Kiai Muslih Mranggen adalah figur kiai yang tidak bisa dilepaskan dari dunia tasawuf atau tarekat, khususnya tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN). Banyak kiai yang berbaiat tarekat kepadanya sehingga beliau sering dijuluki “Syaikhul Mursyidin” (guru para mursyid).

Kiai Muslih memiliki banyak karya. Di bidang tasawuf/tarekat, beliau setidaknya memiliki 5 (lima) karya, yakni (1) An-Nur Al-Burhany (dua jilid) (2) Al-Futuhat Ar-Robbaniyah (3) Tuntunan Thoriqoh (dua jilid) (4) Yawaqit Al-Asani fi Manaqib As-Syaikh Abdul Qodir Al-Jailany dan (5) Wasail Wushulil Abdi Ila Maula (syarah atas nazam tentang kitab Al-Hikam Ibnu Athaillah) (dua jilid).

Kitab An-Nur Al-Burhany yang berisi manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailany, seperti disampaikan putra beliau, Kiai Hanif Muslih, sebenarnya terdiri dari empat jilid. Hanya saja, dua jilid terakhir belum sempat dicetak dan naskahnya belum ditemukan hingga sekarang.

Rata-rata karya Kiai Muslih ditulis dalam bahasa Arab dan Arab pegon. Kitab Al-Futuhat Ar-Robbaniyah, kitab di mana salah satu kandungannya akan penulis ketengahkan dalam tulisan ini, ditulis dalam bahasa Arab pegon.

Dalam kitab Al-Futuhat Ar-Robbaniyah, (Putranya, Kiai Muhammad Hanif Muslih menerjemahkan kitab tersebut ke dalam bahasa Indonesia dan memberinya nama “Al-Mawahib Ar-Rohmaniyah An-Nuroniyah”), Kiai Muslih menulis bab “Adab Tata Krama Murid Kepada Guru”.

Beliau mengutarakan bahwa ada 10 (sepuluh) tata krama murid kepada guru (mursyid) yang harus dipenuhi oleh muridnya.

Pertama, seorang murid harus mempunyai keyakinan (I’tiqad) bahwa tujuan murid tidak akan berhasil, kecuali melalui perantara gurunya. Jika ada murid mempunyai kehendak akan pindah guru, dari guru asal ke guru lain, dia akan tertutup (hirman) mendapatkan cahaya guru pertamanya, dengan demikian ia tidak akan mendapatkan anugerah Allah (al-faidh ar-rohmany).

Hal itu akan membahayakan bagi murid, kecuali apabila ia mendapatkan izin dari guru pertamanya. Apabila guru pertamanya menyimpang dari syariat dan thariqah, bahkan menyimpang jauh dari syariat Rasulullah saw., maka ia diperbolehkan pindah guru.

Bukan hanya diperbolehkan, bahkan ia hendaknya mencari guru yang lebih sempurna dan lebih zuhud, lebih menjaga diri (dari perbuatan dosa), lebih paham tentang syariat, lebih paham ilmu thariqah, dan hatinya lebih bersih dan menjaga dari sifat-sifat yang tidak terpuji.

Kedua, seorang murid hendaknya menerima dan pasrah dengan kepemimpinan gurunya, dan siap melayani (khidmah) dengan rela, sepenuh hati dan ikhlas karena Allah.  Hal ini karena jauharatul iradah wal mahabbah (mutiara kemauan dan cinta) itu tidak bisa tampak ke permukaan, kecuali dengan khidmah kepada guru.

Ketiga, jika ada perbedaan kehendak antara guru dan murid, baik kehendak itu menyeluruh atau sebagian, masalah ibadah atau adat (kebiasaan), maka hendaknya murid mengedepankan kehendak guru, dan mengenyampingkan kehendaknya.

Bertentangan dengan guru bisa menyebabkan hilangnya barakah dan (bahkan mungkin malah) bisa menjadi sebab su’ul khatimah. Kecuali apabila guru memberi kelonggaran dan menyerahkan kehendaknya kepada murid.

Keempat, seyogyanya seorang murid menghindar dari sesuatu yang tidak dikehendaki dan tidak disukai oleh gurunya. Seorang murid juga seyogyanya mengikuti sikap guru kepada sesuatu yang tidak disukainya.

Tata krama berikutnya adalah seorang murid jangan tergesa-gesa menafsirkan sesuatu yang terjadi. Seperti menafsirkan mimpi atau perlambang, sekalipun ia lebih tahu dari gurunya.

Sebaiknya sampaikan apa yang terjadi, baik dari mimpi atau perlambang kepada gurunya, dan jangan sekali-kali meminta jawabannya, tetapi sebaiknya menunggu jawaban, sekalipun jawabannya lama. Inysaallah semua akan membawa hikmah. Dan apabila diperintahkan oleh gurunya agar menerangkan sesuatu, hendaknya menerangkan secukupnya dan apa adanya.

Keenam, hendaknya seorang murid berbicara dengan pelan, sopan, dan santun, apabila di majelis gurunya. Jangan banyak bertanya kepada gurunya, apalagi sampai membantah. Semua itu termasuk su’ul adab (jelek budi pekerti) yang menyebabkan tertutup (mahjub).

Ketujuh, apabila seorang murid hendak sowan (bertamu) di hadapan guru, jangan sekali-kali langsung mengetok pintu, atau langsung nyelonong masuk. Ia harus terlebih dahulu mencari waktu kapan gurunya biasa menerima tamu.

Jangan sekali-kali sowan pada saat gurunya sedang istirahat atau sedang mengerjakan pekerjaannya. Apabila sudah diizinkan masuk, harus benar-benar menjaga sikap dan sopan santun.

Berikutnya, jika seorang murid datang untuk sowan (bertemu), jangan ada yang ditutup-tutupi. Berterus teranglah apa yang ada pada dirinya dan bicaralah apa adanya.

Kesembilan, apabila seorang murid menceritakan sesuatu kepada orang lain, apa yang disampaikan gurunya jangan sampai ada yang ditambah atau dikurangi. Cukup cerita apa adanya. Itu saja harus seizin gurunya.

Kesepuluh, seorang murid jangan membicarakan hal-hal buruk gurunya. Jangan mengejek (moyoki: Jawa), mengungkit-ungkit, adu domba, memelototi, menyinggung perasaan, dan mencari-cari sifat buruk dan jeleknya guru untuk dibeberkan dan diceritakan kepada orang lain.

Sebagaimana penulis singgung di awal, Kiai Muslih adalah figur yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat. Demikian pula dengan sepuluh tata krama murid kepada guru di atas. Kedudukan guru (mursyid) dalam terminologi tarekat lebih dari sekadar orang yang mentransfer ilmu.

Mursyid adalah orang yang menunjukkan jalan kepada ma’rifatullah (mengenal Allah). Oleh karena itu, keberhasilan seorang murid akan sangat bergantung pada bagaimana ia bertata krama terhadap mursyidnya. Wallahu a’lam bis shawab.

Leave a Response