Dalam beberapa tahun ini, keberadaan bank syariah di Indonesia semakin menjamur. Hal ini berbanding lurus dengan tingginya animo dan kepercayaan masyarakat untuk menabung dan memanfaatkan produk-produk bank syariah.
Animo ini bisa kita lihat dari statistik Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan syariah yang terus mengalami perkembangan positif dan terus bertumbuh.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan total DPK yang dipercayakan oleh nasabah kepada perbankan syariah per Desember 2020 mencapai Rp 475,79 triliun. Dengan jumlah rekening yang mencapai 36,43 juta rekening.
Dengan kata lain DPK mengalami peningkatan 101,60% dibanding DPK tahun 2015 yang berjumlah Rp 236 triliun. Sekitar 51,56% DPK diperoleh dari instrumen deposito. Sedangkan sisanya disumbangkan oleh tabungan (34,12%) dan giro (14,23%).
Dari data di atas, produk tabungan turut memberikan kontribusi besar dalam menghimpun dana dari masyarakat yang menjadi nasabah bank syariah. Hal ini bisa dimaklumi mengingat kegiatan menabung merupakan tindakan yang dianjurkan dalam Islam.
Dengan menabung seorang Muslim mempersiapkan diri untuk pelaksanaan perencanaan di masa yang akan datang. Sekaligus persiapan untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Di dalam Al-Qur’an juga terdapat ayat yang menjelaskan tentang perintah mempersiapkan hari esok yang lebih baik serta menghindari perilaku boros.
Pada hakikatnya, kegiatan menabung dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah saving (pengamanan). Yang diamankan adalah harta kita yang dititipkan ke pihak bank. Entah karena khawatir bisa hilang dicuri bila disimpan sendiri, atau menjadikan pola tabiat hemat kita menjadi hilang bila disimpan secara cash di laci almari rumah.
Menitipkan ini dalam istilah perbankan syariah dikenal dengan istilah akad wadî’ah. Dengan menggunakan skema tabungan yang sudah lama populer dipraktikkan dalam dunia perbankan.
Akad wadi’ah tergolong akad tabarru’, yaitu akad yang orientasinya adalah untuk tolong-menolong terutama dalam menyempurnakan amanat. Adanya akad ini tak lain untuk menjaga keselamatan barang titipan dari kehilangan, pemusnahan, kerusakan, maupun pencurian.
Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (5/4017) menjelaskan arti wadiah secara hafiah:
“Wadiah secara bahasa berarti barang yang ditinggalkan kepada pihak lain oleh pemiliknya untuk dijaga.”
Para ahli hukum Islam (fukaha) berbeda pendapat dalam menjelaskan definisi wadi’ah secara redaksional, namun substansinya sama sekali tidak jauh berbeda. Ulama mazhab Hanafi menjelaskan bahwa wadi’ah adalah akad yang memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga harta.
Mazhab Syafi’i dan Maliki mendefinisikan akad wadi’ah sebagai mewakilkan pemeliharaan barang miliknya kepada orang lain dengan cara tertentu. Dari definisi-definisi yang telah disebutkan tadi, dapat disimpulkan bahwa wadi’ah ialah akad antara dua pihak di mana pihak pertama menyerahkan tugas dan kekuasaan kepada pihak kedua untuk memelihara hartanya.
Dalam kitab I’anat at-Thalibin (3/243-2440) dijelaskan bahwa ada 4 (empat) rukun akad wadi’ah, yaitu mudi’ (penitip), wadi’ (penerima titipan/penyimpan), wadi’ah (barang titipan), serta sighat ijab qabul (ucapan serah terima).
Dalam praktiknya di perbankan syariah, nasabah berposisi sebagai mudi’, pihak bank menjadi pihak penerima titipan alias wadi’, wadi’ah berupa nominal uang milik nasabah dalam bentuk tabungan, sedangkan sighatnya berlangsung antara nasabah dan perwakilan pihak bank, baik secara verbal maupun tulisan.
