Ketika masyarakat mendengar Menteri Kelautan dan Perikanan maka secara otomatis kita akan teringat pada sosok Ibu Susi Pudjiastuti, tapi siapa yang menyangka pada zaman kolonial kita juga pernah memiliki sebuah armada yang paling ditakuti, yang dipimpin oleh seorang Laksamana perempuan bernama Malahayati.
Keumalahayati atau yang lebih dikenal dengan Laksamana Malahayati, merupakan perempuan cerdas dan pemberani. Malahayati lahir pada tahun 1560, tepat pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Qahar yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam.
Malahayati lahir dari keluarga bangsawan, di mana ayah dan kakeknya bergelar Laksamana, yakni Laksamana Mahmud Syah dan Laksamana Said Syah, sedang Laksamana Said Syah sendiri putra dari Sultan Salahuddin Syah, dan Sultan Salahuddin Syah merupakan putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah, pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Terlahir di keluarga yang bercukupan tidak membuat Malahayati menjadi anak perempuan yang suka berleha-leha, justru sebaliknya ia tumbuh menjadi anak yang rajin dan cerdas. Sejak kecil ia sudah belajar baca-tulis Alquran, bahkan pada usia 8 tahun ia sudah belajar langsung dengan ulama terkemuka Aceh yakni Tengku Jamaluddin Lam Kra.
Dua tahun kemudian, Malahayati meneruskan pendidikan agama yang lebih luas di Dayah Inong, di sana beliau belajar ilmu fiqih, akidah, akhlak, dan bahasa Arab. Ditambah lagi dengan Aceh yang terkenal dengan sebutan kota Serambi Mekah, maka tak heran Malahayati mendapatkan kesempatan untuk mempelajari ilmu agama dengan lebih dalam.
Tak hanya belajar agama, berkat ketekunan dan dukungan orangtua, Malahayati pun belajar berbagai bahasa dengan mendatangkan guru ke rumahnya. Tak heran jika Malahayati tak hanya menguasai bahasa Indonesia saja, bahasa Aceh, dan bahasa Melayu saja tapi ia menguasai bahasa Arab, bahasa Spanyol, dan bahasa Prancis.
Tak sampai di sana Malahayati juga memiliki kesempatan menempuh pendidikan militer Jurusan Kelautan. Kecintaannya terhadap lautan turun dari ayahnya. Sewaktu kecil, Malahayati sering diajak ayahnya ke pelabuhan untuk melihat kapal dagang dan kapal perang milik kerajaan Aceh.
Di pelabuhan Malahayati juga menyaksikan latihan perang yang dilakukan oleh kapal-kapal perang kerajaan Aceh di Lautan. Selain kecintaanya pada lautan juga tumbuh sifat berani pada diri Malahayati, terutama dalam melawan penjajah. Sebab kala itu, sebagian wilayah semenanjung Malaka telah jatuh di tangan Portugis.
“Ah, mengapa aku lahir sebagai perempuan. Andai saja aku lahir sebagai laki-laki, tentu aku dengan mudah menjadi laksamana dan menuntut balas kepergian Ayah.”
Keluhan perempuan yang terlahir sebagai perempuan nyatanya tak hanya dirasakan oleh sebagian perempuan di luar sana, tetapi juga dirasakan oleh Malahayati. Kalimat tersebut keluar usai kepergian ayahnya di medan perang, karena saat itu Malahayati belum bisa berbuat apa-apa maka keluh kesahnya ia utarakan kepada gurunya yakni Tengku Ismail Indrapuri.
“Malahayati, di hadapan Allah, manusia dan laki-laki dan perempuan itu sama saja itu karena kedua-duanya memikul amanah-Nya di bumi ini.” Berkat nasehat dari gurunya, Malahayati bisa bangkit dan bersemangat untuk mengejar cita-citanya kembali. Bahkan beliau berani bersumpah kelak ketika dewasa akan berjuang melawan penjajah di tanah air ini.
Pengalaman pahit tersebut juga menjadi salah satu alasan bagi Malahayati untuk lebih giat belajar di Baitul Maqdis. Dan usai menamatkan pendidikan, Malahayati memilih menikah dengan Laksamana Muda Ibrahim pada usia 17 tahun dengan laki-laki yang dikenalnya sewaktu mengenyam pendidikan di Baitul Maqdis.
Selain senior di kampus, suami Malahayati juga sempat menjadi seorang bawahan mendiang ayahnya yakni Laksamana Mahmud Syah. Kemudian Laksamana Muda Ibrahim diangkat menjadi Panglima Armada V Kerajaan Aceh dan sebagai seorang istri, Malahayati juga kerap mengikuti suaminya ketika bertugas.
Untuk yang kedua kalinya, setelah ditinggal oleh ayahnya kemudian suaminya gugur di Medan perang saat pertempuran melawan Portugis di perairan Selat Malaka. Saat itu Malahayati sedang turut membantu, maka dengan pengalamannya semasa belajar di Baitul Maqdis dan pengalaman pahitnya saat ayahnya meninggal beliau mengambil alih dan mengomando kapal perangnya.
Tanpa disangka dengan keberaniannya Malahayati berhasil menenggelamkan tiga kapal dan menawan dua kapal milik Portugis, walaupun masih ada satu kapal Portugis yang berhasil lolos tetapi keberhasilan Malahayati dalam melawan kapal Portugis cepat sekali tersebar ke masyarakat Aceh.
Tak lama dari peristiwa tersebut, Malahayati mengajukan dirinya kepada Sultan Alauddin Riayat Syah pemimpin Kerajaan Aceh waktu itu untuk membentuk armada Aceh dimana seluruh prajuritnya adalah perempuan janda yang suaminya telah gugur di Medan perang bersama suaminya.
Tak membutuhkan waktu lama, Sultan memberikan izin kepada Malahayati dengan pertimbangannya sebagai alumni militer kelautan dan pengalaman dalam memimpin kapal perang untuk memimpin armada Kerajaan Aceh. Armada tersebut diberi nama Inong Balee (armada perempuan janda) dan Malahayati mendapatkan gelar Laksamana muda di usia 22 tahun.
Armada Inong Balee memiliki kekuatan 1000 perempuan janda tetapi berjalanannya waktu kekuatan armada Inong Balee terus bertambah sebab masyarakat Aceh terutama yang perempuan banyak yang mendaftar sebagai relawan. Bahkan kala itu armada Aceh yang dipimpin oleh Laksamana Malahayati menjadi armada terkuat di Asia Tenggara.
Di tengah pandemi dan situasi politik yang kurang baik, semoga hari ini masyarakat Indonesia khususnya kaum perempuan dapat meneladani kegigihan, semangat dan keberanian dari Laksamana Malahayati.
Sumber :
Adi Pewara. 1991. Malahayati (Sang Betina Dari Aceh). Surabaya: Karya Anda.
Solichin Salam. 1995. Malahayati Srikandi Dari Aceh. Jakarta: Gema Salam.