Dunia pesantren saat ini sedang berhadapan dengan bergulirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang diinisiasi oleh DPR RI. Namun, belakangan setelah digodok oleh Pemerintah atas masukan berbagai pihak, RUU ini disusuh menjadi  hanya “RUU Pesantren” saja, sehingga dipisahkan dari domain Pendidikan Keagamaan yang sebelumnya memuat jenis-jenis pendidikan dari berbagai agama di Indonesia.

Kendati sudah beberapa tahun digulirkan melalui berbagai kajian diskusi, FGD, workshop, pemberitaan, dan lain sebagainya, tapi nampaknya masih banyak pihak terutama kalangan pesantren sendiri yang belum memahami muatan pasal-pasal yang ada di dalam RUU Pesantren. Hal itu terlihat dari beberapa persepsi kekhawatiran sejumlah kalangan yang menilai RUU tersebut bakal mendekte bahkan melemahkan pondok pesantren.

Landasan RUU Pesantren

Menurut Dr. Ahmad Zayadi (2018), ada 3 aspek yang mendasari mengapa harus ada RUU Pesantren. Pertama, aspek filosofis. Indonesia sebagai Negara demokratis memberikan jaminan bagi setiap warga negara untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, serta memilih pendidikan dan pengajaran dalam satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kedua, aspek sosio-historis. Pesantren dengan kekhasannya tumbuh dan berkembang di masyarakat, berkontribusi penting dalam melahirkan insan beriman yang berkarakter, cinta tanah air dan berkemajuan, serta terbukti memiliki peran nyata dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, pergerakan kebangsaan maupun pembangunan nasional. Berangkat dari situ pesantren juga mempunyai fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat.

Ketiga, aspek yuridis. Peraturan Perundang-Undanan yang ada belum mengakomodir perkembangan aspirasi dan kebutuhan pesantren, serta belum menempatkan pengaturan hukumnya dalam kerangka perundangan-undangan yang integratif dan komprehensif.

Muatan RUU Pesantren

Poin-poin penting yang diatur dalam RUU Pesantren yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden yakni fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan  masyarakat, norma-norma umum penyelenggaraan pesantren, rukun pesantren (arkanul ma’had) dan jiwa pesantren (ruhul ma’had), pendidikan pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, pengelolaan data dan informasi pesantren disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan kekhasan pesantren, pendanaan bagi penyelenggaraan pesantren, kerja sama pesantren dengan lembaga lainnya, hingga partisipasi masyarakat.

Adapun rincian dari isi RUU Pesantren memuat 10 Bab dan 42 Pasal. Kesepuluh bab tersebut terdiri dari; 1) Ketentuan Umum, 2) Asas, Tujuan Dan Ruang Lingkup, 3) Penyelenggaraan Pesantren; 4) Pembinaan; 5) Pengelolaan Data Dan Informasi; 6) Pendanaan; 7) Kerja Sama; 8) Partisipasi Masyarakat; 9) Ketentuan Peralihan; 10) Ketentuan Penutup.

Beberapa pasal sangat penting di antaranya pada Bab 1 Pasal 1, yang dimaksud ‘Pesantren’ di dalam RUU tersebut adalah lembaga yang berbasis dan didirikan oleh masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah, menyemaikan akhlaqul karimah dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia melalui pendidikan, dakwah Islam rahmatan lil’alamin, ketaladanan dan khidmah.

Pada Bab II Pasal 2, penyelenggaraan pesantren berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kebangsaan, kemandirian, pemberdayaan, kemaslahatan, multikultural, profesionalisme, akuntabilitas, keberlanjutan dan kepastian hukum.

Selanjutnya, pada Bab III tentang Penyelenggaraan Pesantren pasal 5 menerangkan bahwa pesantren wajib mengembangkan Islam rahmatan lil’alamin dan berlandaskan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Adapun pasal 6-10 membahas tentang unsur-unsur pesantren, kompetensi kyai, tipologi santri, asrama, masjid/musholla, hingga uraian kajian kitab kuning/dirasah islamiyah.

Dalam Pasal 11-12 berisikan tentang pendirian dan penyelenggaraan pesantren oleh masyarakat di mana nantinya akan di atur oleh dengan Peraturan Menteri, namun tetap menampilkan kekhasan, yang mencerminkan tradisi, kehendak dan cita-cita, serta ragam dan karakter pesantren.

Sedangkan untuk Pasal 13-31 membahas mengenai tiga fungsi pesantren yang terdiri dari fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Pasal ini menyatakan bahwa pesantren sebagai penyelenggara fungsi pendidikan merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, Pasal 14 menyebutkan pesantren dapat menyelenggarakan pendidikan formal (jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi) dan pendidikan nonformal (pengajian kitab kuning).

Selain itu, kurikulum pendidikan muadalah dan pendidikan diniyah formal juga dijelaskan di dalam Pasal 15-16. Kedua pasal ini berisi rumusan mengenai kurikulum keagamaan Islam (berbasis kitab kuning) dengan pola mu’allimin dan kurikulum umum (seperti pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, seni dan budaya).

Disebut pula Ma’had Aly pada Pasal 17 di mana statusnya sebagai pendidikan tinggi berbasis pesantren itu memiliki otonomi untuk mengelola lembaganya, seperti soal jenjang program (S1, S2, S3), konsentrasi kajian, dan kurikulumnya.

Yang menarik, pada Pasal 18-19 menyebutkan bahwa lulusan pendidikan pesantren jalur nonformal diakui sama dengan pendidikan formal pada jenjang tertentu setelag lulus ujian, sehingga bisa melanjutkan ke pendidikan formal yang lebih tinggi.

