Mendengar istilah santri yang terlintas dalam benak kita adalah sosok muda dengan identitas dan tradisi yang khas. Bersarung dan memakai songkok serta membawa kitab kuning. Pandai mengaji dan mengkaji kitab-kitab kuning (salaf) dengan akrab dengan bahasa Arab. Begitulah ciri umum kaum santri.
Santri pondok pesantren memiliki tempat istimewa. Tentu saja bagi orang-orang tertentu yang masih memandang betapa pribadi yang paham ajaran agama. Selain paham, juga taat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari adalah permata di zaman yang serba materialistik ini.
Dalam kehidupan sehari-hari mudah sekali masyarakat awam mengidentifikasi karakter santri. Setiap orang bisa saja berbusana layaknya santri. Namun, santri memiliki karakternya sendiri yang khas.
Seorang kiai yang alim bernama KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) mendefiniskan makna santri dalam beberapa pengertian. Pertama, santri adalah seseorang yang dididik oleh kiai dengan penuh kasih sayang agar menjadi mukmin yang kuat, yaitu tidak mudah goyah imannya oleh pergaulan, kepentingan dan perbedaan.
Kedua, santri adalah kelompok yang mencintai negaranya sekaligus menghormati guru dan kedua orangtuanya meski mereka telah tiada.
Ketiga, seorang santri adalah seseorang yang mencintai tanah airnya. Tempat dia menghirup udara dan bersujud di atasnya serta menghormati tradisi dan budayanya.
Keempat, seorang santri adalah kelompok orang yang memiliki rasa kasih sayang pada sesama manusia dan sangat pandai bersyukur.
Keenam, santri adalah seseorang yang saling menyayangi sesama hamba Allah, yang mencintai ilmu serta tak lelah belajar (min al-mahdi ila al-lahdi) yang menganggap agama sebagai anugerah dan sebagai wasilah untuk mendapat ridho dari Allah Swt.
Siapapun bisa menjadi “santri” sebagaimana pandangan Gus Mus yang sudah populer di media sosial. Sebab yang disebut santri adalah orang yang berakhlak dan memiliki karakter seperti santri. Ia tidak harus berada di sebuah pesantren meskipun sejatinya santri adalah seseorang yang menuntut ilmu di sana.
Santri bukanlah seseorang yang eksklusif. Sebaliknya, karakter seorang santri adalah inklusif. Bisa saja seorang akademisi, seseorang dengan berbagai profesi memiliki pribadi seorang santri. Memiliki kompetensi-kompetensi santri meski ia berada di luar pesantren.
Maka dari itu, mendidik generasi kita agar memiliki karakter santri dapat kita terapkan mulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Adapun karakter-karakter santri yang dapat kita kenali dan tanamkan pada generasi sekarang antara lain:
Kepatuhan. Bahwa kepatuhan khas seorang santri adalah kepatuhan kepada orangtua dan guru. Sikap rendah hati dan tawadhu dapat kita tanamkan dalam lingkup keluarga, tentunya dengan ikhtiar lahir maupun batin. Di samping juga mengenalkannya pada ulama dan diajak untuk ikut mengikuti majelis-majelis ilmu agama.
Kemandirian. Hidup di lingkungan pesantren mengajarkan kemandirian pada anak-anak kita adalah hal yang sangat penting. Kita tidak selamanya selalu mendampingi mereka. Dengan mengajari dan membiasakan kemandirian, diharapkan mereka dapat mandiri dalam mengurus dirinya sendiri, sampai dengan kemampuan menyelesaikan persoalan tanpa bantuan banyak dari orang lain.
Kesederhanaan. Di zaman serba hedonis dan pamer ini, anak-anak era sekarang perlu dididik untuk menerapkan pola hidup sederhana. Sederhana dalam berpakaian, berucap, bersikap, membelanjakan uang, dan lainnya. Melalui pola hidup demikian, maka akan membentuk pribadi yang peka terhadap kesulitan orang lain.
Cinta Ilmu. Ilmu adalah hal yang melekat pada diri pribadi santri. Terutama adalah ilmu agama. Perkenalkan anak-anak kita dengan buku, baik buku agama maupun pengetahuan umum lainnya. Cara lainnya yakni mengajak mereka ke majelis ilmu bersama ulama serta mengenalkan anak-anak kita dengan pengetahuan. Dengan melihat kita selalu membahas ilmu, maka akan membentuk mereka menjadi cinta pada hal-hal yang berkaitan ilmu pengetahuan.
Bersyukur. Karakter seorang santri adalah seseorang yang sederhana, qanaah (menerima) serta pandai bersyukur. Ia terlatih menjalani hari-hari dengan bekal yang pas-pasan bahkan kekurangan. Mengajarkan anak-anak kita untuk mensyukuri apa yang sudah dimiliki akan melahirkan pribadi yang tidak mudah menuntut serta manja.
Kebersamaan. Kehidupan sehari-hari seorang santri adalah kebersamaan, shalat bersama, mengaji, makan, belajar, bermain, tidur dan sebagainya. Sehingga susah senang seorang santri jarang sendirian. Maka itulah mereka memiliki kematangan sosial yang memadai. Mengajarkan karakter ini pada anak-anak kita bisa dimulai dari lingkungan keluarga, mengajarkan kebersamaan dengan saudara juga dengan orangtua adalah hal yang utama.
Karakter dan sikap di atas memang telah diajarkan kepada para santri di lingkungan pesantren. Namun, tak menutup kemungkinan membumikan character building ala santri dapat diterapkan di berbagai lingkup. Di sekolah misalnya melalui kegiatan Pesantren Ramadan dan kajian agama serta lebih luas lagi adalah menghidupkan pendidikan umat oleh ulama pada masyarakat.
Sentuhan-sentuhan kiai, ulama dan santri dalam sendi kehidupan kita akan memperkokoh karakter bangsa kita. Yakni, bangsa yang religius, nasionalis, cinta tanah air dan bangsa, memiliki kerendahan hati. Selain itu juga memiliki semangat berilmu yang tinggi, pantang menyerah, mandiri serta memiliki sikap gotong royong dan peka terhadap masalah-masalah di sekitarnya.
Kalau kita boleh jujur, kaum santri bisa menjadi contoh figur ideal dari Muslim di Indonesia. Maka dari itu, santri dan siapapun yang bersikap laksana santri akan memiliki perannya sendiri dan menjadi warna yang indah dalam perjalanan bangsa kita serta menjadi penggerak dalam memajukan agama, bangsa dan negara.