Terlahir tak hanya sebagai makhluk spiritual, manusia juga merupakan makhluk sosial yang perlu berinteraksi dan tidak mampu hidup sendiri. Namun, dalam proses sosialisasi itu, manusia dihadapkan banyak perbedaan dengan sesamanya. Baik itu perbedaan fisik (warna kulit, bentuk anggota tubuh, warna rambut, dan segala hal yang tersurat) maupun perbedaan non-fisik (kepercayaan, budaya, bahasa, dan suku bangsa).
Perbedaan-perbedaan tersebut jika tidak dianggap sebagai kondisi alami dalam proses interaksi yang harus dihargai keberadaannya, tak jarang menimbulkan perpecahan. Lantas, bagaimana Alquran memosisikan perbedaan-perbedaan tersebut dan bagaimana sebaiknya manusia menghadapi perbedaan yang paling krusial (keyakinan, misalnya)? Bukankah perbedaan itu sendiri adalah bentuk rahmah (kasih sayang) Allah?
Dalam surah al-Maidah: 5/48, Allah Swt. memberikan pondasi paripurna dan mengakui bahwa perbedaan itu ada. Tentu sangat mudah bagi Allah menjadikan makhluk seisi bumi ini sama seluruhnya tanpa perbedaan baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Namun, Allah tidak menghendaki hal itu terjadi. “Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan- Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”
Jika kita telusuri lebih dalam makna ayat di atas, maka kata kunci dalam ayat di atas ialah ummatan wahidatan yakni umat yang satu (saja), seragam dan sama seluruhnya, tanpa perbedaan sama sekali. Namun, lanjutan ayat di atas, Allah tidak ingin keseragaman itu terjadi. Allah justru ingin menguji masing-masing umat; baik yang terlahir sebagai Muslim, Yahudi, Nasrani, maupun kepercayaan lainnya dengan karunia dan kebaikan-kebaikan yang telah Dia berikan kepada mereka.
Akhir dari ayat di atas juga memberikan anjuran yang demikian indah; setiap umat tak perlu menolak sebuah perbedaan dengan kekerasan, namun mereka hanya perlu fastabiqu (berlomba-lomba) al-khayrat (jama’ dari khayr yang berarti banyak kebaikan). Allah menyebutkan lafadz fastabiqu di atas dengan jama’ mudzakkar salim yang bermakna bahwa seluruh umat—bukan satu umat saja— bertanggung jawab untuk mengambil peran-peran positif (al-khayrat) dalam lingkup kecil maupun besar.
Namun, teramat disayangkan, dalam perjalanannya, perbedaan-perbedaan yang sebenarnya Allah kehendaki itu, belum direstui dengan baik oleh makhluk-Nya. Masih banyak segolongan umat dewasa ini yang mengutuk keras perbedaan-perbedaan itu yang akhirnya melahirkan perpecahan, perkelahian, bahkan pertumpahan darah. Jika ada pepatah yang mengatakan mulutmu adalah harimaumu, maka zaman sekarang, perilaku di media sosial pun bisa menjadi perbuatan yang mengantarkan perpecahan.
Terlebih perbedaan keyakinan atau isu-isu keagamaan yang seringkali membuat seseorang terjebak baik disengaja maupun tidak, menggunakan anggota tubuhnya untuk menyakiti orang lain hingga akhirnya membuat perasaan orang yang disakiti itu kurang berkenan.
Mari kita renungi ayat Qs. al-An’am/6:108 ini; “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
Sebelum membahas tentang asbab an-nuzul (sebab turunnya ayat tersebut) perlu kita pahami bahwa kata kunci ayat tersebut ialah la tasubbu (janganlah kalian semua mencaci-maki). Lafadz la di atas menggunakan la nahyi—la yang bermakna larangan—agar benar-benar tidak dilakukan baik secara serius maupun main-main (tidak sengaja).
