Jika kita bicara soal filsafat Islam, tentunya tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan filsafat secara umum. Berpikir filsafat merupakan hasil upaya manusia yang berkesinambungan di seluruh semesta alam. Akan tetapi, berpikir filsafat dalam pengertian berpikir bebas dan mendalam atau radikal yang tidak dipengaruhi oleh dogmatis dan tradisi disponsori oleh filosof-filosof Yunani.
Oleh karenanya, sebelum kita membahas lebih jauh tentang filsafat Islam secara khusus, ada baiknya jika kita me-remind terlebih dahulu pengetahuan kita tentang filsafat secara umum.
Tahap berikutnya kita akan membahas lebih mendalam apa itu filsafat Islam, apa saja obyek yang menjadi topik bahasannya, serta tokoh-tokoh di dunia filsafat Islam dan pemikirannya. Di bagian akhir kita akan membahas tentang metodologi kajian filsafat Islam agar kita mendapatkan hasil kajian yang agak mendalam tentang filsafat Islam itu sendiri.
Filsafat, sebagaimana diulas K. Bertens (1984: 13), juga Sirajudin Zar, 2012: 2), adalah kata majemuk yang berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia dan philosophos. Philo berarti cinta (loving), sedangkan Sophia atau sophos artinya pengetahuan atau kebijaksanaan (wisdom).
Dengan demikian, secara sederhana filsafat adalah cinta pada pengetahuan atau kebijaksanaan.
Pengertian cinta yang dimaksudkan di sini adalah dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan rasa keinginan itulah ia berusaha mencapai atau mendalami hal yang diinginkan. Demikian pula yang dimaksudkan dengan pengetahuan, yaitu tahu dengan mendalam hingga ke akar-akarnya atau sampai ke dasar segala dasar (Zar, 3).
Dalam perkembangan selanjutnya, orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa Arab menjadi falsafa. Hal ini sesuai dengan tabiat susunan kata-kata Arab dengan pola fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Karenanya, kata benda dari kata kerja falsafa seharusnya falsafah dan filsafat. (Harun Nasution, 1973: 7). Kata filsafat pun yang kemudian dipakai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1990: 342).
Lalu, siapakah orang yang pertama kali menggunakan kata filsafat?
Dialah Pythagoras (w. 497 M). Mulanya, kata ini digunakannya sebagai reaksi terhadap orang yang menamakan dirinya ahli pengetahuan. Manusia, menurut Pythagoras, tidak akan mampu mencapai pengetahuan secara keseluruhan meski akan menghabiskan semua umurnya. Oleh karena itu, yang lebih tepat bagi manusa adalah pencinta pengetahuan (filosof). Hal ini mengacu pada ungkapan Pythagoras sendiri,
“Aku tidaklah ahli pengetahuan, karena ahli pengetahuan itu khusus bagi Tuhan saja. Aku adalah filosof, yakni pecinta ilmu pengetahuan.” (Zar, 3).
Namun, jika kita telusuri lebih cermat, kata filsafat popular pemakaiannya sejak masa Sokrates dan Plato. (Bertens, 13). Tetapi yang pasti, kata filsafat ini telah ada sejak masa filosof Yunani.
Dalam sejumlah buku atau referensi akan kita temukan pelbagai definisi filsafat. Namun, pada prinsipnya dalam keragaman tersebut terdapat keragaman tujuan. Dari situlah kemudian, secara simple dapat diuraikan, bahwa filsafat adalah hasil proses berpikir rasional dalam mencari hakikat sesuatu secara sistematis, menyeluruh (universal), dan mendasar (radikal).
Mengacu pada pemaparan di atas, maka kita dapat mencermati bahwa berfikir dilsafat mengandung ciri-ciri rasional, sistematis, universal atau menyeluruh, dan mendasar atau radikal.
Berfikir rasional mutlak diperlukan dalam berfilsafat. Rasional mengandung arti bahwa bagian-bagian pemikiran tersebut berhubungan antara satu dan lainnya secara logis. Jika diibaratkan sebagai satu bagan, bagan tersebut adalah bagan yang berisi kesimpulan yang “diperoleh dari premis-premis.” (Louis O. Kattsoff, 1986: 10-11). Sistematis artinya, ia harus berdasarkan aturan-aturan penalaran atau logika.
