Membincang cinta kasih dan perjuangan di masa lalu, kita perlu mengenang kembali seorang perempuan pejuang di zaman Rasulullah. Sosoknya yang pemberani, tekun, dan penuh kasih membawanya turut serta pada perang-perang di masa itu. Ia adalah Rufaidah binti Sa’ad al-Aslamiyah. Berasal dari Bani Aslam, salah satu marga dari suku Khazraj di Madinah.

Rufaidah lahir di Yasrib yang kini dikenal sebagai Madinah al-Munawwarah dan tumbuh di sana sebelum hijrah. Dia termasuk dalam kelompok muslim pertama dari Bani Aslam. Ketika Rasulullah saw. diizinkan oleh Allah untuk berhijrah, Rufaidah termasuk di antara para muslimah kaum Ansar yang menyambut Sang Rasul dengan tabuhan rebana dan kendang serta lantunan Tala’al Badru ‘Alaina.

Sebelum menjadi muslimah, Rufaidah menjalani hari-harinya bersama ayahnya, Sa’ad al-Aslami. Ayahnya seorang tabib dan dukun yang namanya tersohor di negeri itu. Pengobatan yang dilakukan oleh Sa’ad al-Aslami bersama Rufaidah berada di al-Ma’bad atau kuil.

Zaman Jahiliah, kuil tersebut diterangi lampu-lampu gantung dan sejumlah besar patung seperti Latta, Uzza, Astaf, Na’ilah, dan Gauts. Di depan patung ada kotak permohonan serta dinding-dinding yang dihiasi oleh berbagai jimat berupa bangkai burung yang diawetkan, kepala-kepala hewan, dan ular yang dikeringkan.

Kuil Jahiliah diwarnai dengan kesunyian dan suasana mistis. Setiap hari orang-orang berdatangan untuk meminta pengobatan, ada juga mereka yang kehilangan barang, korban kedengkian orang, mereka yang anaknya dikubur, mereka yang hendak mencari kekasih, dan beragam keluhan lainnya.

Mereka begitu sangat percaya pada Sa’ad al-Aslami. Pengobatan itu dilakukan dengan menyalakan api, membaca mantra-mantra, dan meminta petunjuk jin serta setan untuk melayani manusia. Tak jarang menggunakan khamr untuk menahan rasa sakit.

Semenjak Islam menyelimuti Madinah, Rufaidah mulai meninggalkan cara-cara lama dalam pengobatan yang dilakukan bersama ayahnya. Ia menyingkirkan patung-patung, jimat, kotak permohonan, bangkai hewan, dan barang-barang yang ada di kuil serta membersihkannya. Meskipun ditentang oleh ayahnya, akan tetapi ia pantang menyerah membangun perubahan dalam metode pengobatannya.

Rufaidah juga mendirikan kemah pengobatan di samping Masjid Nabawi. Ia fokus dan tekun pada pekerjaan paramedik (keperawatan) yang ilmunya diwarisi dari para leluhurnya. Selain mengobati masyarakat muslim yang menderita sakit, Rufaidah juga turut bergabung dalam peperangan membela Rasulullah saw.

Dia mendirikan kemah di sekitar medan pertempuran dan memberikan pengobatan pada korban perang. Hal tersebut ia lakukan di Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khaibar, Perang Khandaq, dan perang lainnya.

Selain keberaniannya dalam membersamai Rasulullah saw. dalam berbagai perang, Rufaidah juga berani mendobrak cara-cara lama yang salah, menyesatkan, dan musyrik. Sebagai seorang tabib yang dipercaya masyarakat, ia berani melawan kebiasaan lama.

Rufaidah tak ingin lagi ada bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup karena mengundi nasibnya dengan ramalan-ramalan yang dilakukan tabib dan dukun pada masa itu. Ia juga tak meneruskan kebiasaan-kebiasaan yang diajarkan ayahnya, ia teguh dengan prinsipnya dan berjuang dengan tekun memperbaharui cara pengobatan dengan cara yang lebih baik.

Rufaidah dalam memberikan pengobatan tak pernah pamrih, ia adalah seorang altruis yang rela menolong siapa saja yang membutuhkan pengobatannya termasuk musuh-musuh Rasulullah yang terluka. Ia juga dengan ikhlas mengobati seorang laki-laki yang pernah membunuh suaminya.

