Jilbab umumnya diyakini sebagai kain yang dipakai perempuan muslimah untuk menutup aurat. Namun, sampai dewasa kini perbincangan mengenai jilbab masih banyak menimbulkan berbagai ikhtilaf atau perbedaan pendapat.

Dalam perkembangannya jilbab telah banyak menjadi perdebatan berbagai macam kalangan. Seperti wajib atau tidak seorang muslimah harus mengenakan hingga pertanyaan besar yang muncul yaitu apakah jilbab menjadi tolak ukur kesalehan seseorang?

Dalam pengertiannya, jilbab berasal dari kata jalaba. Artinya menghimpun dan membawa. Pada era nabi sendiri, jilbab adalah pakaian yang besar dan longgar, menutupi kepala sampai bawah kaki. Dan pada masa nabi tak hanya perempuan yang memakai jilbab, tapi laki-laki juga memakai.

Pengertian lain yang hampir sama juga menyebutkan bahwa jilbab adalah kain yang menutupi kepala dan dada. Secara singkat, jilbab dapat dipahami sebagai kain yang digunakan untuk menutupi kepala perempuan. Namun, dengan demikian pemaknaan atas jilbab telah terjadi pergeseran sampai saat ini.

Secara historis, sebenarnya pemakaian jilbab sudah muncul sejak zaman pra Islam bahkan tidak hanya dalam agama Islam seperti dalam agama lain; agama Yahudi dan Kristen. Begitu pula masalah berbagai bentuk dan nama antara jilbab atau kerudung.

Dalam Taurat dikenal istilah yang semakna dengan jilbab, yaitu tiferet. Sedangkan dalam Injil terdapat istilah redid, zammah, re’alaf, zaif, dan mitpahat. Dalam hal ini, adalah hal yang lumrah jika ajaran Islam juga telah banyak diadopsi dari hukum dan ajaran-ajaran sebelumnya dan tidak mungkin lepas begitu saja dari kebiasaan dan adat istiadat sebelumnya.

Pada deskripsi ini ditegaskan pula bahwa jilbab bukanlah sesuatu yang Allah perintahkan menjadi syariat haram atau tidak. Namun lebih pada perintah untuk menjaga kehormatan wanita merdeka saat itu. Kemudian, pemahaman jilbab di masa pra Islam dan masa Islam pada zaman Rasul, jilbab dari segi penggunaannya dipakai oleh laki-laki, wanita Islam, dan non Islam. Tujuannya pun digunakan untuk membedakan status sosial, kehormatan, serta kemuliaan.

Seperti dalam Q.S Al-Ahzab: 59 yang merupakan salah satu ayat Alquran yang menjelaskan kewajiban hukum jilbab bagi wanita.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Artinya: Hai Nabi, “Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi maha penyayang.

Ayat ini menjelaskan penggunaan jilbab menjadi bukti bahwa jilbab digunakan untuk membedakan wanita merdeka dengan budak pada zaman Rasul. Selain itu juga untuk membedakan wanita pezina dengan yang bukan pezina. Para wanita diperintahkan mengenakan jilbab ketika keluar agar terhindar dari perilaku jahat laki-laki yang melihatnya.

Sudah jelas, dalam hal ini jilbab pada masa Rasul hakikatnya bukan sebagai simbol kesalehan atau keimanan. Dengan kata lain, singkatnya jilbab berfungsi untuk membedakan status sosial pada wanita saat itu dan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Dengan demikian, penggunaan jilbab pada zaman Rasul merupakan simbol kemuliaan, kehormatan, dan wanita merdeka. Namun, seiring berkembangnya zaman jilbab diyakini sebagai budaya muslimah yang menjadi simbol kesalehan yang dianggap menutup aurat wanita.

Padahal sebenarnya simbol kesalehan pada jilbab itu sendiri sungguh tidak berdasar. Adanya persepsi ini akan membawa dampak kebalikannya, yakni perempuan yang tidak berjilbab dipandang bukan perempuan muslimah atau bukan perempuan baik yang taat.

Parahnya lagi pada saat ini jilbab yang diyakini sebagai simbol kemuliaan dan kesalehan, beralih pada aspek dunia semata. Seolah-olah wanita yang berjilbab terlihat semakin indah, anggun, dan seksi dengan mode style-nya yang berbagai bentuk dan ukuran. Terlepas dari itu, lebih jauh jilbab makin melejit menjadi komoditi dagang yang menggiurkan. Dan itu menjadikan jilbab sebagai life style yang berpengaruh positif. Tentu tidak menutup kemungkinan untuk melupakan nilai spiritual tentang tata cara berpakaian, salah satunya agar tidak bertabarruj.

Selain menjadi simbol teologis, bisa jadi perempuan yang mengenakan jilbab adalah untuk mencari rasa aman dari jilbab yang sudah ditampilkan sebagai busana muslimah yang baik. Dengan itu mereka bisa berharap akan mendapatkan simpati baik dari publik karena akhlak baik dari jilbabnya yang dijadikan sebagai simbol kereligiusitasnya.

Tak tanggung-tanggung, saat ini pula banyaknya tafsiran akan jilbab. Jilbab pun telah termodifikasi menjadi gaya hidup dan bagian dari fashion dan menjadi salah satu cara bagi wanita untuk memenuhi kebutuhannya dari yang rendah sampai paling tinggi.

Dari berbagai permasalahan jilbab yang masih sering menjadi ikhtilaf, kebanyakan masyarakat pada kenyataannya masih banyak yang belum mampu memaknai jilbab itu sendiri. Sehingga bisa jadi masyarakat hanya memaknai jilbab sebagai kain yang terpisah dari baju untuk menutup aurat muslimah seperti kepala, leher, dan dada dan utamanya menjadi simbol kesalehan atau keimanan.

Padahal, sebenarnya jilbab adalah kain atau pakaian panjang yang dipakai oleh wanita dan laki-laki. Hal terpenting yang harus kita pahami bahwa pakaian baik yang dianjurkan adalah bukan pakaian yang hanya bisa menutupi kepala, leher, dan dada, namun bagaimana kita menjadikan pakaian atau jilbab itu sendiri dapat meningkatkan kepercayaan diri dan kualitas spiritual dan ketakwaan kepada Allah Swt.

Leave a Response