Masih pada pesantren dalam fungsi pendidikan, dalam Pasal 20 dijelaskan bahwa ada pengembangan sistem penjaminan mutu dari kementerian yang berfungsi mengendalikan penyelenggaraan pendidikan pesantren sekaligus melindungi kemandirian dan kekhasannya agar tetap bermutu. Sedangkan Pasal 21-23 menguraikan mengenai kompetensi dan kualifikasi tenaga kependidikan pendidikan pesantren.

Dalam fungsi dakwah pada Pasal 24-28, pesantren menyelenggarakan dakwah kegiatan dakwah yang berorientasi pada terwujudnya Islam rahmatan lil’alamin. Hal ini dalam rangka memberikan pembinaan dan mengajak masyarakat kepada kebaikan sesuai tuntunan agama Islam, dengan tetap memperhatikan tradisi dan kebudayaan, kerukunan hidup umat beragama, dan selaras dengan nilai-nilai kebangsaan serta cinta tanah air. Dakwah yang dilaksanakan oleh pesantren dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengajaran, ceramah, kajian, diskusi, seni dan budaya, hingga media dan teknologi informasi.

Selanjutnya, dalam fungsi pemberdayaan masyarakat yang termuat pada Pasal 29-31, pesantren dapat menyelenggarakan fungsi itu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan pesantren dan masyarakat. Tentu saja, pemberdayaan tersebut dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia yang mandiri dan memiliki keterampilan serta mampu berperan aktif dalam pembangunan.

Pada Bab IV Pasal 32-34 membicarakan tentang Pembinaan Penyelenggaraan Pesantren yang dilakukan oleh Kementerian dalam rangka peningkatan peran pesantren dalam tiga fungsinya dan peningkatan dalam manajemen mutu pesantren. Pembinaan tersebut bisa dalam bentuk layanan dan kemudahan, kerja sama program, fasilitasi kebijakan, dan pendanaan.

Perihal Pengelolaan dan Data Informasi, masuk tercantum pada Bab V Pasal 35 yang berisi peran Kementerian dalam mengembangkan sistem informasi dan manajemen untuk mengelola data dan informasi pesantren dalam rangka pengendalian, pembinaan, dan sistem penjaminan mutu.

Adapun Bab VI menerangkan tentang Pendanaan yang pada Pasal 36  berisi mengenai peran Pemerintah dalam membantu pendanaan penyelenggaraan pesantren melalui APBN sesuai dengan kemampuan keuangan negara.

Selanjutnya, pada Bab VII pasal 37 tentang Kerja Sama dalam rangka meningkatkan peran dan mutu pesantren baik bersifat nasional maupun internasional, bisa dalam bentuk pertukaran peserta didik, olimpiade, sistem pendidikan, kurikulum, bantuan pendanaan, pelatihan dan kerja sama lainnya.

Kaitannya dengan fungsi pemberdayaan, pada Bab VIII Pasal 38 membahas Partisipasi Masyarakat yang bentuk partisipasinya dapat berupa bantuan program atau pembiayaan, mendukung kegiatan, mutu serta standar pesantren.

Kemudian pada Bab IX mengenai Ketentuan Peralihan yang diuraikan dalam Pasal 39-40 berisi tentang ketentuan apabila ada perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan pesantren dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.

Terakhir, yakni Bab X Ketentuan Penutup berisi Pasal 41-42 yang menjelaskan pelaksanaan ketika RUU ini sudah diundangkan, lalu proses pelaporan yang dilakukan oleh Pemerintah kepada DPR.

Tantangannya kini adalah RUU Pesantren harus disahkan sebelum pergantian anggota DPR RI untuk periode 2019-2024 sekitar Oktober tahun ini. Jika DPR yang periode sekarang tidak kunjung memparipurnakan RUU ini, maka tidak ada yang bisa menjamina mulus atau susahnya pengesahan RUU Pesantren di parlemen periode selanjutnya.

Terima atau Tolak RUU?

Kita tahu bahwa keberadaan pesantren sudah eksis berabad-abad jauh sebelum negara Indonesia diproklamasikan. Sehingga pada prinsipnya, ada atau tidak adanya Undang-Undang tentang Pesantren, maka pondok pesantren akan tetap terus berjalan sebagaimana fungsinya. Keberadaan pesantren tidak harus bergantung pada undang-undang, sebab “kemandirian” adalah kunci utama lembaganya kaum sarungan bertahan hingga hari ini.

Namun, kalangan santri mestinya tidak menutup mata bahwa kehadiran negara selama ini sedikit atau banyak telah membantu proses kemajuan pesantren yang jumlahnya kini mencapai sekitar 29 ribu. Kendati mereka juga merasakan selama ini terjadi diskriminasi perlakuan negara terhadap orang-orang pesantren.

Oleh karenanya, apabila RUU Pesantren sudah diundangkan nanti, jangan sampai UU tersebut mengebiri keragaman dan kekhasan model, tradisi, kurikulum milik pesantren. Dengan melihat sederet bab dan pasal RUU sebagaimana dipaparkan di atas,  berbagai pihak terutama para kiai dan santri hari ini sudah sepatutnya berhak memberikan kritik dan saran agar keberadaan UU ini nantinya benar-benar dapat menjadi wasilah pesantren dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan.

Dengan demikian, jika apa yang ditetapkan oleh negara itu benar-benar memberikan banyak maslahat, kenapa RUU Pesantren mesti ditolak?

 

 

 

Leave a Response