Perkembangan Islam sejak masa Nabi Muhammad, sahabat, tabiut-tabiin, hingga saat ini, tidak bisa lepas dari sejarah umat-umat nabi sebelumnya. Selain memiliki sejarah tersendiri dalam perkembangan ajaran tauhid yang dibawa oleh para nabi dan rasul sebelum Rasulullah, mereka juga menjadi potret dan renungan bagi umat Islam perihal bagaimana Allah memberikan siksaan karena tidak menghiraukan bahkan mengingkari ajaran-ajaran tauhid tersebut.
Pembangkangan terhadap ajaran tauhid yang dibawa oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad menjadi kisah yang sangat kelam dalam catatan sejarah perkembangan agama Allah di muka bumi. Bahkan, lebih parah dari itu, mereka juga hendak membunuh nabi mereka sendiri dikarenakan ketidaksadaran kolektif bahwa ajaran yang dibawa para nabi itulah yang benar.
Ketidaksadaran itulah yang kemudian menimbulkan hawa nafsu dan ambisi yang sangat tinggi bagi umat terdahulu untuk membunuh para nabi yang membawa ajaran tauhid agar bisa mendapatkan hidayah dari Allah swt. Nabi Zakaria dan Nabi Yahya menjadi salah satu bukti di balik pembunuhan itu.
Imam Abdullah bin Umar bin Muhammad asy-Syirazi atau yang lebih popular dengan sebutan Imam al-Baidhawi (wafat 685 H), dalam kitab tafsirnya menceritakan bagaimana ambisi umat terdahulu untuk membunuh nabi-nabi mereka. Menurutnya, umat terdahulu sebenarnya memiliki keyakinan dan tradisi tidak boleh membunuh orang tidak bersalah, ajaran ini mereka anut dan sangat mereka pegang erat.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, tepatnya ketika datang para nabi untuk mengajarkan ajaran yang benar, mereka justru menentangnya. Nabi Sya’ya, Nabi Zakaria, Nabi Yahya, dan beberapa nabi yang lain telah menjadi catatan hitam di balik kebrutalan mereka yang sudah melupakan tradisinya, yaitu tidak membunuh tanpa alasan yang benar. (Imam al-Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, [Beirut, Darul Ihya’ at-Turats, cetakan pertama: 1418 H, tahqiq: Syekh Abdurrahman], halaman 331).
Oleh karenanya, tidak heran ketika Al-Qur’an mencatat beberapa kaum yang oleh Allah diazab disebabkan pengingkaran, pembangkangan, dan perlawanan mereka terhadap ajaran-Nya. Misalnya, kaum ‘Aad, Samud, dan penduduk Rass, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an,
“Maka adapun kaum Samud, mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras, (5) sedangkan kamu ‘Ad, mereka telah dibinasakan dengan angina topan yang sangat dingin.” (QS Al-Haqqah [69]: 5-6).
Demikianlah gambaran bagaimana Allah memberikan azab kepada umat-umat sebelum Nabi Muhammad. Akan tetapi, atas dasar apa mereka mengingkarinya? Jika sebatas ajaran, seharusnya juga terjadi pada Nabi Muhammad. Mari kita bahas.
Membahas tentang pengingkaran umat nabi terdahulu, maka tidak bisa lepas dari ajaran yang dibawa oleh nabi dan rasul mereka masing-masing. Datangnya ajaran baru menjadi sebuah monopoli bagi mereka yang sudah memiliki keyakinan dan pedoman sejak sebelumnya. Mereka harus mengubah keyakinannya dan mengganti dengan keyakinan baru yang sesuai dengan ajaran yang nabi mereka ajarkan, tentu hal ini bukanlah sesuatu yang mudah.
Ibaratnya, keyakinan dan ajaran yang telah mereka anut bertahun-tahun, sudah menjadi pedoman secara turun-temurun harus dilepas dan harus mereka tinggalkan. Oleh karenanya, tidak heran jika di saat yang bersamaan, nyawa para nabi dan rasul harus menjadi taruhan. Akan tetapi, kejadian yang sama tidak terjadi kepada Nabi Muhammad saw.
Sulthanul Auliya’ Syekh ‘Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah Al-Jailani (470-561 H), dalam kitab monumentalnya, Al-Ghuniah li Thalibi Thariqil Haq berpendapat bahwa di balik pembangkangan dan pengingkaran umat terdahulu disebabkan ajaran yang dibawa oleh para nabi terasa sangat berat bagi mereka.
Misalnya, Kitab Taurat dan Zabur, begitu juga dengan Kitab Injil, Allah turunkan kepada Nabi Musa, Nabi Daud, dan Nabi Isa secara menyeluruh tanpa batas waktu, tidak pula dengan cara bertahap. Berbeda dengan Al-Qur’an yang Allah turunkan secara bertahap.
Ketika para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad menerima kitab suci tersebut, kemudian disampaikan kepada kaumnya saat itu, di saat yang bersamaan mereka justru langsung merasa berat dan bahkan menolak pada ajaran yang dibawanya. Hal ini dikarenakan adanya paksaan secara mental maupun emosional bagi mereka yang harus membuang semua ajaran-ajaran yang sudah diyakini sebelumnya, kemudian mengganti dengan ajaran baru.
Menurut Syekh Abdul Qadir, ketika para nabi terdahulu memaksakan ajaran itu untuk kemudian diterima oleh umatnya, di saat yang bersamaan justru penolakan yang diterima,
“Karena sesungguhnya, ketika Allah menurunkan Kitab Taurat secara menyeluruh, maka sangat berat bagi mereka (Bani Israil) untuk (mengikuti) semua perintah dan larangan yang ada dalam Kitab Taurat. Kemudian mereka berkata, “Kami mendengarkan tetapi kami tidak menaati.” (Syekh ‘Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah Al-Jailani, Al-Ghuniah li Thalibi Thariqil Haq, [Beirut: Darul Ihya’, Turats al-Islami, Lebanon, 1996], juz 1, halaman 290).
Demikian cikal-bakal di balik pembangkangan kaum-kaum para nabi terdahulu. Mereka mengingkari dan menolak ajaran tersebut, meski di saat yang bersamaan juga disampaikan ancaman dan siksaan bagi orang-orang yang tidak menerima ajaran para nabi. Akan tetapi, ancaman azab dan siksaan yang disampaikan tidak menjadi peringatan sedikit pun kepada mereka, bahkan tetap mengingkari dan menganggap remeh ajaran tauhid saat itu.
Selain harus membuang keyakinan yang sudah mereka pegang kuat, mereka juga belum bisa move on dari ajaran yang sudah turun-temurun dari nenek moyangnya. Dari sinilah pentingnya berdakwah tidak hanya menyampaiakan tentang siksaan dan ancaman, penting memang, akan tetapi ancaman dan siksaan tidak akan menjadi penyelamat bagi manusia agar bisa menerima ajaran Islam. Pendapat ini sebagaimana disampaikan oleh Imam Fakhruddin ar-Razi ketika menafsiri ayat “sami’na wa ashaina”,
“Ini menunjukkan bahwa sungguh menakut-nakuti (dengan azab) sekali pun sangat pedih (ancaman tersebut), tidak lantas menjadi penyelamat.” (Imam ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Ihya’, cetakan ketiga: 1420 H], juz III, halaman 604).
Dari beberapa kutipan di atas, ada hal penting yang perlu diperhatikan oleh setiap pendakwah, yaitu tahu bagaimana cara menyampaikan ajaran Islam tanpa harus terkesan memberatkan bagi orang-orang yang akan menerima ajaran tersebut.