Dalam kehidupan sehari-hari, secara harfiah, karakter berarti kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasinya. Karakter mengacu pada serangkaian skap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan (skills).

Dengan demikian pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada anak didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan maupun bangsa sehingga akan terwujud insan kamil (Doni Koesoema, 2006).

Sebagaimana dipahami bahwa karakter adalah cara berpikir dan berprilaku yang menjadi ciri khas individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat dan negara. Demikian halnya pendidikan, merupakan proses perubahan sikap dan tata laku seseorang dan kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik.

Pendidikan karakter dianggap penting karena saat ini radikalisme sudah menyebar ke anak-anak usia remaja dan kaum muda dimana santri masuk dalam fase remaja.  Dalam melancarkan paham kekerasan ini anak muda dipilih karena memiliki kecenderungan sikap labil yang dapat dimanfaatkan oleh paham radikal sebagai propaganda.

Selain itu radikalisme memilih anak muda karena adanya semangat patriotik dalam diri remaja yang beresiko disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.

Pendidikan karakter yang penting dihadirkan melalui budi pekerti yang diwujudkan dalam semua aspek; pengetahuan, perasaan dan perilaku. Aspek pengetahuan, diperlukan untuk memberikan pemahaman yang cukup memadai mengenai bahaya radikalisme dimana keuntungan yang didapat manakala menjauhinya. Melalui pengetahuan, santri diberikan penjelasan yang mendalam mengenai kehidupan tenggang rasa dan saling menghormati.

Dari aspek perasaan, pendidikan karakter diperlukan bagi santri untuk menumbuhkan sikap simpati, empati dan kasih sayang. Tujuannya, santri membiasakan diri secara objektif memandang perbedaan.Dengan bersikap objektif santri diharapkan dapat bertenggang rasa dan saling menghormati ketika nanti akan berhadapan dengan masyarakat setelah mereka menyelesaikan pendidikannya di pesantren.

Adapun aspek perilaku, santri diharapkan menyebarkan ke masyarakat luas mengenai pentingnya menjaga kerukunan masyarakat beragama. Adapun pendidikan karakter yang dapat diterapkan di pesantren yaitu:

Pesantren memiliki khazanah intelektual klasik karya para sarjana Islam terkemuka dan otoritatif dibidangnya masing-masing. Di dalamnya mengandung pikiran-pikiran pluralistik yang semuanya dihargai. Dalam banyak hal penting, berkaitan dengan sistem kenegaraan, pesantren memiliki jawaban-jawaban yang sangat relevan dan strategis.

Menjadi kesan bagi bangsa Indonesia ketika para Kyai pengasuh pondok pesantren yang berkumpul dalam perhelatan akbar Muktamar NU di Situbondao tahun 1984 yang menghasilkan keputusan bersejarah bahwa mereka menerima Pancasila sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam pikiran dan jiwa santri tidak hanya dengan sosialisasi empat pilar, tetapi harus diikuti dengan gerakan pembudayaan Pancasila.

Para Kiai pengasuh pondok pesantren yang berkumpul dalam perhelatan akbar Muktamar NU di Situbondao tahun 1984 telah  menghasilkan keputusan bersejarah bahwa mereka menerima Pancasila sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagai lembaga pendidikan Islam, nilai-nilai kasih sayang yang perlu diterapkan Kiai dan ustaz kepada  santri dengan melibatkan mereka dalam semua kegiatan sosial seperti membangun masjid, membersihkan sarana atau fasilitas umum serta bekerja secara suka rela di tengah masyarakat, tidak memandang agama dan keyakinan apapun.

Hubungan emosional yang kondusif seperti saling menghargai, menerima, menyayangi, menghibur dan membantu teman.Perasaan diterima dalam pergaulan, dihargai, disayangi, dicintai, pada akhirnya akan mendorong santri untuk melakukan hal yang sama pada orang lain.

Penyemaian benih kasih sayang ini membantu pembentukan kepribadian santri. Kiai dan ustaz sebaiknya selalu menanamkan kasih sayang dengan menganggap santri seperti anak mereka sendiri,  memberikan dukungan terhadap apa yang dilakukan santri. Sikap ini  atas  karena jika perilaku di beri penguatan berulang-ulang, maka perilaku ini akan menjadi sebuah kebiasaan.

