Judul : Sekolah Apa Ini
Penyusun : Gernatatiti, Karunianingtyas Rejeki, dan Sri Wahyaningsih
Kontributor : Margareth Widhy Pratiwi, dkk
Penerbit : Penerbit INSIST Press
Cetakan : II, September 2019
Tebal : 240 halaman
ISBN : 978-602-0857-84-8
Buku Sekolah Apa Ini sejatinya merupakan pasangan dari buku Sekolah Biasa Saja karya Toto Rahardjo (INSIST Press, 2018). Sekolah Biasa Saja tak akan sempurna tanpa Sekolah Apa Ini dan Sekolah Apa Ini tak bisa berbicara banyak tanpa Sekolah Biasa Saja. Mengapa bisa demikian?
Karena buku Sekolah Biasa Saja menjelaskan Sanggar Anak Alam (SALAM) secara teoretis, sedangkan Sekolah Apa Ini mendeskripsikan SALAM secara praktis. Buku Sekolah Apa Ini lebih membicarakan pengalaman para fasilitator dan orang tua dalam mendampingi anak-anak SALAM ketika melaksanakan pembelajaran berbasis sekolah merdeka.
Bagi sebagian orang, istilah ‘sekolah merdeka’ mungkin masih terkesan asing di telinga. Gagasan sekolah merdeka yang dipegang dengan teguh oleh SALAM memang terinspirasi dari gagasan Ki Hadjar Dewantara dan Y.B. Mangunwijaya atau yang lebih akrab disapa dengan Romo Mangun.
Ki Hadjar Dewantara memandang orang tua adalah pendidik pertama sekaligus yang paling utama dalam pembelajaran anak. Sementara Romo Mangun meyakini bahwa anak adalah sang mahaguru untuk dirinya sendiri sekaligus sumber belajar bagi teman-temannya. Atas dasar inilah, sebuah tempat belajar yang telah sepakat dinamai sanggar di Nitiprayan, Yogyakarta ini memutuskan untuk membebaskan anak-anak belajar sesuai dengan ketertarikannya.
Pembelajarannya berbasis riset; meniadakan sistem ranking, sehingga tidak ada persaingan antarteman. Menjadikan sosok guru sebagai fasilitator karena anak hanya membutuhkan pendamping, bukan instruktur yang ‘selalu benar’; dan mengharuskan orang tua berperan aktif dalam proses belajar (halaman 2).
Pembelajaran berbasis riset perlu dilakukan karena anak-anak lebih membutuhkan hal-hal yang memang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Seperti belajar mengenai sampah plastik; kondisi lingkungan yang sehat; pola makan yang sehat; dan sejenisnya.
Hal ini sempat dikritik oleh Sri Wahyaningsih selaku pendiri SALAM, bahwa banyak hal yang dipelajari oleh anak-anak di institusi sekolah tidak sesuai dengan kebutuhan anak-anak seusia mereka (halaman 17). Sebut saja seperti perintah menghafal materi tentang kekuasaan eksekutif; legislatif; hingga yudikatif, yang pada dasarnya justru membuat anak malah pusing, bosan, mengantuk, akhirnya tertidur.
Istilah-istilah tersebut masih terlalu abstrak untuk anak-anak seusia mereka. Hal yang terjadi selanjutnya adalah siswa yang tertidur di kelas merupakan kesalahan dan harus mendapatkan hukuman, sebuah pola pendidikan yang ‘mengerikan’.
Jika pada umumnya anak-anak yang berbuat kesalahan akan dikenai sebuah hukuman, maka di SALAM konsep seperti itu harus ditiadakan. Di SALAM, anak-anak yang membuat kesalahan tidak mendapatkan hukuman (sanksi), tetapi mendapatkan konsekuensi. Hukuman jelas berbeda dengan konsekuensi.
Hukuman tidak berhubungan dengan kesalahan, sedangkan konsekuensi selalu berhubungan dengan kesalahan yang telah dilakukan. Agar lebih mudah dipahami terkait perbedaan antara sanksi dan konsekuensi, akan disajikan sebuah contoh sederhana berikut ini.
Contoh sanksi: setiap siswa yang terlambat datang ke sekolah akan dihukum berdiri di tengah-tengah lapangan atau membersihkan WC.
Contoh konsekuensi: Setiap siswa di SALAM yang belum melaksanakan piket kelas (kelas masih kotor) hingga waktu jam belajar kelas dimulai, maka waktu yang tersita untuk membersihkan kelas akan digunakan untuk memotong waktu istirahat (halaman 59).
Berdasarkan contoh di atas, dapat diketahui bahwa sanksi membersihkan WC atau berdiri di tengah-tengah lapangan tidak ada hubungannya sama sekali dengan terlambat datang ke sekolah. Sanksi seperti ini hanya akan menambang luka ketika dipermalukan di hadapan teman-teman dan hal-hal yang lebih buruk lainnya, seperti keinginan untuk melakukan perlawanan.
Sementara konsekuensi justru sebaliknya. Konsekuensi kehilangan waktu istirahat memang berhubungan erat dengan keterlambatan membersihkan kelas, sehingga anak-anak memilih untuk tidak terlambat lagi dalam membersihkan kelas atas dasar kemauan pribadi, bukan atas dasar takut disanksi.
Ada sebuah percakapan unik antara fasilitator dan anak-anak terkait masalah konsekuensi. Berikut kutipannya,
“Waaahhh, enggak mau mundur!” ujar anak-anak (saat fasilitator menyebutkan konsekuensi jika terlambat membersihkan kelas).
“Nah, kalau begitu apa yang harus teman-teman lakukan?” tanya fasilitator.
“Yang piket harus datang lebih awal sebelum permainan pagi dan membersihkan kelas.” (halaman 59)
Betapa menyenangkan melihat anak-anak mengangguk bukan karena tunduk, tetapi karena kesadaran yang telah dipupuk.
Satu hal yang perlu diperhatikan, yakni konsekuensi tercipta tidak secara tiba-tiba, tetapi karena kesepakatan yang telah disetujui bersama. Hal inilah yang membedakan SALAM dengan sekolah-sekolah lain. SALAM tidak membuat aturan dalam proses pembelajarannya, tetapi membuat kesepakatan (halaman 43).
Lewat kesepakatan inilah, konsekuensi bisa diterima oleh semua pihak. Kesepakatan jauh berbeda dengan peraturan. Kesepakatan dibuat dan disetujui bersama dengan melibatkan pihak sekolah, orang tua, fasilitator, dan juga anak-anak. Sementara peraturan hanya dibuat sepihak yang biasanya sebagai pihak yang paling berkuasa.
Kesepakatan di SALAM yang menjadi garis besar untuk semua jenjang (mulai dari Kelompok Bermain hingga Sekolah Menengah Atas) adalah jaga diri sendiri, jaga teman, dan jaga lingkungan (halaman 44).
Kesepakatan memang tidak memberikan janji untuk mengatasi semua masalah, tetapi setidaknya kesepakatan dapat menjadi sumber rujukan atau alarm ketika terjadi sebuah konflik dan membantu menghindari pengulangan masalah yang sama.
Buku Sekolah Apa Ini menjadi lebih menarik untuk dibaca karena disertai dengan ilustrasi-ilustrasi hasil karya anak-anak SALAM sendiri (tingkat Taman Anak hingga Sekolah Dasar). Agaknya, mencetak gambar ilustrasi dengan warna ⸻daripada hitam-putih⸻ terkesan lebih readable karena gambaran anak-anak pada jenjang tersebut lebih identik dengan coretan warna-warni.