Manusia pada hakikatnya telah dididik oleh orang tua sejak pertama kali lahir hingga memasuki masa umur aqil-baligh. Tentu orang tua sebagai madrasah pertama mempunyai peran penting dalam mendidik anak-anaknya. Mulai dari mengajarkan anak berbicara, berjalan, belajar, menulis, sampai pada tahap mengatur pola dan tingkah laku.

Untuk menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan baik dibutuhkan serangkain proses yang terstruktur terhadap pola pendidikan anak. Pendidikan yang terpola ini akan terus berlanjut hingga memasuki remaja-dewasa.

Proses pendidikan terpola tidak akan pernah lepas dari pembentukan budaya berbuat baik, berakhlak, dan bermoral. Sehingga tidak hanya terkesan melaksanakan proses pembelajaran. Akan tetapi lebih kepada nilai (value) pendidikan yang berintegritas tinggi. Sikap integritas ini secara perlahan dapat menstimulus anak untuk menumbuhkan rasa disiplin dan berdedikasi.

Sejak pertama kali anak masuk sekolah dan beralih status menjadi siswa di dunia pendidikan, tentu hal mendasar yang pertama kali diajarkan adalah adab yang meliputi kelakuan dan kesantunan siswa terhadap orang tua dan guru-gurunya.

Salam dan salim merupakan dua hal kebiasaan baik yang harus ditanamkan kepada siswa sejak dini. Secara sederhana, Salam berarti ungkapan sapaan kepada sesama yang digunakan ketika hendak masuk dan keluar rumah, bertemu saudara atau kerabat dekat, dan ketika hendak bepergian.

Salim (berjabat tangan sekaligus cium tangan) adalah representasi simbol kekeluargaan yang berarti menjaga hubungan erat antara anak dengan orang tua, siswa dengan guru-gurunya, saudara dengan kerabat dekatnya. B

udaya salam dan salim ini merupakan bagian dari kebiasaan sederhana yang mempunyai nilai (value) integritas moral yang baik. Kalimat salam yang diucapkan dengan “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh” mengandung doa-doa keselamatan, kebaikan, dan perdamaian untuk diri sendiri.

Apabila ditelusuri lebih lanjut, budaya salam dan salim tidak hanya terdapat kepada mayoritas muslim saja. Akan tetapi agama-agama non-Islam turut mempraktikkan budaya baik ini dengan berbagai ketentuannya sebagai simbol penghormatan, ketundukan, kedamaian, toleransi, dan kekeluargaan. Dengan demikian, budaya salam dan salim dalam perspektif sosial dapat menumbuhkana rasa kesatuan, rasa memiliki, dan kepedulian terhadap sesama.

Di pesantren, dua kebiasaan salam dan salim mengandung makna moralitas ta’dzim (penghormatan) kepada para guru, ustaz, dan kyai yang menunjukkan sikap muru’ah (akhlak terpuji) santri untuk mendapatkan suatu keberkahan ilmu.

Hal ini juga menandakan cerminan akhlak santri kepada kyai melalui ketundukan dan kepatuhan. Tentu seharusnya budaya yang sedemikian rupa tidak hanya hadir dalam dunia pesantren, akan tetapi dapat dibiasakan dan dipraktikkan di mana pun kita berada termasuk di lingkungan rumah sendiri.

Era modern ini, ketika anak telah memasuki usia lanjut, terdapat masa bahwa anak merasa bisa mengklaim dirinya pandai dalam mengatur jiwa termasuk dalam mengontrol kecerdasan emosional. Padangan subjektivitas ini mengakibatkan akar kebiasaan salam dan salim yang terkontruksi sejak kecil makin lama makin pudar dan larut dalam kebiasaan baru. Hal ini dimungkinkan mulai tersemat fikiran bahwa budaya salam dan salim hanya berlaku ketika masih kanak-kanak.

Lunturnya budaya yang dianggap remeh ini menimbulkan kegelisahan di kalangan para guru, kyai, dan sesepuh. Saat menginjak usia remaja-dewasa, justru peran salam dan salim ini amat penting untuk dipraktikkan, dirawat, dan dilestarikan.

