Nazahah (نزاهة) merupakan salah satu di antara akhlak yang terpuji (al-akhlaq al-mahmudah). Secara bahasa, Nazahah artinya jauh/bersih dari hal-hal yang dibenci (tidak baik). Berakhlak Nazahah berarti menjauhkan diri dari segala perilaku buruk yang hina dan kotor. Secara spesifik, Syekh Al-Munawi mendefiniskan Nazahah sebagai sikap dalam memperoleh harta tidak dengan cara-cara yang hina dan sewenang-wenang, serta membelanjakannya untuk hal-hal baik (at-Tawqiif ‘ala Muhimmaat at-Ta’aariif, h. 695).
Berdasarkan definisi tersebut, Nazahah tampak tidak jauh beda dengan ‘Iffah. Bedanya, kalau ‘Iffah itu menahan diri dari perbuatan yang haram, sedangkan Nazahah adalah menahan diri atas perbuatan yang mubah. Selain itu, jika ‘Iffah dilakukan demi mempertahankan prinsip agama, tidak demikian dengan Nazahah yang dilakukan demi menjaga muruah. Perbedaan kedua akhlak terpuji ini dijabarkan oleh Syekh Abu Hayyan at-Tauhidi di dalam kitabnya berjudul al-Bashaa’ir wa adz-Dzakhaa’ir (h. 121, jilid V).
Akhlak Nazahah ini didasarkan pada firman Allah swt. di penghujung ayat 222 surah Al-Baqarah;
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.
Dalam kitab tafsirnya, Imam Fakhruddin ar-Razi menerangkan bedanya orang-orang yang bertaubat (at-tawwaabiin) dengan orang-orang yang menyucikan diri (al-mutathahhiriin). Adapun at-tawwaabiin adalah mereka yang pernah melakukan dosa dan kemaksiatan, kemudian menyesali dan meninggalkannya. Sementara al-mutathahhirin adalah mereka yang suci dari dosa dan maksiat, dalam artian tidak terjerumus melakukannya. Sebab, pada dasarnya, dosa dan maksiat merupakan najis/kotoran yang berdimensi rohaniah. Tipikal yang kedua inilah yang disebut dengan akhlak Nazahah.
Selain Alquran, akhlak Nazahah juga tecermin dalam beberapa hadis, antara lain hadis yang dirawikan dari an-Nu’man bin Basyir, yang mengaku pernah mendengar Nabi saw. bersabda:
Sesungguhnya yang halal itu sesuatu yang jelas, dan yang haram juga demikian. Sedangkan yang berada di antara keduanya ialah sesuatu yang syubhat (kejelasan hukumnya masih samar), yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya.
Dengan demikian, siapa saja yang menjaga dirinya dari syubhat, maka ia telah berlepas diri darinya demi menjaga agama dan kehormatannya. Sementara siapa saja yang jatuh ke dalam perkara syubhat, maka ia berpeluang tergelincir pada sesuatu yang haram.
Ibarat seorang penggembala yang menggembalakan hewan ternaknya di sekitar kawasan terlarang, maka dikhawatirkan ia akan masuk melewati kawasan terlarang itu.
Di kitab Fathul-Baarii (h. 229-330, jilid ke-1), Imam Ibnu Rajab menjelaskan bahwa orang yang menjaga diri dari perkara syubhat berarti orang yang bersikap Nazahah. Lugasnya, yang bersangkutan telah menjaga muruahnya dari aib-aib yang akan muncul akibat bergumul dengan kesyubhatan.
Lebih detailnya, akhlak Nazahah setidaknya memiliki empat gambaran. Pertama, Nazahah dari harta yang masih disangsikan kejelasan hukumnya. Contohnya, akhlak Nazahah yang ditunjukkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq yang memuntahkan makanan yang dihidangkan oleh pelayannya, setelah si pelayan memberitahukan Abu Bakar bahwa makanan itu diperolehnya dari hasil memperdaya orang (Lihat pada Shahih Bukhari no. hadis 3842).
Kedua, Nazahah dari segala hal yang dapat mengundang kecurigaan. Sebagai misal, kisah Rasulullah ketika mengantar pulang istrinya yang bernama Shafiyah. Di jalan, Rasul berpapasan dengan dua orang Anshar yang sempat tertegun melihat beliau berjalan berduaan bersama seorang perempuan.
Setelah itu, tidak berselang lama kedua orang Anshar tadi kemudian melanjutkan perjalanannya. Lantas, Rasulullah memanggil mereka dan menegaskan bahwa perempuan yang bersamanya ialah Shafiyah binti Huyay, istri beliau. Kisah lengkapnya dapat dilihat pada Shahih Bukhari, persisnya pada pembahasan tentang iktikaf.
Ketiga, Nazahah dari perkara halal yang dikhawatirkan akan menghantarkannya pada sesuatu yang haram. Al-Hafizh Ibnu Abi ad-Dunya dalam bukunya, Kitab al-War’i, meriwayatkan hadis dari Abu Yazid al-Faydh.
Saya bertanya kepada Musa bin A’yan tentang firman Allah: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Ma’idah: 27), Musa bin A’yan menjawab: “Mereka menjauhkan diri dari sesuatu yang halal yang berpeluang menjerumuskan mereka kepada sesuatu yang haram.” Lalu, Musa bin A’yan menyebut mereka sebagai orang-orang yang bertakwa.
Untuk diketahui, Musa bin A’yan merupakan sosok perawi hadis terpercaya dari kalangan tabi’in generasi pertengahan, yang hidup di daerah al-Jazirah (Mesopotamia Hulu), Irak, dan wafat tahun 177 H di kota kuno Harran, Turki.
Keempat, Nazahah dari mencela orang dan berkata kotor. Mengenai gambaran terakhir ini, Imam al-Mawardi dalam bukunya berjudul Adab ad-Dunya wa al-Din (h. 282), menyatakan: Bersikap Nazahah dari mencela orang merupakan suatu kemuliaan/kebaikan hati. Sedangkan berlebihan dalam memuji serta kelewatan dalam mencaci adalah suatu keburukan, sekalipun keduanya dilakukan tanpa kebohongan.
Demikianlah yang dimaksud dengan akhlak Nazahah. Dan sebagai penutup, Sayidina Ali bin Abu Thalib meriwayatkan sebuah doa yang diteladankan oleh Rasulullah saw. agar dianugerahi akhlak yang sebaik-baiknya. Berikut doanya selengkapnya:
Allahummahdinii li-ahsanil-akhlaaq. Laa yahdi li-ahsanihaa illaa anta. Washrif ‘annii sayyi’ahaa. Laa yashrifu ‘annii illaa anta.
Ya Allah, berikanlah saya hidayah (petunjuk) untuk mampu berakhlak dengan sebaik-baiknya. Tidak ada yang dapat memberikan hidayah tersebut, kecuali Engkau. Dan palingkanlah saya dari akhlak yang buruk. Tidak ada yang dapat memalingkan saya dari ahwal tersebut, kecuali Engkau.
Akhirnya, dengan mendawamkan doa ini sembari berikhtiar secara maksimal, semoga kita semua senantiasa dimampukan untuk berakhlak secara tamam. Khususnya dalam konteks ini adalah kemampuan kita berakhlak Nazahah. Terlebih, dengan kondisi perkembangan zaman yang kian menunjukkan krisis moralitas, maka eksistensi akhlak Nazahah di tengah-tengah umat saat ini kiranya bisa menjadi salah satu solusinya.
Wallahu a’lam bish-shawab.