Mengenal Para Mufasir Perempuan dalam Sejarah Islam

Perhatian terhadap kajian dan penafsiran Alquran telah banyak menyita perhatian kalangan umat Islam secara umum, baik laki-laki maupun perempuan. Di dalam internal umat Islam, dinamika penafsiran Alquran sangat beragam. Bukan hanya karena keragaman afiliasi ideologisnya, tetapi juga karena perbedaan jenis kelamin yang ditengarai berdampak pada keragaman tafsir Alquran.

Pada saat ini tentu banyak dari kalangan muda yang mungkin tidak banyak mengetahui tentang seorang mufasir perempuan. Hal ini terjadi karena geliat intelektual di kalangan perempuan, termasuk peran mereka dalam menafsirkan Alquran yang dalam waktu lama tidak pernah tampak dalam belantika tafsir Alquran. Padahal peran-peran perempuan dalam dunia intelektual dalam sejarahnya adalah tidak jauh berbeda dengan laki-laki.

Ketika seseorang membaca sebuah buku yang membahas tentang tafsir, kemudian meneliti  para mufasir, maka akan jarang sekali ditemukan ulama tafsir dari kalangan perempuan. Sedangkan ketika mengkaji lebih dalam maka dapat diketahui bahwa sasaran Alquran tidak hanya melulu pada seorang laki-laki, tetapi juga pada perempuan, bahkan khalayak semesta.

Hal ini bermakna, bahwa tanggung jawab mengkaji dan mendalami Alquran bukan lagi menjadi otoritas kelompok tertentu saja atau hanya sekadar otoritas laki-laki saja, tetapi juga untuk semua yang mempunyai hak dalam mendalami dan mengkaji Alquran, termasuk perempuan.

Jika dilihat dari segi historisnya, maka kita dapat melihat bahwa sesungguhnya perempuan yang sedari awal telah terlibat dalam ranah keilmuan ini adalah Umm al-Mu’minin Aisyah r.a, yang telah banyak mengoleksi riwayat-riwayat hadis tentang tafsir Alquran.

Bahkan ia juga dikenal sebagai “perempuan intelektual” (afqahu nisa’ al ummah) yang koleksi hadisnya mencapai 2210, dengan mempunyai murid-murid yang kebanyakan terdiri laki-laki dari kalangan sahabat, seperti Ibnu Abbas, Urwah ibn Zubayr, dan masih banyak lainnya.

Selain itu Aisyah r.a, peran dari Ummu Salamah juga tidak dapat diabaikan begitu saja, karena ia juga mempunyai peranan yang penting dalam kaitan nya dengan Alquran. Bahkan ia juga telah mempresentasikan spirit kematangan intelektual dan perhatian perempuan dengan nash Alquran, khususnya berkaitan dengan relasi antara laki-laki dan perempuan.

Di samping dari dua orang yang telah disebutkan, tentu nya juga ada banyak para perempuan yang terlibat dalam proses transmisi hadis dan menyelamatkan nya dalam bentuk catatan tertulis. Namun, seiring dengan iklim politik yang tidak stabil pasca terbunuhnya khalifah Ustman bin Affan.

Khususnya ketika keterlibatan Aisyah dalam pusaran konflik politik pada perang unta, telah menjadi terdesaknya para perempuan, sehingga enggan terlibat khusunya pada sektor publik, dan membuat kembali pada sektor domestik.

Sehingga, dalam perkembangannya, otoritas menafsirkan Alquran nyaris menjadi hak eksklusif laki-laki. Hal ini sangat terlihat jelas ketika adanya beberapa buku yang mengupas biografi mufasir, hanya ditemukan Adil Nuwayhidl dalam bukunya yang berjudul Zayb al-Tafasir fi Tafsirah al-Quran.

Seiring dengan berjalannya waktu, semangat perempuan untuk terlibat dalam ruang publik kembali bermunculan, sehingga sangat berdampak pada semakin banyaknya perempuan yang mendalami pengetahuan.

Ruang terbuka untuk bisa bersama-sama dalam menggali pengetahuan menjadikan peluang ini sebagai pintu pembuka keterlibatan perempuan dalam memberikan konstribusi dalam ilmu pengetahuan, tidak terlepas dari tafsiran Alquran. Sehingga bisa saja kita temukan beberapa karya tafsir dalam ragam bentuknya yang telah ditulis oleh perempuan.

