Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Sabtu, 3 Juli 2021 adalah hari yang sangat menyedihkan bagi seluruh santri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran (PPSPA) Yogyakarta. Dua jajaran Pengasuh PPSPA wafat dalam selang waktu kurang dari satu jam.

Beliau adalah KH. Masykur bin Muhammad (suami dari Nyai Hj. Sukainah, putri pertama alm. KH. Mufid Mas’ud dan alm. Nyai Hj. Jauharoh Munawwir), dan Nyai Hj. Wiwik Fasichah (putri keempat dari alm. KH. Mufid Mas’ud dan alm. Nyai Hj. Jauharoh Munawwir).

KH. Masykur dikabarkan wafat pukul 03.30, sementara Nyai Hj. Wiwik Fasichah wafat pukul 05.15 WIB. Jenazah alm. KH. Masykur disalatkan di ndalem beliau (komplek V) dan di Komplek III putra PP. Sunan Pandanaran.

Sementara Nyai Hj. Wiwik Fasichah disalatkan di Gedung Putih (GP) dan Hall al-Jauharah Komplek III putri PP. Sunan Pandanaran yang dilaksanakan sejak pukul 09.00. Namun karena per-tanggal 03 Juli adalah hari pertama diberlakukannya PPKM Darurat Jawa-Bali, maka tidak semua orang diperbolehkan bertakziyah dan menyalatkan jenazah keduanya.

Salat jenazah hanya dilaksanakan oleh keluarga ndalem PPSPA dan santri-santri saja. Itu pun tidak sekaligus. Para santri tetap diwajibkan menjalankan protokol kesehatan. Salat jenazah dibagi beberapa kelompok dan dilaksanakan secara bergiliran dengan menjaga jarak minimal satu meter setiap santri, serta wajib memakai masker.

Santri dan alumni yang berada di luar pondok pesantren dilarang bertakziyah langsung, dan hanya boleh melakukan salat gaib serta mengirimkan doa dan tahlil dari tempat masing-masing. Karena PPKM Darurat, maka tahlil dilakukan secara virtual oleh para santri dan alumni yang berada di luar lingkungan PPSPA.

KH. Masykur dan Nyai Hj. Wiwik Fasichah merupakan sosok panutan yang terkenal alim. Oleh sebab itu, mereka sangat dihormati sekaligus “disayang banget” oleh santri-santrinya. Mereka kerap melemparkan guyonan sepaket dengan wejangan-wejangan yang disampaikan kepada santrinya usai mengaji, maupun ketika ada santri yang sowan (silaturahim) ke ndalem-nya.

Mbak-mbak santri selalu menampakkan wajah berseri setiap pulang dari ndalem Abah Masykur. Hal tersebut lantaran Abah Masykur kerap kali menceritakan kisah romantis dengan istrinya, Nyai Hj. Sukainah.

Salah satu wejangan KH. Masykur kepada mbak-mbak santri ini adalah:

Eling-elingen (ingat-ingatlah), menikahlah dengan laki-laki yang benar-benar tulus mencintai dan menyayangimu, karena saya tidak rela jika kalian (santri-santriku) disakiti oleh laki-laki manapun! Saya puluhan tahun berumahtangga, Insyaallah tak pernah sedikitpun menyakiti hati ibuk.”

Ilmi Mukarromah, seorang santri senior, menceritakan bahwa Abah Masykur pernah menceritakan kisah pertemuannya dengan Bu Nah (panggilan untuk Nyai Hj. Sukainah).

Beliau menceritakan bahwa teman beliau, KH. Baidhowi, seorang kiai terkemuka di Purwodadi Jawa Tengah pernah menyampaikan sebuah surat dari Mbah Mufid (yang kemudian menjadi mertuanya) dan Mbah Ali Maksum Krapyak yang akan mengenalkannya dengan Bu Nah yang merupakan putri pertama dari Mbah Mufid.

