Para tetangga (termasuk saudara) saya yang mengenyam pendidikan di sejumlah pondok pesantren (ponpes) di Jawa Timur dan Jawa Tengah dipulangkan. Keputusan ini ditempuh pihak ponpes sebagai upaya menekan penyebaran Covid-19 di lingkungan pesantren. Kepulangan para santri telah diupayakan mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Mulai dari pengecekan suhu tubuh dan kondisi kesehatan lain, hingga penyediaan kendaraan khusus.
Sepupu perempuan saya yang menjadi mahasantri di Pondok Pesantren Modern Gontor Putri di Mantingan, Ngawi dipulangkan sejak dua bulan silam. Pihak ponpes memfasilitasi kendaraan milik yayasan untuk mengantar para santri sampai di daerah asalnya masing-masing. Dikarenakan rumah sepupu saya cukup jauh dari jalan antarkota-antarprovinsi, maka ia diturunkan di jalan masuk menuju kecamatan tempat tinggalnya.
Ia kemudian pulang ke rumah bersama orang tuanya yang sudah menunggu di titik penjemputan. Sebelumnya, terkait teknis pemulangan para santri sudah dikomunikasikan dengan para orangtua dan wali santri. Termasuk apa yang harus dilakukan ketika santri sampai dan berada di rumah selama pandemi berlangsung.
Sepengetahuan saya, sepupu saya masih aktif mengikuti kegiatan perkuliahan maupun ngaji secara daring. Suatu malam seusai Tarawih berjamaah di musala (lingkungan rukun tetangga kami melaksanakan salat berjemaah karena warga yang ikut sudah dipastikan sehat dan bebas dari virus corona), saya mampir ke rumah sepupu. Tanpa melepas mukena, ia langsung membentangkan layar laptopnya. Saya tidak bertanya secara spesifik apa yang sedang ia lakukan, yang jelas ia menyimak sebuah kajian.
Dari cerita budhe, ibu sepupu saya itu, saya tahu bahwa kegiatan perkuliahan dan kegiatan pondok pesantren tetap berlangsung. Kegiatan yang biasanya dilakukan secara luring itu kini sepenuhnya beralih menjadi kegiatan berbasis daring. Rupanya, aktivitas pondok pesantren tidak terhenti karena wabah. Justru mendapatkan medium baru yang barangkali sebelumnya belum terlalu maksimal pemanfaatannya.
Hal ini jugalah yang menjadi topik bahasan dalam silaturahmi dan halal bihalal daring keluarga besar Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Acara yang diselenggarakan malam hari bakda isak pada Selasa, 2 Juni 2020 itu mengambil tajuk Tradisi Ngaji Pesantren: dari Luring ke Daring.
Halal bi halal sekaligus diskusi daring yang bisa diikuti oleh masyarakat awam itu menghadirkan sejumlah pembicara dan penanggap. Semuanya dari kalangan intelektual baik akademisi maupun kiai-agamawan yang punya basis pengetahuan pesantren. Tiga pembicara yakni Nur Rofi’ah, pengampu Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI), Ulil Abshar Abdalla (pengampu ngaji Al-Munqidz Min Al-Dholal), dan Abdul Moqsith Ghazali (pengampu Al-Wasith li Al-Quran al-Karim).
Ketiga pembicara tersebut memiliki pengalaman yang cukup dalam kaitannya dengan ngaji daring. Tahun ini merupakan tahun keempat Ulil melaksanakan Ngaji Ihya yang disiarkan langsung melalui akun Facebook-nya. Istrinya, Ienas Tsuroiya menjadi sosok sentral di balik terselenggaranya Ngaji Ihya daring.
Sementara itu, Ngaji KGI sudah dilakukan Nur Rofi’ah selama satu tahun terakhir. Sebelum aktif berkegiatan di media sosial dan platform daring lain, Ngaji KGI lebih dulu aktif dalam diskusi yang melibatkan perjumpaan fisik. Abdul Moqsith Ghazali juga mengampu ngaji kitab Fath al-Mu’in. Menurut penceritaannya, publik yang menyimak kajiannya berasal dari kalangan yang cukup beragam.
Mereka menyampaikan suka-duka, tantangan, harapan, sekaligus rencana terkait dengan pelaksanaan ngaji daring yang selama ini sudah dilaksanakan. Kendatipun bergerak dengan kitab atau tema serta teknik yang berlainan, yang jelas ketiganya memiliki sensitivitas tinggi berkenaan dengan tradisi kepesantrenan. Lebih-lebih dalam hal ini bagaimana nguri-uri atau terus mengidupkan nyawa tradisi pesantren di tengah kehidupan modern.
Nur Rofi’ah mengisahkan apa yang dilakukannya bersama Ngaji KGI setahun terakhir ini. Berbeda dengan apa yang dilakukan Gus Ulil dan Kiai Moqsith, Ngaji KGI tidak membahas satu kitab secara menyeluruh dan terus-menerus. Melainkan memilih penyelenggaraan kajian berseri dan/atau tematik. Selama Ramadan kemarin, Ngaji KGI terselenggara untuk 9 kota.
Dengan pendekatan yang demikian, Ngaji KGI bermaksud mengisi celah diskursus keagamaan yang sarat pengetahuan dan penghayatan berkenaan dengan isu-isu mutakhir yang mengiringi kehidupan masyarakat modern. Bagaimana isu-isu yang sedang hangat diperbincangkan diangkat dalam sebuah diskusi atau ngaji dengan basis pemahaman cukup baik.