Berikut nama-nama mufasir perempuan spektakuler yang muncul dalam sejarah Islam.

Pertama, Aisyah Abd ar-Rahman. Ia adalah perempuan dari Mesir yang lebih dikenal dengan Bintu al-Sya’thi. Melalui beberapa karyanya, terutama dalam al-Tafsir al-Bayani lil al-Quran, ia telah berhasil memberikan kontribusi nyata dalam bidang tafsir Alquran.

Meskipun ia tidak menafsirkan seluruh bagian Alquran, tetapi setidaknya ia telah meletakkan arus baru dalam tafsir Alquran yang disebut dengan al-Tafsir al-Bayani.

Kedua, Zaynab al-Ghazali. Ia merupakan seorang dai perempuan terkemuka yang sempat terlibat aktif bersama feminis Mesir, Huda Sya’rawiy. Zaynab pernah mendengarkan pemaparan dari salah satu ulama al-Azhar bahwa kampanye Huda Sya’rawiy bermaksud menggiring perempuan ke luar ajaran agama.

Hal inilah yang kemudian membuat Zaynab mempunyai pandangan yang berbeda dengan Sya’rawi. Melalui buku nya yang berjudul Nazarat fii Kitabillah, ia tumbuh menjadi ulama perempuan yang terkemuka. Ia juga telah memantapkan diri nya sebagai mufasir perempuan pertama yang menulis tafsir secara lengkap.

Tafsirnya mempunyai kecenderungan yang reformatif, yang kemudian mendorong agar menjadikan Alquran sebagai undang-undang umat serta menjadi jalan menuju kemajuan. Di antara ciri tasfirnya adalah terkait dengan posisinya yang membela hak-hak perempuan dari nilai negatif, serta mendorong mereka untuk berpegang teguh pada nash-nash syariat.

Ketiga, Kariman Hamzah. Ia merupakan sosok wartawan yang telah mempersembahkan tiga jilid tafsirnya yang diberi judul al-Lu’lu wa al-Marjan fi Tafsir al-Quran. Sebelum diterbitkan, draf tafsirnya juga telah di sahkan oleh Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Mesir.

Seperti halnya dengan tafsir Zaynab al-Ghazali, tafsir karya Kariman Hamzah ini telah memberikan perspektif perempuan ketika membahas beberapa aspek yang berhubungan dengan permasalahan yang banyak dialami oleh perempuan. Tafsir ini juga dikemas dengan menggunakan bahasa yang mudah, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa tafsir ini banyak diperuntukkan kepada pemula dan anak-anak.

Keempat, Hibbah Rouf Izzat. Ia adalah seorang perempuan yang terlibat dalam pembahasan tafsir. Meskipun belum menghasilkan karya tafsir secara utuh, tetapi upaya yang dilakukan untuk memberikan perspektif tentang tafsir juga dapat menjadi sebuah pertimbangan.

Ia merupakan seorang alumnus Universitas Kairo. Dengan latar belakang ilmu sosial politik dan juga seorang perempuan yang turut andil dalam menyumbangkan gagasannya dalam membaca nash agama, melalui beberapa karya di antaranya, al-Mar’ah wa al-‘Amal al-Siyasy dan al-Mar’ah wa al-Din wa al-Akhlaq.

Dalam beberapa percikan pemikirannya, ia mengajukan reinterpretasi terhadap beberapa ayat Alquran yang berhubungan dengan perempuan, khususnya peran perempuan di ranah publik.

Seiring berkembangnya waktu, kini para mufasir perempuan banyak bermunculkan di jagat keilmuan Alquran. Hal ini turut membuktikan bahwa keterlibatan perempuan muslimah dalam bidang pengetahuan tafsir Alquran semakin banyak dan tinggi.Wallahua’lam.

 

Sumber:

Hassan, Riffat. Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam: Sejajar di Hadapan Allah?. Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 1. 1990.

Fawaid. Perempuan Menafsirkan Isu-isu Perempuan. Jurnal Karsa. Vol. 23 No. 1, 2015.

Leave a Response