Seperti memberikan sentuhan kemanusiaan dengan kata-kata yang membesarkan hati, pujian, ucapan terimakasih, senyuman dan lain-lain. Bentuk kasih sayang yang lainnya dengan menyediakan sarana yang mendorong tumbuhnya kasih sayang di dalam jiwa santri, seperti kitab-kitab, kegiatan-kegiatan keagamaan; wirid Yasin, salat berjamaah di masjid, diskusi-diskusi bertemakan sosial dan kemasyarakatan dan latihan merepson permasalahan atau kesulitan yang di alami orang lain secara positif.

Nilai-nilai cinta damai yang perlu diwujudkan dalam kehidupan dipesantren adalah bagaimana gaya hidup para kiai, ustaz, dan santri dalam keseharian, cara pandang keagamaan dalam merespon dan menyikapi persoalan kemanusiaan.

Penguatan nilai cinta damai dalam konteks gaya hidup kiai dan para santri yaitu senantiasa berinteraksi dalam suasana belajar dan mengaji atau tafaqquh fi al-diin (belajar mengajar seputar agama), menjalin persaudaraan tanpa ada perselisihan yang disebabkan perbedaan latar belakang.

Adapun nilai damai dalam konteks cara pandang keagamaan yaitu dengan penguasaan atas kekayaan khazanah Kitab Kuning. Kiai dan para santri tidak memahami Islam secara sempit, literalis dan kaku. Namun sebaliknya, menyuguhkan pemahaman Islam yang rahmatan lil alamin (kasih sayang bagi seluruh alam), anti kekerasan dan cinta damai.

Adapun ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan sosial-keagamaan, seperti konflik dan kekerasan atas nama agama, penyimpangan makna jihad dan amar maruf nahi mungkar, pimpinan pesantren berupaya meresponnya dengan bijak dan komprehensif. Pemahaman dan cara merespon seperti inilah yang perlu diajarkan pada para santridi pondok pesantren.

Keberadaan kitab fikih klasik yang membahas suatu persoalan dari berbagai sudut pandang yang berbeda menjadi kelebihan pesantren dalam membentuk sikap toleransi santri. Perbedaan pendapat ulama (ikhtilaf ulama) sudah seharusnya mendorong kiai dan santri untuk fleksibel dalam menyikapi perbedaan dan tidak mudah menyalahkan pihak lain.

Kemajemukan pandangan dalam tradisi fikih pesantren sudah selayaknya menjadikan  kiai dan santri tidak fanatik karena sudah terbiasa mendapati banyak pandangan dalam kehidupan.

Realitas perbedaan ini dibahas bersama secara musayawarah, bisa dengan diberikannya dalam proses belajar mengajar di kelas atau dalam bentuk diskusi di luar kelas. Sementara, santri yang biasa terdoktrin dengan pemahaman tunggal dalam menafsirkan ayat cenderung beragama secara keras (radikal).

Ketika ada pendapat yang beragam pada saat belajar atau mengaji sebuah kitab, kiai tidak mengarahkan santri kepada salah satu pandangan (mazhab). Jika kiai menggunakan salah satu pendapat dengan menggunakan pendapat pribadinya, ia tidak mengatakan ini benar dan itu salah. Kalaupun mengatakan itu salah, selalu ada rasionalisasinya.

Berbeda dengan siswa di sekolah umum, siswa di pesantren (santri) tidak hanya diajarkan untuk mengejar kecerdasan intelektual (IQ) namun juga menekankan kematangan emosional (EQ) dan spiritual SQ). Selain matang secara logika, santri juga memiliki kecerdasan mengelola emosi dan kebutuhan ruhani.

Santri diajarkan untuk memiliki empati (kepedulian) terhadap lingkuan dan masyarakat di sekitar pesantren. Bersih-bersih dalam lingkungan pondok, menanami, memelihara dan merawat tanaman pondok untuk menjaga agar suasana pondok pesantren tetap hijau dan bersih.

Pembahasan singkat ini menjelaskan fenomena radikalisme beragama telah hadir di pesantren yang dari awal dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang rahmatan lil ‘alamiin. Tidak dapat dipungkiri pesantren-pesantren yang terindikasi berpaham radikal ini hadir di tengah-tengah masyarakat.

Sudah seharusnya masyarakat berpikir kritis dan terus waspada jika ingin memasukkan anak-anaknya ke pesantren untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Orangtua dipandang perlu untuk melihat kurikulum dan model pendidikan pesantren diterapkan selama proses belajar mengajar. Tulisan ini menawarkan beberapa nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat diterapkan di pesantren dalam rangka menangkal paham radikalisme santri.

Leave a Response