Hatinya yang lembut dan dipenuhi cinta kasih membuatnya dikagumi banyak orang. Tak jarang orang-orang miskin datang padanya meminta pengobatan dan Rufaidah memperlakukannya dengan baik tanpa menuntut imbalan.

Setelah menikah, ia begitu tertarik dengan Islam dan memeluknya dengan teguh. Ia tetap menjalani hari-harinya dengan menjadi tabib dan merawat orang-orang sakit. Namun, sebelum Rufaidah mengetahui apa yang haram dan halal dalam pengobatan menurut Islam, ia berkomitmen untuk tidak melayani pengobatan terhadap siapapun.

Ketekunannya dalam belajar banyak membawa perubahan. Setelah Rufaidah memeluk Islam, kuilnya dibersihkan setiap saat. Ia mengharuskan tempat pengobatan yang bersih dan suci dari najis. Ia tak akan menyentuh pasien sebelum dalam keadaan bersih dan suci.

Khamr dan barang-barang yang diharamkan tidak dipakai lagi dalam pengobatannya. Rufaidah lebih sering menggunakan madu dan tumbuh-tumbuhan herbal yang disarankan oleh Rasulullah saw.

Rufaidah menjadi orang pertama yang mendirikan Rumah Sakit Medan Perang (Tenda Palang Merah) yang berpindah-pindah. Rumah Sakit tersebut dikelola dengan sangat baik oleh paramedis perempuan yang terlatih. Hal itulah yang menjadikan Tenda Pertolongan pada masa Rasulullah saw dikenal dengan sebutan Khaimah Rufaidah (Tenda Rufaidah).

Sebagaimana juga disepakati oleh para penulis sejarah Islam untuk menyebut Rufaidah sebagai Mumarridah al-Islam al-Ula (Perawat Perempuan Pertama dalam Sejarah Islam)

Selain memberikan pengobatan, ia juga memberikan pelatihan kepada para perempuan agar memiliki keterampilan dalam bidang keperawatan. Rufaidah menjadi pemimpin para perawat perempuan di masa perang. Dia membagi beberapa kelompok perawat beserta tugas-tugasnya. Perjuangannya sangat gigih dan dipenuhi keikhlasan, Rufaidah belum bersedia beristirahat jika masih ada pasien yang belum mendapat pengobatan.

Perjuangannya itulah yang membuatnya mendapatkan hadiah dari Rasulullah berupa kalung sebagai penghargaan untuknya. Kalung tersebut tidak pernah berpisah darinya baik ketika tidur maupun terjaga. Bahkan ia berwasiat agar ketika wafat kalung itu dikuburkan bersama jasadnya.

Perjuangan Rufaidah tidak berhenti hanya pada bidang pengobatan dan keperawatan saja. Namun, ia mencurahkan seluruh jiwanya untuk memberikan pelayanan pada orang-orang yang kehilangan; yaitu kepada setiap orang yang membutuhkan pertolongan, seperti fakir miskin, anak yatim, dan orang-orang yang tidak mampu bekerja.

Rufaidah begitu dermawan dan penuh kasih terhadap sesama manusia. Ia juga menyelenggarakan pendidikan kepada anak yatim, mengasuh mereka, memberikan pelajaran tentang agama, dan ilmu keperawatan.

Rufaidah adalah salah satu teladan perempuan dengan keteguhan iman, keterampilan yang bermanfaat, kegigihan dalam berjuang, penuh kasih terhadap manusia, dan kemandirian dalam menjalani kehidupan. Banyak hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil untuk menambah bekal dalam mengarungi kehidupan yang fana ini.

Mengingat perjuangan, kisah heroik, dan kedermawanan Rufaidah di masa lalu barangkali dapat memperbaharui semangat cinta kasih kita hari ini. Seperti halnya tanaman, budi luhur dan cinta kasih harus dirawat serta dilestarikan sehingga mampu memadamkan narasi-narasi kebencian yang menyulut perpecahan.

 

Sumber:

Syauqi al-Fanjari, Ahmad. 2010. Rufaidah: Kisah Perawat Wanita Pertama dalam Sejarah Islam. M. Halaby Hamdy. Navila: Yogyakarta, Indonesia.

Leave a Response