Duka atas wafatnya Prof. Abdul Malik Fadjar tak hanya warga Muhammadiyah yang merasakan, tetapi seluruh rakyat Indonesia merasa kehilangan putera terbaiknya. Malik Fadjar adalah sosok pendidik sejati. Pengalamannya di dunia pendidikan tak diragukan. Pemikiran jenius dalam tulisan-tulisannya masih menjadi rujukan banyak kalangan hingga saat ini.

Saya pertama menggenal Prof. Abdul Malik Fadjar lewat bukunya yang berjudul Pendidikan sebagai Praksis Pembangunan Bangsa. Ia lugas dalam menulis dan mudah dimengerti isi kontennya. Pemikiran sangat reflektif dalam soal pendidikan.

Sebagai generasi saat ini—praktis saya tak mengenal Prof. Malik Fadjar secara langsung. Tetapi, banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah yang saya kenal melalui dosen ketika kuliah S1, seperti Prof. Amin Abdullah. Di samping itu, ada pula Buya Ahmad Syafii Maarif, Prof. Munir Mulkhan, Prof. Din Syamsudin.

Sebagai wujud rasa hormat saya, berikut tulisan sekilas biografi pendek dari Prof Abdul Malik Fadjar, sang pejuang pendidikan.

Abdul Malik Fadjar lahir di Yogyakarta 22 Februari 1939 dengan nama lengkap Abdul Malik. Ayahnya bernama Fadjar Martodiharjo dan ibunya bernama Hj. Salamah Fadjar. Abdul Malik muda yang biasa dipanggil “Malik” tumbuh dan berkembang di tengah-tengah keluarga terdidik (Educational Village Family).

Ayahnya serorang guru Agama. Sehingga dari sang ayah, Malik muda mendapat banyak belajar ilmu agama dan keagamaan. Salah satu ajaran penting dari ayahnya yakni mentransmisikan kepada semua anak-anaknya tentang percaya diri dan keberanian diri.

“Ayah memang banyak membentuk pribadi saya, tiga hal yang secara penuh saya warisi dari ayah yaitu komitmen pada dunia pendidikan, kesederhanaan dan kepedulian sanak saudara. Sedang Ibu, karena keturunan ningrat, banyak membentuk saya dalam bidang tata krama dan sopan santun”. Ujar Prof. Malik Fadjar dalam buku Darah Guru dakwah Muhammadiyah, Perjalanan Hidup Abdul Malik Fadjar.

Kepribadian Abdul Malik Fadjar tidak jauh dari ayahnya, Fadjar Martodijarjo. Sederhana, memiliki kepedulian terhadap saudara dan komitmen terhadap pendidikan. Hal demikian terbentuk melalui proses internalisasi nilai yang intens. Fadjar Martodiharjo tidak hanya memerintahkan anaknya, tidak hanya menegur kalau anaknya bersalah, tetapi berbuat untuk memberi teladan.

Hal ini dikarenakan, ayahnya merupakan pribadi “Liberal” yang dalam arti lebih banyak menampilkan “Tutwuri” yaitu mendorong lahirnya sikap percaya diri dan keberanian diri yang semuanya berpangkal kepada iman.

Nilai religiusitas dan humanitas dari ayahnya yang ternyata mengakar kuat dalam diri pribadi Abdul Malik Fadjar sehingga dalam situasi dan kondisi apapun. Tidak berlebihan jika sosok Prof Abdul Malik Fadjar adalah pribadi pejuang pengabdi yang penuh cita dan mimpi-mimpinya, khusus di bidang pengembangan pendidikan.

Karir pendidikan dia ukir di Kota Malang, beliau menempuh di Fakultas Tarbiyah Cabang Sunan Ampel Surabaya (kini telah menjadi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang). Lalu ia menamatkan studi Master of Science di Florida State University Amerika Serikat, kemudian memperoleh gelar sebagai Guru Besar (Profesor) dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel.

Tidak lama berselang, pada tahun 1995 memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2001.

Sebagai aktivis organisasi, Abdul Malik Fadjar menggeluti sejumlah organisasi, mulai dari Pelajar Islam Indonesia (PII), Badan Kontak Siswa Kementerian Agama (BKSKA) dan Kepanduan Islam. Berlatar belajar sebagai aktivis Islam modern pada saat bersamaan ia mengenal Masyumi. Pada saat itulah sang ayah memang menjabat sebagai ketua Masyumi Cabang Mertoyudan.

Di sinilah Abdul Malik Fadjar mulai banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh politik, sehingga dapat mengenal perilaku serta pemikiran mereka. Beliau mengagumi tokoh-tokoh Masyumi seperti Natsir, Sukiman, Prawoto, dan Roem. Yang membekas dalam hati. Dari tokoh tersebut melandasi hidupnya dengan kejujuran. Mencurahkan hidupnya benar-benar untuk perjuangan.

Sebagai aktivis ulung, Prof Malik Fadjar dalam dunia mahasiswa menjadi anggota HMI. Visi yang selaras yang diusung organisasi mahasiswa tersebut diyakini selalu mengusung plurasime, baik pemahaman maupun aplikasinya, geografi kultural, sosial dan ekonomi serta agama. HMI sebagai organisasi kemahasiswa sejak awal memplokmirkan organisasi independen, bebas dari ideologi keagamaan dan kesukuan.

Tokoh teras HMI seperti Nurcholis Madjid, Dawan Raharjo, Djohan Effendy, Ahmad Wahib, Fahmi Idris, Ismail Hasan Materium, Mari’e Muhahmad menjadi kawan sejawatnya.

Segudang pengalaman telah Malik jalani. Entah itu pengalaman akademik dan pengalaman organisasi, karirnya-pun sangat beragam. Pernah menjadi guru sejak dari lulus PGAPN yaitu guru di Taliwang Sumbawa Besar pada tahun 1959. Baginya menjadi guru memberi kesen tersendiri, perkerjaan guru sebuah komitmen.

Jejak karir dari bawah Prof. Abdul Malik Fadjar berlanjut dipercaya menjadi Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (Unmuh Malang) tahun 1983. Dan akhirnya dipercaya menjabat Rektor Universitas Muhamadiyah Malang. Berkat tanggan dingin, kita bisa merasakan pengembangan kampus tersebut menjadi salah satu perguruan tinggi swasta yang terbaik.

Dengan banyaknya jabatang mentereng sempat memimpin Departemen Agama pada Presiden B.J. Habibie. Kemudian dipercaya kembali menjadi Menteri Pendidikan Nasional pada masa pemerintaan Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2001-2004.

Selama menjabat Depdiknas banyak hal yang dilakukanya. Mulai mengadakan otonomi pendidikan, merubah beberapa status perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi badan Hukum Milik Negara (BHMN), menaikan tujungan fungsional guru 100-150 persen, mengesahkan berubahnya IAIN menjadi UIN dan mengesahkan undang-udang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dan sempat duduk sebagai anggota pertimbangan presiden periode 2015-2019.

Di masa tuanya, Prof. Malik Fadjar pun masih tetap istiqomah dalam masih menguji mahasiswa S2 dan S3 di kampus almamaternya. Namun, sesekali masih aktif menulis dan mengisi berbagai seminar di perguruan tinggi.

Hari-hari setelah itu, berharap tak ada berita lebih buruk tentang Prof. Malik Fadjar. Tetapi, kabar duka itu datang. Memang Tuhan mempunyai rencana lain. Kita semuanya kehilangan tokoh pendidikan itu. Terima kasih atas segala perjuanganmu Prof. Abdul Malik Fadjar. Selamat Jalan.

Leave a Response