Istilah “childfree” menjadi perbincangan hangat di dunia maya setelah salah satu influencer asal Indonesia, Gita Savitri, menceritakan keputusannya untuk tidak mempunyai anak. Keputusan ini adalah hasil kesepakatannya dengan sang suami yang saat ini tinggal bersamanya di Jerman, Paul Andre.

Istilah childfree sendiri berasal dari bahasa Inggris “child” yang berarti “anak” dan “free” yang berarti “bebas”. Dalam Oxford Dictionary, childfree diartikan sebagai “pilihan kedua orang yang menikah untuk tidak mempunyai anak”.

Istilah childfree sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1970-an. Childfree diartikan dengan seseorang yang memilih untuk tidak mempunyai anak. Pengertian childfree tidak bisa diartikan sebagai seseorang yang tidak mempunyai anak karena faktor biologis, baik dari pihak istri maupun pihak suami.

Cara adopsi juga tidak termasuk childfree, karena pasutri tetap mempunyai anak sekaligus mengasuhnya walaupun bukan anak kandung. Keputusan childfree dilakukan dari awal pernikahan antara suami dan istri melalui kesepakatan keduanya untuk tidak mempunyai anak.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Neal dkk (Prevalence and characteristics of childfree adults in Michigan (USA)) pada tahun 2021, 1 dari 4 pasangan di Michigan, Amerika Serikat, memutuskan untuk tidak mempunyai anak dalam ikatan pernikahannya.

Di Indonesia sendiri childfree tidak banyak dijadikan sebagai way of life dalam kehidupan rumah tangga. Ada beberapa alasan mengapa pasangan suami istri memilih untuk childfree, di antaranya: ketidaksiapan finansial, ketidaksiapan reproduksi, dan adanya penyakit kronis.

Selain itu juga bisa karena trauma, ketidaksiapan sebagai orang tua, semrawutnya konsep keluarga, ancaman kerusakan alam, konflik kemanusiaan, dan lain-lain.

Lalu bagaimana Islam merespons fenomena childfree?

Apabila ditarik ke dalam pilar pernikahan dalam Al-Qur’an, maka ada beberapa ayat yang menerangkan tentang prinsip pernikahan dalam Islam, yakni: Zawaj/berpasangan atau saling melengkapi (Al-Baqarah : 187, Ar-Rum : 21), Muasyaroh Bil Maruf/Perilaku santun dan beradab ( An-Nisa : 19).

Lalu Mitsaqan Ghalidhan/Ikatan Suci (An-Nisa : 21), Musyawarah/Komunikasi yang hangat dan intens (Al-Baqarah 233), dan Taradhin/Rela dan ikhlas (Al-Baqarah : 233).

Menurut salah satu pakar gender Islam, Nur Rofiah, apabila prinsip-prinsip tersebut bisa tercipta dengan baik dalam suatu ikatan pernikahan, ada atau tidaknya seorang anak, merupakan pilihan dan konsekuensi yang ditanggung suami dan istri secara personal.

Keputusan childfree atau tidak didasarkan pada kemaslahatan internal dan eksternal dengan menggunakan landasan maqashid al-syar’iyah (tujuan syariat). Dalam hal kemaslahatan internal, keputusan childfree harus melalui musyawarah kedua belah pihak, yakni suami dan istri.

Harus dimusyawarahkan apakah dengan mempunyai anak atau pun tidak, akan menumbuhkan kemaslahatan bagi keduanya, baik secara jasmani maupun rohani.

Adapun dalam hal kemaslahatan eksternal keputusan childfree harus melibatkan dan mempertimbangkan kondisi masyarakat yang lebih luas. Pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah pengalaman biologis saat hamil dan melahirkan yang hanya dialami oleh perempuan.

Dampak fisik dan psikologis dalam hubungan seksual hingga melahirkan yang dirasakan suami dan istri tentu sangat berbeda. Istri mengalami berbagai macam pengalaman fisik yang tak terelakkan saat akan, sedang, atau setelah melahirkan.

Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa sistem reproduksi adalah kodrat, tapi menggunakannya adalah ikhtiar. Sehingga terjalin hubungan yang baik dan membawa kebaikan antara suami dan istri.

Memiliki anak mesti menjadi keputusan bersama, terutama perempuan yang mengalami proses hamil dan melahirkan.

Esensi dari itu semua adalah tugas manusia di dunia ini adalah menjadi insan yang bertakwa, dan khalifah fi al-ard. Indikator takwa dapat dijadikan sebagai parameter untuk memutuskan segala sesuatu dalam kehidupan umat Muslim.

Kualitas pasutri ditentukan oleh aspek ketakwaannya sehingga ada atau tidaknya anak mesti menjadi alasan untuk menjadi versi terbaik dengan indikator manfaat seluasnya atas dasar iman kepada Allah.

Keputusan untuk menikah atau tidak, punya anak banyak atau sedikit, harus disandarkan pada kemaslahatan bersama dan prinsip ketakwaan kepada Allah. Sebagaimana tujuan pernikahan sakinah (ketenangan jiwa), mawaddah (cinta yang menghasilkan kemaslahatan), dan rahmah (kasih sayang).

Childfree tidak boleh menghalangi pasutri untuk bisa menjadi diri yang terbaik dengan manfaat yang seluas-luasnya melalui jalan lain. Wallahu a’lam bis shawab.

Leave a Response