ia hanya memperoleh pengetahuan Bahasa Arab dan agama.

Ia mempelajari seputar pengetahuan Bahasa Inggris dan ilmu-ilmu pengetahuan modern Barat di India dengan usahanya sendiri. Ia pun tidak ingin menjadi ulama seperti orang tuanya, tetapi ia bercita-cita untuk menjadi pengarang dan politikus.

Pemikiran Azad dalam bidang agama tidak seliberal pemikiran Ahmad Khan. Ia lebih bersifat moderat. Ia bertujuan melepaskan umat Islam dari pemikiran-pemikiran abad pertengahan dan taqlid. Ia menganjurkan kembali kepada Al-Qur’an.

Oleh karena itu, Azad menerjemahkan sekaligus menafsirkan al-Qur’an ke dalam Bahasa Urdu. Al-Qur’an harus dipahami terlepas dari pengaruh pemikiran ahli hukum, sufi, teolog, filosof, dan sebagainya.

Visi Azad dibatasi oleh ketergantungan eksklusif pada kitab, namun ia lebih mengedepankan visi yang tentu lebih bersifat manusiawi dan penuh kasih. Ia menggunakan kreativitasnya untuk memperluas dan meliberalisasi pesan dari Al-Qur’an.

Azad tidak hanya bercita-cita membekali umat Islam untuk menghadapi tantangan zamannya, tetapi juga menyediakan sanksi doktrinal persatuan Hindu-Muslim dan persaudaraan umat manusia.

Dalam hal ini, Azad tidak dapat menyamai dorongan kemanusiaannya dan inspirasi al-Qur’an dengan pengetahuan modern tentang fisika dan ilmu sosial.

Azad terjun dalam kancah politik sejak muda. Ia bergabung dengan Partai Kongres. Aktivitasnya di lapangan membuat ia beberapa kali ditangkap dan dipenjara. Pada tahun 1923, dalam usia 35 tahun, ia dipilih menjadi Presiden Partai Kongres.

Pada tahun 1940, ia dipilih kembali  menjadi  Presiden.  Selama  hidupnya ia memegang jabatan penting dalam Partai Kongres. Setelah India merdeka, ia menjadi Menteri Pendidikan India. Azad wafat pada tahun 1958 M.

Azad memberikan kontribusi terhadap perjuangan kemerdekaan India dan turut serta untuk mengembangkan spirit nasionalisme di India. Ia merupakan seorang tokoh yang menjulang tinggi di antara pemimpin nasionalis pada umumnya dan di antara Muslim India pada khususnya.

 

Sumber bacaan:

Asghar Ali Engineer, “Theological Creativity of Abul Kalam Azad”, Journal Indian Literature, Vol. 31, No. 4, 1988.

Asghar Ali Engineer, “Review; Azad: Paragon of Syncretism”, Journal Economic and Political Weekly, Vol. 33, No. 41, 1998.

Mawlana Abul Kalam Azad, The Tarjuman al-Qur’an, ed. Syed Abdul Latif, Hyderabad: Pragati Art Printers, 1981, Cet. III, Vol. I-II.

Leave a Response