Terkait hal tersebut, Abah Masykur kemudian melakukan salat istikharah dan jawabannya adalah Surat al-Fath ayat 4:

“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Kata yang digarisbawahi tersebut yang kemudian menjadi jawaban dari istikharah yang dilakukan Abah Masykur. Jika ditinjau secara semantik dan berdasarkan makna leksikal, As-Sakinah dan juga Sukainah memiliki turunan arti yang sama, yakni tenang, ketenangan, atau tentram, ketentraman. Oleh sebab itu, Abah Masykur mantap untuk mengambil langkah setelahnya.

Adapun wejangan lain dari beliau untuk santri-santrinya yang sedang mengalami masalah, maupun yang sedang galau terkait jodoh yang tak kunjung nampak, beliau pernah berpesan; “Perbanyak membaca Surat Yasin, sebaiknya 40 hari berturut-turut selepas salat, Insyaallah dimudahkan segala urusan dan jodohnya.”

Tidak hanya kisah romantis yang beliau bagikan, Abah Masykur pun kerap menceritakan perjuangannya bersama istri, juga mertuanya, KH. Mufid Mas’ud selama proses membangun PPSPA ini.

Karena beliau adalah sosok yang terpelajar, berpendidikan, dan berwawasan luas, maka beliau memaksimalkan semua itu demi keberlangsungan hidup PPSPA pada saat itu. Beliau banyak berkontribusi dalam pembangunan PPSPA.

Salah satunya adalah ketika memperjuangkan listrik atau penerangan untuk pesantren, karena pada saat itu, lingkungan di sekitar PPSPA masih berupa hutan yang mengerikan dan belum ada penerangan sama sekali.

Sebagai salah satu dewan pengasuh Pesantren Sunan Pandanaran, Nyai Hj. Wiwik Fasichah merupakan sosok ibu yang dihormati oleh santri-santrinya. Sama seperti KH. Masykur, Bu Wiwik (panggilan untuk Nyai Hj. Wiwik Fasichah) menjadi salah satu bunyai yang dijadikan tempat untuk melepas keluh kesah sebagian santrinya karena beliau sangat gemati (sangat perhatian) kepada para santri.

Bahkan tanpa harus cerita pun, beliau seakan sudah tahu dengan apa yang sedang dirasakan atau dipikirkan oleh santrinya.

Sebagai seorang ibu (nyai) yang mengayomi anak-anak (santrinya), beliau sering kali memberikan wejangan, terutama untuk anak perempuannya (santri perempuannya). Di antara wejangan yang pernah beliau berikan adalah:

Ojo lali Dalaile, kui akeh berkahe (jangan lupa baca Dalail-nya, itu banyak berkahnya).

Nek pas donga, ndak usah banyak-banyak. Cukup amalke Fatihah. Fatihah kui guedhe fadoile. Nek udah sampe ayat 5, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”, dikhususke maneh, dibatin, lan difokuske hajate opo. Insyaallah maqbul.

Kalau pas berdoa, tidak usah banyak-banyak. Cukup amalkan Surat al-Fatihah. Surat al-Fatihah itu besar fadilahnya. Kalau sudah sampai ayat kelima, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”, dikhususkan lagi, dibatin, dan difokuskan hajatnya apa. Insyaallah hajatnya terkabul).

Mengamalkan bacaan “Rabbi Habli minas Shalihin” ketika sedang hamil.

Cinta sakdurunge nikah iku gombal. Nek wis wektune, jodoh pasti teko. (Cinta sebelum menikah itu gombal. Kalau sudah waktunya, jodoh pasti akan datang), selalu berdoa minta didekatkan jodohnya. Usia 20 ke atas itu sudah cukup waktunya. Lelaki semakin tua, akan semakin banyak yang mencari, sedangkan perempuan adalah sebaliknya.

Nek sore ojo meta metu nek ndak penting, karna wektu sore iku apik ngge nderes (Kalau sore jangan keluar-keluar jika tidak penting, karena waktu sore itu bagus untuk nderes).

Wallahu a’lam bis shawab.

Leave a Response