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 02/DSN-MUI/IV/2000, setidaknya ada 2 prinsip akad dalam produk tabungan yang diaplikasikan dalam perbankan syariah, yaitu akad mudharabah dan wadi’ah.
Ada beberapa ketentuan umum berdasarkan akad wadi’ah, yakni: (1) bersifat simpanan, (2) simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan, (3) tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Dalam penerapan akad wadi’ah di perbankan syariah, pihak bank sebagai penerima titipan tidak memiliki kewajiban untuk memberikan imbalan dan pihak bank tidak mengenakan biaya penitipan barang tersebut.
Namun bank syariah boleh memberikan kebijakan untuk memberikan bonus kepada nasabah. Begitu pula ada bank yang membebankan biaya penitipan kepada nasabah. Hal ini karena akad wadi’ah dalam bank syariah ada yang menggunakan skema yad al-‘amanah (tangan amanah) dan juga menggunakan skema yad ad-dhamanah (tangan penanggung).
Tabungan wadi’ah dengan skema yad al-amanah mengikuti praktik asal akad wadi’ah sendiri, di mana barang titipan dari nasabah merupakan amanah dari nasabah dan pihak bank syariah sebagai penerima titipan tidak boleh menggunakan serta memanfaatkan barang yang dititipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman.
Pihak bank juga tidak menanggung kerusakan kecuali ada unsur kelalaian. Dalam praktiknya, pihak bank dapat membebankan biaya kepada nasabah. Dalam hukum Islam, pihak penyimpan titipan boleh memberikan ujrah tahaffudz (biaya penjagaan titipan) kepada pihak penitip (Hasyiyah al-Baijuri, 2/63).
Wadi’ah yad ad-dhamanah paling banyak dipergunakan dalam aplikasi bank syariah untuk produk pendanaan. Dalam konsep wadi’ah yad ad-dhamanah pihak bank boleh menggunakan dan memanfaatkan barang atau uang yang dititipkan oleh nasabah.
Konsekuensi dari penggunaan prinsip wadi’ah yad ad-dhamanah ini adalah ketiadaan sistem bagi hasil dari bank untuk nasabah. Bank berhak atas keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tersebut dalam kegiatan-kegiatan komersial dan bukan merupakan unsur keuntungan yang harus dibagikan.
Maka wajar bila wadi’ah dianggap sebagai produk yang berpotensi mendapat keuntungan besar bagi pihak bank, meskipun juga tidak menutup kemungkinan risiko tetap menanti.
Pihak bank juga dapat memberikan insentif kepada nasabah dalam bentuk bonus. Bonus diberikan kepada nasabah sebagai upaya merangsang semangat masyarakat untuk menabung sekaligus menjadi indikator kesehatan bank.
Sebab, semakin besar keuntungan nasabah maka pemanfaatan dana tersebut semakin efisien dalam investasi yang produktif dan menguntungkan.
Kelebihan tabungan wadi’ah secara umum ialah nasabah dapat melakukan penarikan dana sewaktu-waktu kapanpun nasabah membutuhkannya (on call). Begitupula adanya jaminan keamanan uang tabungan dari bank sebagai penerima amanat penitipan.
Terlebih bila bank mengalami kebangkrutan atau permasalahan finansial. Sebab dana nasabah tersebut sudah diikutsertakan dalam program penjaminan pemerintah.
Kekurangannya, tabungan ini bukanlah tabungan berbasis investasi. Sehingga bila terdapat bonus, sifatnya hanya sukarela dari pihak bank. Dan nominalnya tidak sebesar tabungan dengan akad mudharabah.
Namun yang pasti, akad wadi’ah sudah ideal untuk diterapkan oleh perbankan syariah yang menghindari unsur riba dalam setiap produk dan transaksinya.
Wallahu a’lam.