Riffat Hassan lahir di Lahore, Pakistan. Dia terlahir dari keluarga terhormat. Ayahnya, seorang tokoh masyarakat yang memiliki darah sayyid (keturunan Nabi Muhammad dalam tradisi Arab). Ibunya terlahir dari keluarga penyair terkemuka. Ia mempunyai sembilan saudara dengan jumlah lima laki-laki dan empat perempuan.
Riffat terbiasa hidup mewah. Memiliki banyak pembantu yang mengerjakan tugasnya masing-masing. Di balik kemawahannya itu, keluarga Riffat sering terjadi perang dingin antara ayah dan ibunya.
Perang dingin ini disebabkan oleh perbedaan pandangan antara keduanya. Ayahnya bersifat tradisional dan patriarkal, sedangkan ibunya berideologi radikal. Ayahnya sangat meyakini bahwa seorang perempuan harus menikah di usia 16 tahun dengan pilihan orang tuanya. Sementara ibunya tidak setuju dengan hal tersebut.
Ibu Riffat Hassan seringkali dianggap sebagai seorang pemberontak yang sangat berbahaya. Namun hal ini bagi Riffat adalah sebuah penyemangat sekaligus pelindung baginya.Ia lambat laun mengikuti jejak langkah ibunya. Dengan kemampuan menulisnya, Riffat seringkali meluapkan perasaannya melalui puisi-puisinya.
Puisi yang ditulisnya tidak lain adalah aksi kritik terhadap paham patriarki yang masih membudaya di masyarakat daerahnya ketika itu. Sejak usia 13 tahun, Riffat Hassan telah menghasilkan 83 puisi yang terkumpul dalam sebuah buku dengan judul my mayden. Ketika usianya beranjak 17 tahun, ia telah menerbitkan sebuah artikel, cerita pendek, puisi dan menjadi penyair yang sangat terkenal di daerahnya.
Di usianya yang ke 17 tahun, Riffat Hassan mendapatkan izin dari ayahnya untuk melanjutkan pendidikannya. Dia melanjutkan sekolah menengahnya di sekolah unggulan berbahasa Inggris. Setelah menyelesaikan sekolahnya, Riffat mempunyai bekal berbahasa inggris dengan sangat baik.
Tidak berhenti di sekolah menengah saja, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di sebuah perguruan tinggi yang terletak di Inggris tepatnya di Universitas Durhem. Di universitas ini, ia berhasil mendapatkan gelar cumlaude dalam bidang kajian filsafat.
Riffat Hassan kemudian melanjutkan pendidikan doktoralnya. Pada usia ke 24, ia telah berhasil mendapatkan gelar doktor dalam bidang yang sama yaitu filsafat. Pada tahun 1976 M, Riffat menjabat sebagai ketua program studi keagamaan di universitas of louisville Kentucky, Amerika Serikat. Pada tahun 1986-1987 M, ia menjadi dosen tamu di universitas divinity school Harvard University.
Perjalanannya menjadi seorang feminis teolog bermula ketika dia menjadi guru besar penasehat di universitas mahasiswa muslim yang merupakan universitas cabang dari universitas Oklahoma di Amerika Serikat. Ketika itu Riffat Hassan diberikan kepercayaan untuk mengisi sebuah acara seminar.
Ketika itu, ia mulai mempelajari Islam yang berhubungan dengan perempuan. Riffat merasakan ada keganjalan dari ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang perempuan. Menurutnya, ayat-ayat Alquran seakan-akan sangat diskriminatif dan tidak adil terhadap perempuan.
Pada tahun 1979 M, Riffat Hassan kemudian dinobatkan sebagi ketua jurusan religious studies di Universitas Louisville, Kentucky. Dia juga dilibatkan dalam proyek penelitian yang bertujuan untuk meneliti isu-isu tentang perempuan. Dari pengalaman hidupnya inilah kemudian Riffat menulis banyak karya tentang perempuan. Salah satu karyanya adalah Equal Before Allah.
Riffat semakin memperlihatkan ketertarikannya dalam memahami Alquran yang berhubungan dengan perempuan. Hal ini dapat dilihat dari kemampuannya melahirkan metodologi dalam menafsirkan Alquran.
Ia juga menjelaskan bahwa semakin seseorang memahami ayat Alquran tentang perempuan dengan baik maka akan terlihat bahwa Alquran sangat mendukung adanya emansipasi bagi perempuan.
Riffat Hassan membagi metodologi penafsirannya menjadi tiga langkah. Pertama, criterion of philoshopical consistency. Yaitu menggunakan kata-kata Alquran secara konsisten dan filosifis, tidak saling bertentangan di antara keduanya.
Pada langkah pertama ini, Riffat Hassan memeriksa ketepatan makna dari konsep dalam Alquran dengan analisis semantik. Ketepatan makna ini berkaitan dengan bahasa Arab sebagai bahasa Alquran. Bahasa yang memiliki spesifikasi gender. Langkah ini digunakan olehnya dalam menafsirkan Alquran.
Kedua, linguistic accuary yaitu melihat tema dan merujuk langsung kepada ilmuan klasik. Hal ini bertujuan untuk memahami dan melihat maksud ayat agar sesuai dengan kebudayaan yang mempengaruhinya.
Ketiga, ethical criterion yaitu etis dan praktis sesuai dengan Alquran. Riffat Hassan menafsirkan ayat dengan prinsip keadilan yang merupakan cerminan dari justice of God.
Banyak ayat Alquran tentang perempuan yang telah ditafsirkan oleh Riffat Hassan. Salah satu contohnya adalah penciptaan perempuan. Ia sangat menolak argumen yang mengatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Menurutnya, pemahaman ini perlu diluruskan agar tidak terjadi ketimpangan antara laki-laki dan perempuan.
Riffat Hassan mempertanyakan nafs wahidah yang selalu dikaitkan dengan Nabi Adam sebagai seorang laki-laki. Padahal kata nafs dalam bahasa Arab tidak menunjukkan laki-laki maupun perempuan. Begitu juga dengan kata zauj yang selalu dimaknai dengan Hawa sebagai istri (perempuan). Kata zauj ini bersifat netral, yaitu pasangan.
Kata Adam menurut Riffat Hassan sama dengan al-basar, al-insan, dan an-nas yang menunjukkan manusia secara umum bukan jenis kelamin. Dengan kata lain, Adam dan Hawa diciptakan secara serentak dan sama substansinya. Tidak benar jika Adam diciptakan terlebih dahulu kemudian baru Hawa dari tulang rusuk Adam.
Tidak hanya tema penciptaan manusia saja. Riffat Hassan juga menafsirkan ayat tentang konsep poligami. Surah An-Nisa [4] ayat 3 merupakan ayat yang sering dijadikan legalitas atas kebolehan poligami.
Riffat Hassan tidak setuju dengan penafsiran yang tidak melihat konteksnya, apalagi jika berbicara tentang poligami selalu dikaitkan dengan jumlah istri Nabi Muhammad yang sampai sembilan istri. Menurutnya, ayat ini merupakan teladan untuk menyantuni anak yatim.
Perkawinan yang dimaksud di sini adalah menikahi ibu anak yatim. Ayat poligami ini turun ketika terjadi perang dan banyak suami yang tewas. Oleh karena itu, pesan moral dari ayat ini yaitu penyantunan anak yatim, tentang keadilan yang mana poligami hanya diperbolehkan ketika dalam keadaan sulit.