Kemudian, tasubbu (yang berbentuk fi’il mudhari’/ kata kerja) berasal dari kata sabba-yasubbu yang bermakna (perbuatan) mencaci/ menghina orang lain. Dahsyatnya, kata sabba-yasubbu/ tasubbu hanya terdapat dalam Qs. al-An’a>m/6: 108 di atas dan tidak ada satupun derivasinya di ayat lain! Sungguh satu ayat pamungkas yang mengandung tuntunan khusus— langsung dari Allah dan betul-betul harus kita renungi, pahami, dalami, dan praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berikutnya, asbab an-nuzul ayat di atas ialah tentang kebiasaan umat muslim di zaman Rasulullah Saw yang tidak tahan dengan penyembahan berhala kaum musyrik— hingga tak sengaja mereka menghina dan mencaci maki sembahan-sembahan kaum musyrik tersebut.
Ibn Katsir dalam tafsirnya menguraikan bahwa Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, mengenai ayat ini, “Orang-orang musyrik itu berkata: Hai Muhammad, engkau hentikan makianmu itu terhadap ilah-ilah kami, atau kami akan mencaci-maki Rabbmu.’ Lalu Allah melarang Rasulullah dan orang-orang mukmin mencaci patung-patung mereka, sebab, fa yasubbullaaHa ‘adwam bighairi ‘ilmi (Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui baias tanpa pengetahuan).
Dalam Tafsir Muyassar dan Tafsir al-Mukhtashar juga diuraikan bahwa perintah janganlah kalian -wahai orang-orang mukmin- mencaci-maki berhala-berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik bersama Allah. Walaupun berhala-berhala—dalam pandangan umat muslim itu adalah sesuatu yang paling hina dan paling pantas dicaci-maki, tapi perbuatan itu tidak dikehendaki oleh Allah.
Syaikh Muhammad Sulaiman Al-‘Asyqar dalam Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir menuturkan bahwa ayat ini adalah tuntunan sekaligus perintah untuk orang-orang beriman bahwa janganlah kalian mengutuk tuhan-tuhan (berhala-berhala) orang-orang musyrik supaya mereka tidak mengutuk Allah dengan kebencian. Sebab, sebagaimana menghiasi kepercayaan orang-orang musyrik tersebut (yaitu penyembahan berhala) Kami juga menghiasai amal perbuatan setiap umat yaitu amal baik dan buruk, lalu mereka mengerjakannya.
Al-‘Asyqar melihat ayat ini adalah tuntunan khusus kepada umat muslim agar tidak mudah menjustifikasi penyembahan-penyembahan umat lain adalah kesesatan sebab hanya Allah yang Mahatahu dan Maha Menilai semua perbuatan hamba-Nya.
Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Wajiz juga menguraikan bahwa larangan memaki dalam ayat itu menjadi sebab kaum musyrik memaki Allah Rabbul ‘alamin, maka Allah melarang mereka. Dari ayat ini— lanjut Syaikh Wahbah—berlaku kaidah, hukum wasilah (sarana) tergantung akhirnya ke mana; jika mengarah kepada perbuatan haram, maka sarana itu (mencaci-maki) adalah haram meskipun hukum asalnya boleh.
Pendapat Syaikh Wahbah ini setidaknya menjadi landasan ideal bahwasannya dalam kehidupan sehari-sehari, kita perlu mengedepankan prinsip akhlak (adab) menahan diri. Menahan diri tidak terbatas untuk amarah saja. Menahan diri untuk tidak mencela, menghina, mencaci, sangat dianjurkan oleh Alquran.
Sebab, menahan diri untuk tidak memaki sesuai dengan tuntunan ayat di atas bukan saja akan melahirkan kedamaian di antara sesama penganut agama melainkan juga semangat persatuan dalam perbedaan sebagai ikatan untuk memperkuat toleransi. Jika kita belum bisa bersaudara seiman, kita semua masih bisa bersaudara secara kemanusiaan. Akhirnya, cukup Allah saja Zat yang Mahaenar di atas segala kebenaran. Wallahua’lam bish shawwab.