Terlepas dari pro-kontranya di dunia Islam, tasawuf telah hadir mewarnai kehidupan sosial masyarakat Muslim sepanjang sejarah. Tepatnya sejak abad awal peradaban Islam (Early Islam) hingga abad modern-kontemporer (Contemporary Islam).
Bisa dikatakan bahwa tasawuf menjadi ruh kehidupan Muslim, terutama di kawasan timur dekat yang kental dengan nuansa budaya spiritual. Di sana muncul berbagai ajaran dan tradisi sufisme yang menyebar ke berbagai dunia Islam, termasuk Nusantara.
Salah satu diskursus tasawuf yang menarik untuk dipelajari adalah tradisi sohbet. Secara etimologi, kata ini merupakan bahasa Turki yang merujuk pada istilah bahasa Arab, yakni shahabah atau sahabat (Lisan al-Arabi).
Shahabah merupakan orang-orang terpercaya yang dengan sekuat tenaga menemani Baginda Nabi saw dalam perjuangan dakwahnya, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka rela mengorbankan segalanya, mulai dari tempat tinggal hingga kekayaan, demi kejayaan Islam sesuai dengan arahan Nabi.
Dalam diskursus tasawuf, sohbet merupakan obrolan sufi tentang spiritualitas (Sufi Talks). Secara sederhana, tradisi sohbet dapat dipahami sebagai proses penyampaian pengetahuan spiritual oleh mursyid atau pemimpin tarekat kepada murid-muridnya secara verbal.
Jika dianalogikan, sohbet serupa dengan tradisi talaqqi, yakni sistem transfer dan transformasi keilmuan antara guru dan murid yang telah dikenal secara universal dalam dunia intelektual Islam (al-Talaqqi wa al-Ta’wil Muqarabah Nasaqiyah).
Para mursyid sering membuat halaqah sohbet sebagai bagian dari latihan bagi murid-muridnya atau di Barat dikenal dengan istilah Darwis. Diharapkan sohbet-sohbet tersebut dapat memberikan bimbingan dan inspirasi bagi murid sufi dalam upaya mereka menuju Allah (al-salik fi Allah).
Dalam konteks ini, selain sebagai sarana transmisi keilmuan, sohbet merupakan salah satu wadah penghubung batin antara mursyid dan murid-muridnya. Hubungan ini bersifat mendalam, intim, padu, dan kompleks.
Dalam tradisi kaum sufi, khususnya di wilayah Turki, sohbet menempati posisi sentral. Kedudukannya bahkan dapat disetarakan dengan zikir (sebuah praktik fundamental dalam tasawuf untuk mengingat Allah Swt).
Jika zikir adalah ‘ayah’ dari segala ajaran sufi, maka sohbet adalah ‘ibu’-nya. Jika dalam zikir pada sufi sibuk beribadah kepada Allah secara langsung, maka dalam sohbet mereka sibuk menuju samudera hikmah Allah melalui perantara untaian kata-kata emas dari mursyid atau pemimpin tarekat.
Sohbet pada umumnya merupakan nasihat-nasihat tentang spiritualitas dari para mursyid, baik dalam bentuk prosa maupun syair-syair yang turun temurun disampaikan oleh para pemimpin tarekat. Para sufi percaya bahwa sohbet yang telah disampaikan oleh pemimpin tarekat merupakan perpanjangan informasi dari Nabi atas wahyu Allah swt. Sebab dalam tradisi sufisme – khususnya tarekat – mursyid merupakan penghubung keilmuan antara pengikut tarekat dengan guru spiritual tertinggi, yakni Nabi Muhammad saw.
Robert Frager dalam bukunya, Sufi Talks: Teachings of an American Sufi Sheihk, menggambarkan secara sederhana tentang tarekat, mursyid, dan pengikutnya. Menurutnya, tarekat ibarat jalur pipa yang menghubungkan seorang syekh dengan orang yang telah atau belum menjadi sufi. Kebijaksanaan dan kasih sayang senantiasa mengalir di jalur pipa itu. Keduanya tidaklah berasal dari syekh, melainkan dari Sumber Tertinggi. Adapun syekh hanyalah kanal yang mengalirkan atau menghubungkan keduanya.
Sohbet sering kali berisi tentang cerita pengalaman spiritual sufi-sufi terdahulu atau nasihat-nasihat langsung yang menggetarkan kalbu. Salah satu cerita atau hikayat yang cukup populer di kalangan sufi adalah perjalanan spiritual Ibrahim bin Adham, seorang raja yang meninggalkan singgasananya demi merengkuh jalan menuju Tuhan melalui sufisme. Kisahnya banyak menginspirasi kaum sufi pemula, terutama mereka yang sebelumnya terbiasa hidup dengan segala kemewahan duniawi dan sering menuruti nafsu birahi.
Kisah atau hikayat dalam tradisi sohbet sering kali diulang-ulang. Pengulangan ini bertujuan untuk memantapkan nilai-nilai spiritual semakin dalam ke lubuk hati para murid sufi. Bagi mereka sohbet dari mursyid ibarat samudera tak bertepi, semakin diarungi maka semakin tampak kemegahannya.
Dalam hal ini, kisah yang sama akan diresepsi secara baru setiap kali disampaikan sesuai dengan kondisi pendengarnya. Maka tak heran, sebuah kisah acapkali meninggalkan kesan berbeda bagi setiap murid berdasarkan kondisi hatinya.
Dengan demikian, tradisi sohbet, sebagaimana tertuang di atas, memiliki dua dimensi spiritual, yakni dimensi vertikal dengan Allah dan dimensi horizontal antara mursyid dan murid. Dua dimensi ini memprakarsai para murid untuk membentuk kesempurnaan spiritual dan ketinggian maqam di sisi Sang Maha Haqq.
Secara khusus, tradisi sohbet menjadi wadah cinta kasih antara mursyid dan murid, bukan cinta kasih dalam arti romansa duniawi, melainkan sebuah keterikatan cinta murni di antara pembawa cahaya Ilahi. Wallahu a’lam.