Mengapa Tuhan mengatur-ngatur kita? Pertanyaan ini bagi sebagian orang mungkin merupakan sebuah pertanyaan yang tidak etis (su’ul adab) karena telah mempersoalkan perbuatan Tuhan.
Kata “mengatur-ngatur” dalam rangkaian kalimat tanya di atas juga berkonotasi negatif yang seolah mencitrakan penanya telah enggan mengikuti aturan Tuhan. Namun, dalam perspektif filsafat, pertanyaan ini justru merupakan pertanyaan yang sangat mulia dan paling luhur sebab berusaha merambah tataran aksiologi.
Aksiologi secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai cabang dari filsafat yang membahas persoalan nilai, tujuan, manfaat, guna, dan kebijaksanaan dari sebuah entitas. Tataran aksiologi melampai dua tataran filsafat lain yaitu ontologi yang mendedah hakikat entitas dan epistemologi yang menjabarkan bagaimana entitas terformulasikan.
Pertanyaan aksiologi “Mengapa Tuhan mengatur-ngatur kita?” sebenarnya merupakan bentuk penyederhanaan dari banyak pertanyaan parsial-fisosofis seperti:
“Mengapa Tuhan mewajibkan kita shalat?”
“Mengapa Tuhan melarang kita berbuat zalim?”
“Mengapa Tuhan melarang kita mencuri?”
“Mengapa Tuhan melarang kita mengkonsumsi minuman keras?”
“Mengapa Tuhan mengharuskan pernikahan untuk menghalalkan hubungan dengan lawan jenis?”
Kumpulan pertanyaan filosofis ini membutuhkan jawaban yang tidak sederhana. Jawaban berupa pengutipan dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah tidak mencukupi untuk merespon pertanyaan ini. Pengutipan dalil dengan analisis kebahasaan dan usul fikih baru sampai pada tataran epistemologi atau formulasi hukum dan belum sampai pada tataran aksiologi atau nilai.
Aspek nilai ini berkaitan erat dengan apa yang para ulama sebut sebagai tujuan-tujuan syariat (maqashid al-shari‘ah). Tujuan-tujuan ini ditemukan dari hasil istiqra’ atau penyimpulan secara komprehensif terhadap seluruh aturan Tuhan (baca: syariat) baik berupa perintah, larangan, aturan teknis, maupun sanksi hukum Tuhan yang mengikat manusia.
Dalam kitab Maqashid al-Syari‘ah al-Islamiyyah, Muhammad ath-Thahir ibn ‘Ashur (w. 1973 M) mengambil konklusi bahwa tujuan dari seluruh aturan Tuhan ialah untuk menjaga keteratuan umat (hifdz nidzam al-ummah).
Secara lebih spesifik, pemikiran Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa dan Ibrahim al-Syathibi (w. 1388 M) dalam kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah relevan untuk menjawab lima pertanyaan partikular-filosofis di atas.
Menurut keduanya, penurunan aturan Tuhan bertujuan untuk melestarikan lima keniscayaan (al-daruriyyah al-khams) yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Lima keniscayaan ini dilestarikan melalui dua jalan yaitu jalan realisasi (nahiyah al-wujud) dan jalan proteksi (nahiyah al-‘adam). Jalan realisasi termanifestasi dalam perintah, larangan, dan arahan Tuhan agar lima keniscayaan dapat terwujud sementara jalan proteksi terejawantah dalam perintah, larangan dan sanksi hukum agar yang telah terwujud dapat tetap eksis.
Untuk merealisasikan pelestarian agama dalam diri setiap manusia, Tuhan memerintahkan manusia membenarkan semua rukun iman dan menjalankan seluruh rukun Islam. Setelah semua itu terealisasikan, Tuhan memerintahkan jihad fi sabilillah ketika eksistensi keberimanan dan keberislaman diganggu.
Untuk merealisasikan pelestarian jiwa, Tuhan memerintahkan manusia untuk memenuhi kebutuhan pokoknya baik sandang, pangan, dan papan. Pelestarian jiwa dilindungi dengan larangan pembunuhan dan segala perbuatan perbuatan zalim yang mengancam jiwa manusia. Ketika pelestarian jiwa terenggut, sanksi pidana seperti kisas dan diat ditegakan.
Untuk merealisasikan pelestarian akal, Tuhan memerintahkan manusia untuk menuntut ilmu, makan makanan yang halal dan bergizi. Di samping itu, jalan proteksi diterapkan dengan larangan keras mengkonsumsi minuman yang memabukan dan sanksi keras terhadap pelanggarnya.
Untuk merealisasikan pelestarian keturunan, Tuhan mengatur pola hubungan ideal antara laki-laki dan perempuan dengan ikatan sakral pernikahan dan segala hal yang berkaitan. Kesakralan ikatan ini diimbangi dengan larangan zina dan sanksi bagi pelakunya.
Perhatian Tuhan tentang bagaimana manusia mesti berinteraksi dengan lawan jenis memang sungguh besar. Jalan proteksi telah dimulai dengan perintah untuk mengeramkan mata dan menutup aurat.
Terakhir, Tuhan memberikan legitimasi terhadap kepemilikan manusia. Dia memerintahkan manusia untuk bekerja dan bermuamalah dengan baik untuk memperolehnya. Pada saat bersamaan, hal-hal yang mengancam kepemilikan manusia seperti pencurian, gasab, dan perampokan dilarang sama sekali. Sanksi terhadap pelanggar hak milik manusia terwujud dalam aturan-aturan had (pidana) dan takzir.
Abdul Wahhab Khalaf dalam kitab Ilm Ushul al-Fiqh menegaskan bahwa lima keniscayaan merupakan dasar kehidupan manusia di mana kemaslahatan mereka tidak bisa terwujud tanpa kehadiran lima hal fundamental ini. Ketika salah satu dari lima hal ini tidak dilindungi, maka keteraturan umat akan terganggu, kemaslahatan mereka akan terabaikan, dan kekacauan akan merajalela.
Jadi, maksud Tuhan mengatur-ngatur hidup kita bukanlah untuk kepentingan Tuhan sendiri, melainkan untuk kepentingan kita umat manusia. Apapun yang Tuhan perintahkan pada manusia bertujuan untuk memberikan manusia kemaslahatan sedangkan segala hal yang Tuhan larang adalah untuk menghindarkan manusia dari berbagai macam kerusakan.