Meriwayatkan hadis, umumnya dilakukan oleh laki-laki. Namun, ketika menilik lebih jauh dalam sanad suatu hadis, ditemukanlah nama-nama perempuan dalam suatu sanad. Walau jumlahnya amat sedikit jika dibandingkan dengan perawi laki-laki namun tidak menutup fakta bahwa perempuan juga berperan dalam meriwayatkan hadis.

Pelopor perawi perempuan ini tidak lain ialah Sayyidah Aisyah ra. yang berkontribusi secara signifikan sebagai salah satu perawi utama hadis Rasulullah saw. Beliau juga berperan dalam mengkritik hadis yang diriwayatkan sahabat lain jika ada yang kurang sesuai.

Sebuah hadis dikategorikan shahih jika diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil (tidak melakukan dosa dan kesalahan besar) dan dlabith (kuat ingatannya) dengan sanad yang bersambung. Telaah terhadap pribadi perawi  ini dapat dipelajari dalam ilmu jarh wa ta’dil perawi hadis. Penelitian jarh dan ta’dil mencakup dalam banyak hal dalam riwayat hidup perawi, di antaranya catatan ulama terhadapnya, sanad keilmuan murid-guru, juga kondisi sosial pada masa lahir hingga wafatnya.

Hadis yang diriwayatkan oleh perawi perempuan melalui tahapan yang sama dengan perawi laki-laki dalam hal kategorisasinya. Apakah ia termasuk perawi yang maqbul (diterima) atau mardud (ditolak) riwayatnya. Tidak ada diskriminasi gender dalam hal ini.

Salah satu yang meneliti peranan perempuan dalam merawi hadits ialah Oga Satria, dosen IAIN Kerinci. Melalui program Bedah 60 Tesis dan Disertasi Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta, Oga menjelaskan ada sejumlah nama perempuan ulama yang tercantum dalam sanad hadis dalam karya Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani yang ia teliti. Kedua kitab yang diteliti ialah kitab Al-Arba’un Hadithan min Arba’in Kitaban ‘an Arba’in Syaikhan dan kitab al-Arba’un al-Buldaniyah.

Syaikh Yasin al-Fadani, dalam setiap hadis dari kedua kitab tersebut menuliskan empat bagian pokok. Bagian pertama, sanad dari guru Syaikh Yasin sampai murid al-mukharrrij (al-Bukhari, Muslim, dll). Bagian kedua sanad dari al-mukharrij sampai pada Rasulullah. Bagian ketiga  matan hadis. Sedangkan, bagian ke empat berisi tanggapan Syaikh Yasin terhadap kesahihan hadis tersebut. Dari kedua kitab tersebut, tertulis 18 nama perawi perempuan.

Perawi perempuan tersebut antara lain: Khadijah bint Ali bin al-Mulakkin (788 H/1386 M – 873 H/1469 M), Juwairiyah bint Ahmad al-Hakkari (704 H/1305 M – 784 H/1382 M), Al-Musnidah Ibnah Abi Bakr bin Ayyub (603 H/1207 M – 693 H/1294 M), Umm Hani’ bint Ahmad bin ‘Abdullah al-Fariqaniyyah (510 H/1116 M – 606 H/1210 M), Fatimah bint ‘Abdullah bin Ahmad al-Jauzadjaniyah (425 H/1034 M – 524 H/1130 M), Fatimah bint ‘Abdullah al-Dimshiqiyyah, Rajab bint Ahmad al-Qaliji (800 H/1398 M – 869 H/1465 M), Sarah bint ‘Ali al-Subki (734 H/1334 M – 804 H/1402 M), Zainab bint Ahmad bin al-Kamal ‘Abd al-Rahim (646 H/1248 M – 740 H/1340 M), Hajar bin Muhammad al-Maqdisi (790 H/1388 M – 874 H/1470 M), Umm al-Diya’ bint ‘Abd al-Razaq (w. 523 H/1129 M), Sitt al-‘Arab bint Muhammad al-Sa‘diyah (w. 767 H/1366 M)

Dua belas nama di atas ialah perawi yang namanya tercantum dalam kitab Al-Arba’un Hadithan min Arba’in Kitaban ‘an Arba’in Syaikhan.

Sedangkan dalam kitab al-Arba’un al-Buldaniyah tertulis enam nama, antara lain: Umm al-Fadl Hajar bint Muhammad al-Qursiyyah, Umm al-Asrar Fatimah bint ‘Ali bin al-Yasir al-Misriyyah (w. 869 H/1465 M), Sitt al-‘Arab Fatimah bint Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abd al-Wahid al-Sa‘di (w. 767 H/1366 M), Munayyah al-Katibah Jariyah Umm Walad al-Mu‘tamad, Fakhr al-Nisa’ Shuhdah al-Katibah bint Abi Nasr Ahmad al Ibri (484 H/1091 M – 574 H/1178 M), dan Zainab bint Maki al-Harani (624 H/1227 M – 688 H/1289 M).

Oga juga menyebutkan, persentase perawi perempuan pada tiga masa awal (sahabat, tabiin, atbaut tabiin) yang tercantum dalam Kutub al-Tis’ah jumlahnya semakin menurun. Terlebih generasi selanjutnya. Namun kontribusi para perempuan ulama ini tidak berhenti. Mereka pada umumnya meriwayatkan hadis yang berkaitan dengan keperempuanan, seperti haid, melahirkan, dan lain sebagainya.

Beberapa faktor yang menyebabkan penurunan tersebut di antaranya ialah budaya patriarki yang dinarasikan oleh para laki-laki ulama. Terbukti, banyak kitab-kitab fikih yang masih maskulin-sentris. Namun yang mempengaruhi kontribusi perempuan tidak hanya budaya patriarki, kondisi sosiologi, tingkat pendidikan, psikologi, politik, dan ekonomi juga berpengaruh.

Banyaknya golongan shahabiyyat yang turut meriwayatkan hadis menjadi bukti bahwa Rasulullah saw. menjunjung tinggi perempuan dalam ruang intelektual. Satu hal yang amat mengena terhadap peran para perawi perempuan yang jumlahnya sedikit tersebut ialah meraka dapat mencantumkan nama mereka dalam sejarah perawian hadis dari beribu nama perawi laki-laki. Tentu ini merupakan semangat berintelektual yang luar biasa.

Laki-laki dan perempuan dalam Islam berperan secara adil sesuai ‘porsi’. Kodrat sebagai perempuan tidak menjadi alasan bagi perempuan untuk berkembang dan berinovasi. Terlebih di era modern dengan beragam teknologi yang memudahkan dalam mencari ilmu serta kebebasan untuk berpendapat di publik. Tentu hal ini bukan sesuatu yang sama sekali dapat disia-siakan jika para perempuan mau melakukan pergerakan ke arah lebih baik.

 

Leave a Response