Dalam perkembangannya, gerakan yang mengatasnamakan agama sering sekali disematkan pada kelompok Islam. Hal ini tidak lepas, karena mayoritas masyarakat Indonesia menganut agama Islam. Oleh karena itu, gerakan yang mengatasnamakan agama yang dimaksud dalam hal ini adalah gerakan radikalisme. Karena dalam perkembangannya gerakan ini sangat massif dalam melakukan kegiatan dakwah, terutama masyarakat kota yang masih labil dalam pemahaman agama.
Selain itu, gerakan ini juga sudah merabah sampai ke anak-anak remaja sebagai sasaran berikutnya. Salah satu bidikannya adalah para siswa-siswi SMA. Alasannya sangat sederhana, karena mereka adalah bagian dari generasi muda atau generasi milenial yang sedang bersemangat dan bergairah dalam menemukan sesuatu yang baru.
Dari rasa ingin tahu dan ingin terlibat dalam gerakan ini tidak lepas dari kondisi psikologis dan masih labilnya pemahaman agama. Sehingga mereka belajar pengetahuan agama kepada ustaz-ustaz dari luar sekolah yang latar belakang agamanya tidak jelas dan lebih cenderung radikal. Oleh karena itu, kondisi ini dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal dan teroris untuk menyiapkan mereka sebagai mujahid baru yang siap untuk menjadi martir dalam memperjuangan agama Islam.
Fenomena radikalisme yang berkembang cepat di Indonesia, termasuk di kalangan muda dan pelajar tidak lepas dari adanya perkembangan dunia Islam yang melatarinya. Sehingga dari situ, gerakan ini sangat mudah menyebar baik di lingkungan masyarakat secara luas hingga sampai ke lembaga sekolah.
Karena itulah, langkah antisipatif yang harus dilakukan adalah memotong mata rantai radikalisme di lingkungan sekolah tidak hanya dilakukan oleh guru, masyarakat, ustaz melainkan tanggung jawab semua unsur elemen masyarakat.
Pertama, tanggung jawab ulama, ustaz, dan kalangan lembaga pendidik untuk melakukan pencerahan terus-menerus, bahwa agama tidak hanya mengajarkan yang sifatnya tentang mengajak perang terhadap orang non muslim, tetapi agama justru mengajak dalam hal kebaikan. Seperti, ajakan toleransi beragama, kasih sayang, rahman, rahim, dan ajakan untuk beramal saleh.
Kedua, tanggung jawab organisasi sosial masyarakat (ormas) untuk terus menerus menjaga keutuhan bangsa dari ancaman kekerasan, intimidasi, dan doktrinisasi. Sehingga dari situ benih-benih radikalisme tidak akan bisa tumbuh dan berkembang dengan leluasa. Karena oramas tidak hanya sebagai wadah sebuah organisasi atau komunitas, melainkan untuk memperjuangkan cita-cita bersama.
Ormas di sini bisa diartikan sebagai benteng untuk menjaga dan melembagakan nilai-nilai dan moral sosial. Karena tujuan ormas di sini adalah untuk melindungi anggotanya dari adanya kekerasan dan intimidasi yang ingin memecah belah bangsa.
Ketiga, tanggung jawab negara untuk melindungi warganya, tidak hanya dari ancaman kesewang-wenangan, kezaliman, serta pada ketidakadilan yang dapat menjadi pemicu bagi meledaknya aksi-aksi radikalisme.
Oleh karena itu, sinergi dan kerja sama dari ketiga elemen di atas mungkin tidak bisa membuat ideologi radikalisme mati, tetapi setidaknya, benih-benih radikalisme bisa dihambat pertumbuhannya dan perkembangannya di masyarakat maupun di dunia pendidikan.
Maka, dalam hal ini yang tidak kalah penting untuk melakukan gerakan deradikalisasi dalam memerangi radikalisme dan terorisme, bisa dilakukan melalui dunia pendidikan. Karena lembaga pendidikan memiliki andil besar dalam mempertimbangkan moderasi pendidikan agama untuk meneguhkan pola keberagaman yang toleran dan beragam.
Dengan demikian, apabila upaya tersebut bisa dilakukan secara terstrutur, sistematis, dan massif. Maka setidaknya upaya deradikalisasi dapat menahan laju radikalisi agar tidak merabah dan menambah kompleksitas dalam persoalan bangsa ini.