Pada dasarnya berfikir filsafat ialah berusaha untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional dalam rangka memahami segala sesuatu termasuk diri kita sendiri. Sedangkan menyeluruh artinya suatu sistem filsafat harus bersifat komprehensif. (Zar, 4).
Keempat karakteristik tersebut oleh Jujun S. Suriasumantri (1985: 22), ditambahkan satu karakteristik lagi, yakni spekulatif. Penambahan ini dapat diterima, karena spekulatif adalah dasar ilmu pengetahuan. Inilah baragkali yang kemudian memunculkan gap atau jurang pemisah antara pengetahuan filsafat dan pengetahuan sains.
Paling tidak terdapat tida bahasan pokok yang menjadi obyek dari pembahasan filsafat. Obyek tersebut di antaranya adalah Ontologi atau al-Wujud, Epistimologi atau al-Ma’rifat dan Aksiologi atau al-Qayyim.
Pembahasan ontologi mencakup hakikat segala yang ada (al-manjudat). Dalam dunia filsafat “yang mungkin ada” termasuk dalam pengertian “yang ada”. Dengan kata lain, “yang mungkin ada” merupakan salah satu jenis “yang ada”. Dan ia tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok “yang tiada”, dalam arti tidak ada atau “mustahil ada.”
Umumnya bahasan “yang ada” terbagi menjadi dua bidang, yakni fisika dan metafisika. Bidang fisika mencakup tentang manusia, alam semesta, dan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya, baik benda hidup maupun benda mati. Sedangkan bidang metafisika membahas masalah ketuhanan dan masalah imateri. (Zar, 6).
Pembahasan epistimologi berkaitan dengan hakikat pengetahuan dan cara bagaimana atau dengan sarana apa pengetahuan dapat diperoleh. Ada dua teori dalam hal ini. Teori pertama yang disebut dengan realisme, berpandangan bahwa pengetahuan adalah gambar atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Gambaran atau pengetahuan yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang terdapat di luar akal. Namun, pengetahuan tersebut, menurut teori ini, sesuai dengan kenyataan yang ada.
Teori kedua disebut dengan idealisme, berpandangan bahwa pengetahuan adalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui. Berbeda dengan realisme, pengetahuan menurut teori ini berarti menggambarkan kebenaran yang sebenarnya karena, menurutnya, pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. (Ibid, 7)
Sementara itu, tentang metode-metode untuk memperoleh pengetahuan terdapat dua teori pula. Pertama, teori empirisme, yakni berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantaraan pancaindra. Alat utama inilah yang memperoleh kesan-kesan dari apa yang ada di alam nyata. Kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri manusia yang kemudian menyusun, dan mengaturnya menjadi pengetahuan.
Kedua, teori yang disebut dengan rasionalisme, berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantaraan akal. Memang untuk memperoleh data-data dari alam nyata dibutuhkan pancaindra, tetapi untuk menghubung-hubungkan satu data dengan data lainnya atau untuk menerjemahkan satu kejadian dengan kejadian lainnya yang terjadi di alam nyata ini diperlukan sekali akal.
Andai bersandar pada pancaindra semata, manusia tidak akan mampu menafsirkan proses alamiah yang terjadi di semesta raya ini. Jadi, akal lah yang menyusun konsep-konsep rasional yang disebut dengan pengetahuan. (Nasution, 10-11). Pengetahuan inilah yang kemudian dapat berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan manusia.
Pembahasan aksiologi berkaitan dengan hakikat nilai. Dalam menentukan hakikat atau ukuran baik dan buruk dibahas dalam filsafat etika atau akhlak. Dalam menentukan hakikat atau ukuran salah dan benar dibahas dalam filsafat logika atau mantiq. Sementara dalam menentukan ukuran indah dan tidaknya dibahas dalam filsafat estetika atau jamal. Bersambung…