Salah satu kitab karangan KH. Hasyim Asy’ari yang cukup terkenal di kalangan pelajar adalah kitab Adabul ‘Alim Walmuta’alim, yaitu sebuah kitab pedagogik yang menerangkan etika seorang guru ketika mengajar dan etika pelajar ketika mencari ilmu.
KH. Hasyim Asy’ari membagi kitabnya ini menjadi delapan bab. Bab pertama menerangkan keutamaan ilmu, ahli ilmu, keutamaan mempelajari, dan mengajarkannya. Bab kedua menerangkan etika seorang penuntut ilmu atas dirinya sendiri. Bab ketiga menerangkan etika seorang penuntut ilmu atas guru-gurunya. Bab keempat menerangkan etika seorang penuntut ilmu atas pelajarannya.
Bab kelima menerangkan etika seorang pengajar atas dirinya sendiri. Bab keenam menerangkan etika seorang pengajar atas pelajaran yang diampunya. Bab ketujuh yang menerangkan etika seorang pengajar atas murid-murid yang diajarinya. Bab kedelapan menerangkan etika penuntut ilmu dan pengajar ilmu terhadap kitab sebagai sarana belajar mengajar, sekaligus etika menyalin, dan mengarang kitab.
Begitu pentingnya kitab ini, hampir setiap pondok pesantren di Jawa menggunakan kitab ini sebagai kurikulum untuk mengajar bagaimana cara mendapatkan ilmu. Kitab ini tidak hanya menerangkan bagaimana cara pelajar menuntut ilmu, akan tetapi bagaimana cara seorang guru mengajar anak didiknya.
Hal ini penting, karena di era yang serba instan ini, banyak seorang guru yang hanya fokus pada transfer ilmu saja akan tetapi jarang memikirkan ahlak peserta didiknya.
Penting untuk diketahui bahwa kitab Adabul ‘Alim Walmuta’alim adalah sebuah kitab yang berbentuk prosa. Namun demikian, ada salah satu seorang Murid KH. Hasyim Asy’ari yang mempuisikan kitab Adabul ‘Alim Walmutalim menjadi syair yang sangat indah. Murid KH Hasyim Asyari yang mempuisikan tersebut adalah Kiai Ahmad Maesur Sindi yang berasal dari Purworejo, Jawa Tengah.
Mempuisikan sebuah kitab menjadi syair bukanlah perkara mudah, karena seorang santri yang akan membuat puisi, terlebih dalam bahasa Arab harus mempunyai kepandaian dalam Ilmu Arud dan perasaan yang peka nan lembut sehingga hasil kitab yang dipuisikan menjadi syair yang begitu indah.
Puisi dari gubahan kitab tersebut kemudian diberi judul Tanbihul Muta’alim oleh Kiai Ahmad Maesur Sindi. Alasan Kiai Ahmad mempuisikan kitab tersebut adalah agar kitab tersebut bisa disebarluaskan. Hal ini seperti yang beliau katakan dalam pendahuluannya,
“Adapun Nadham [puisi] ini hanya menadhomkan tambihnya Syaikhina Al’alamah Assyufuk Hasyim Asy’ari Tebu Ireng. Maksud kami menyalurkan tambih beliau.”
Kitab Adabul Alim karangan KH. Hasyim Asy’ari tersebut berhasil digubah menjadi 56 bait Syair oleh Kiai Ahmad. Kiai Ahmad kemudian membagi syairnya tersebut menjadi sembilan bab.
Yang menarik untuk dicermati adalah keterangan tambahan dari Kiai Ahmad. Setiap keterangan tambahan tersebut diberi tulisan kecil “Ziyadaty”.
Salah satu tambahan keterangan yang diberikan Kiai Ahmad adalah mengenai Ilmu yang menjadi tujuan. Beliau mengatakan bahwa ilmu yang seharusnya dituju dan dikuasai itu ada tujuh. Beliau mempuisikan keterangan ini sebagai berikut:
العلم مطلقه العلم بالاخرة # ثم العلوم التي تقصد سبعة لا
Artinya: “Lafal ilmu ketika disebutkan dalam kitab-kitab syariat tanpa qoyid [ikatan] artinya adalah ilmu akhirat. Adapun ilmu yang seharusnya dituju itu ada tujuh”.
Ketujuh ilmu tersebut adalah, ilmu ushul atau ilmu tauhid, ilmu qiraat, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu usul fikih, ilmu fikih dan terakhir adalah Ilmu Kedokteran.
Kiai Ahmad mengatakan bahwa ilmu kedokteran hendaknya tetap dipelajari berdasarkan perkataan imam Syafi’i. Beliau mengatakan:
الشافعي العلم علمان الفقيه للاد # يان الطبيب للابدان احذرن غفلا
Artinya: “Betapa pentingnya ilmu kedokteran, sampai-sampai Imam Syafi’i mengatakan ilmu itu ada dua. Ilmu Fikih untuk urusan agama dan Ilmu Kedokteran untuk urusan badan. Oleh karenanya para santri jangan melupakan ilmu ini.”
Keterampilan mempuisikan sebuah kitab prosa menjadi syair bukanlah kemampuan yang mudah. Oleh karenanya keterampilan membuat puisi dan syair ini harus terus dirawat dan diajarkan di kalangan pesantren. Karena puisi atau nadhoman dalam pesantren termasuk salah satu jenis sastra yang unik dan khas.
Namun yang membuat khawatir di saat ini adalah semakin sedikitnya santri yang mampu menguasai ilmu untuk membuat nadhoman tersebut. Itu artinya, akan sedikit sekali sastra pesantren yang dihasilkan di era modern ini.
Semoga ilmu ini akan terus mentradisi di kalangan pesantren sehingga puisi-puisi khas pesantren yang juga termasuk sastra pesantren ini akan terus terawat.