Hal ini juga yang kerap kali disampaikan oleh kyai penulis saat bersilaturrahmi di kediamannya. Ketika beliau menasihati penulis dan juga santri-santrinya. Beliau mengutip sebuah maqolah dalam kitab Nashoihul ‘Ibad karya Syaikh Muhammad Nawawi Ibnu Umar Al-Jawi pada bab (1) pertama bagian ke 7 (tujuh) yang diriwayatkan oleh Yahya bin Mu’az ra. Berbunyi :

(عَنْ يَحْيَى بْنِ مُعَاذٍ رَضِيَ الله عَنْهُ : مَا عَصَى اللهَ كَرِيْمٌ) أَيْ حَمِيْدُ الْفِعَالِ، وَهُوَ مَنْ يُكْرَمُ نَفْسَهُ بِالتَّقْوَى وَبِالإِحْتِرَاسِ عَنِ الْمَعَاصِى (وَلَا آثَرَ الدُّنْيَا) أَيْ لَا قَدَّمَهَا وَلَا فَضَّلَهَا (عَلَى الْآخِرَةِ حَكِيْمٌ) أَيْ مُصِيْبٌ فِيْ أَفْعَالِهِ، وَهُوَ مَنْ يَمْنَعُ نَفْسَهُ مِنْ مُخَالَفَةِ عَقْلِهِ السَّلِيْمِ.

Artinya: “Orang yang mulia tidak akan berani berbuat durhaka kepada Allah Swt. seperti orang yang terpuji, ia memuliakan dirinya dengan takwa dan menjaganya dari perbuatan maksiat. Dan orang yang bijaksana tidak akan menelusuri dunia seperti tidak mendahulukan maupun mengutamakan dunia dari akhirat dengan cara memperbaiki perbuatannya. Dan dia mencegah dirinya dari segala bentuk yang bertentangan dengan nuraninya.”

Lebih lanjut, kyai menjelaskan bahwa orang yang mulia selalu berdampingan dengan akhlakul karimah. Derajat manusia hanya akan diangkat oleh Allah Swt. melalui perantara ketakwaannya kepada Allah. Sedangkan orang yang bijaksana adalah orang yang selalu waspada terhadap segala bentuk yang bertentangan dengan kejelekan, kemungkaran, dan kejahatan terhadap diri sendiri dan sesama manusia.

Maqolah ini secara tidak langsung mengandung ungkapan hablumminallah dan habluminannas. Apapun yang berhubungan dengan Allah Swt. akan berpengaruh kepada manusia dan begitu juga sebaliknya.

Dengan kata lain, membiasakan tradisi salam dan salim secara ruh, rasa, dan rasio yang tertanam dalam hati akan berdampak kepada ketenangan hati, berjiwa sosial, serta relasi kekeluargaan. Kebaikan ini yang seharusnya dijaga, dilestarikan dan diajarkan kembali kepada anak-anak sejak dini.

Pada praktiknya, penggunaan salam dan salim ini dapat menumbuhkan karakter positif yang dapat diterapkan oleh siapa saja. Misalnya, anak-anak yang hendak pergi sekolah membiasakan salim (berjabat tangan sekaligus cium tangan) dan mengucapakan salam kepada orang tua. Begitu pula ketika pulang dari sekolah. Seorang suami yang hendak bekerja membiasakan berpamitan kepada istrinya dengan hal yang senada.

Jika sebelum masa pandemi Covid-19 budaya salim dapat dipraktikkan dengan berjabat tangan dan cium tangan. Maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di masa pandemi, salim dapat dipraktikkan dengan cara simbolisasi yang berlaku pada adat dan kebiasaan masing-masing.

Salim dapat menunjukkan penghormatan terhadap yang tua maupun yang muda. Melalui tulisan ini diharapkan dapat menjadi pengingat diri bahwa sikap ta’dzim melalui budaya salam dan salim yang diajarkan oleh para guru dapat menumbuhkan karakter positif untuk kehidupan yang lebih baik.

Leave a Response