Ngaji KGI berkemauan menguatkan paradigma dan metodologi fenomena keseharian dengan teks dan konteks keislaman washatiyah. Menurut Rofi’ah, kaum muslim Indonesia memiliki privilege berupa sikap terbuka untuk mendiskusikan topik-topik yang di sebagian negara lain masih dianggap tabu dan sensitif.
Meksipun selama ini Ngaji KGI sudah sampai ke luar negeri, namun audiensnya masih didominasi oleh orang-orang Indonesia. Baru sekali Ngaji KGI ditujukan dan diikuti khusus oleh warga luar negeri, yakni warga Malaysia.
Dalam pelaksanaannya, Ngaji KGI (terutama selama pandemi ini) memanfaatkan sejumlah platform daring seperti youtube, fitur siaran langsung di Instagram, Podcast, Facebook, Skype, WAG, Google Meet, hingga Zoom.
Melalui pemanfaatan media daring yang bisa menjangkau manusia dari kalangan dan negara manapun, Ngaji KGI ingin tampil ke kancah internasional. Turut mempopulerkan Islam Indonesia yang inklusif dan moderat kepada audien internasional. Bukan hanya kepada orang-orang Indonesia yang bermukim di luar negeri.
Senada, Kiai Abdul Moqsith Ghazali menyatakan bahwasanya media daring menjadi media ekspresi luar biasa bagi kaum santri. Ia melempar permisalan, sosok seperti dirinya atau Gus Ulil pasti cukup susah punya acara ngaji di televisi.
Sementara itu, media daring memungkin keduanya bahkan semua orang bisa melaksanakan kajian. Kenyataan ini berdampak positif. Umat Islam jadi mempunyai banyak referensi dan preferensi kajian keislaman.
Tinggal memilih mana yang dibutuhkan, disukai, atau ingin disimak. Apakah kajian keislaman yang mendalam atau yang lucu-lucuan. Kiai Moqsith memberi salah satu contoh kajian yang serius yakni Ngaji Ihya daring yang diampu Gus Ulil.
Sementara itu, bagi si pengampu atau penyelenggara kajian daring, tantangan yang harus dihadapi yakni adanya respons langsung termasuk mengoreksi suatu kekeliruan melalui kolom komentar. Dengan demikian, penyelenggara kajian juga harus bersiap menghadapi sekaligus menanggapi respons para audien daringnya.
Lebih jauh, Kiai Moqsith mengantar pertanyaan retoris. Jangan-jangan sudah harus dipikirkan model pesantren virtual. Tidak perlu sarana prasarana fisik dan sebagainya, sehingga lebih murah biayanya.
Namun demikian, kita tentu akan kehilangan esensi uswatun hasanah. Dalam pelaksanaan pondok pesantren berbasis daring, para santri hanya mendapatkan ilmu dari apa yang disampaikan guru-kiai. Tapi tidak bisa mendapat pengaplikasiannya di kenyataan sehari-hari sang guru.
Pembelajaran hanya bersifat mauidoh hasanah, tidak sampai pada tataran uswatun hasanah. Hanya mendapat pengetahuan kognitif, tidak dilengkapi dengan pengetahuan aplikatif. Oleh karena itu, misalnya pun suatu ponpes melaksanakan pembelajaran secara daring, tetap dibutuhkan adanya perjumpaan fisik.
Terkait dengan penyelenggaraan Ngaji Ihya daring, Ulil Abshar Abdalla merasa memiliki tanggung jawab intelektual-rohaniah untuk menyinkronkan Ihya Ulumuddin dengan kondisi sekarang. Menurut Ulil, orang yang terdidik oleh tradisi pesantren memiliki tanggung jawab mempopulerkan apa yang diperoleh dari pendidikan itu kepada masyarakat awam.
Ia memberi pandangan, setidaknya kalangan intelektual-kiai pesantren bisa membumikan tradisi dan nilai-nilai kepesantrenan melalui tiga hal. Yakni Tasawuf, Fikih, dan Akidah Asy’ariyah.
Di bidang Tasawuf misalnya dengan mengaji dan mengkaji kitab Ihya Ulumuddin. Sementara itu bidang fikih seperti yang menjadi spesialis Kiai Moqsith juga sama pentingnya. Fikih memberi pemahaman bahwa berislam menggunakan mazhab itu penting. Termasuk bagaimana Islam Indonesia menjadi Islam yang inklusif. Mazhab juga menjadikan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki landasan sekaligus juga bisa adaptif.
Terkait Akidah Asy’ariyah. Gus Ulil bercerita mengenai apa yang ia lakukan untuk membumikan Islam melalui bidang ini. Selama Ramadan kemarin, beliau diminta menulis untuk media alternatif yang berbasis di Yogyakarta. Tulisan-tulisannya sengaja difokuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan modern. Misalnya, bagaimana hubungan agama dan negara, keberadaan Tuhan untuk ‘new atheis’, dan lain sebagainya. Melalui tiga hal itu, diharapkan tradisi intelektual-spiritual Islam Pesantren bisa dikenal oleh masyarakat luas.
Gus Ulil juga sempat memberi suntikan semangat. Supaya para intelektual-kiai pesantren terus menyediakan konten keislaman melalui berbagai platform media daring. Tanpa terlalu memedulikan berapa jumlah penontonnya saat ini. Menurutnya, selama perusahaan-perusahaan penyedia platform daring masih ada, semua konten yang dibuat akan tetap ada dan bisa dijadikan sumber rujukan kapanpun dan dari manapun.
Dengan kata lain, beliau menggadang-gadang para intelektual-kiai yang memiliki basis pengetahuan pesantren bisa membangun peradaban berbasis tradisi pesantren di ruang digital. Tsah!