Akun media sosial penyair Jose Rizal Manua pada 15 Mei 2019 pukul 20:58 WIB, mengunggah status tentang wafatnya Bur Rasuanto. Tak banyak yang tahu kepergian dan sosoknya. Padahal budayawan yang lahir di Palembang, Sumatera Selatan, 6 April 1937 dan wafat di Jakarta ini pada usia 82 tahun ini, akibat penyakit parkinson yang menggerogoti syaraf di tubuhnya–tergolong budayawan yang kiprahnya mendunia.
Budayawan Muslim
Bur Rasuanto adalah salah satu sosok budayawan muslim dan andal yang dimiliki bangsa ini. Kiprahnya dalam beragam pemikiran tertuang lewat ragam tulisan. Bur Rasuanto, adalah penyair, penulis buku, cerpen, novel, wartawan hingga skenario film. Ia tidak hanya terlibat dalam sastra, tetapi pun denyut sosial, politik, dan kewartawanan.
Sejak di bangku SMA, Bur mulai bergiat di bidang tulis-menulis. Akan tetapi, dia menggeluti sastra secara serius sejak menjadi buruh tambang minyak di PT Stanvac, Palembang. Persoalan yang menjadi perhatian Bur, kala itu seputar problematika buruh: persaingan di kalangan buruh senior yang bergaji kecil.
Cerpennya yang berjudul Discharge mendapat hadiah kedua majalah Sastra pada tahun 1961. Dua cerpen lainnya: Pertunjukan dan Ethyl Plant mendapat Hadiah Pertama majalah Sastra Pada tahun 1962. Ketiga cerpen tersebut, pada 1963, ditambah dengan beberapa cerita pendek karya Bur Rasuanto yang terserak pada beberapa majalah dihimpun dalam dua kumpulan cerita pendek, yaitu Bumi Yang Berpeluh dan Mereka Akan Bangkit.
Kehadiran kedua kumpulan cerita pendeknya itu mengukuhkan Bur Rasuanto sebagai salah satu cerpenis penting Indonesia. Menurut H.B. Jassin, karya Bur merupakan sesuatau yang baru dalam khazanah sastra Indonesia. Bur mengungkapkan persoalan kehidupan buruh tambang karena pernah bekerja sebagai buruh di pertambangan minyak. Ciri khas yang mewarnai karya-karya Bur Rasuanto adalah kehidupan kaum buruh di industri perminyakan. Kedua cerpen tersebut, pada 1963 diunggulkan sebagai penerima Hadiah Sastra Yayasan Yamin. Namun, penganugerahan tersebut dihalang-halangi oleh seniman LEKRA, sehingga batal diberikan.
Bur Rasuanto juga menulis novel. Pada 1969, ia menulis tiga novel yaitu Sang Ayah dan Manusia Tanah Air pernah dimuat sebagai cerita bersambung dalam harian Sinar Harapan pada tahun 1969. Kemudian pada 1978, ia menulis novel Tuyet dan pada 1979, ia menghasilkan novel berjudul Tambang Emas Bagi Wan Muda. Novelnya yang berjudul Tuyet (1978) memperoleh hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Profesi sebagai wartawan ditekuninya pula. Ia tercatat sebagai wartawan perang di Harian Kami dan menjadi Redaktur di Harian Indonesia Raja. Tahun 1967 dia meliput Perang Vietnam. Bur menulis berbagai artikel, mulai dari topik kebudayaan, politik, hingga soal perang Vietnam Tulisan-tulisannya antara lain “Sketsa-Sketsa Eksklusif dari Laos” dimuat pada Sinar Harapan, 18 Juli 1968-14 Agustus 1968, yang melaporkan pengalamannya selama bertugas sebagai wartawan perang di Laos. Selain itu, “Masalah Mediator dalam Konflik Vietnam” dalam Kompas, 2 Desember 1967, “Vietnam di Selatan Sungai Ben Hai” dalam Harian Kami, 12 Desember 1967, dan “Dengan Pasukan Korea Selatan di Vietnam” dalam Sinar Harapan, 5 Juli 1968.
Pada waktu Indonesia dilanda krisis pada tahun 1966, Bur Rasuanto bergabung dalam demonstrasi yang dilakukan kelompok mahasiswa guna menuntut keadilan dan kebenaran. Peristiwa tersebut direkam dalam banyak puisi. Berikut dikutipkan sebuah sajaknya yang mengabadi, bertajuk “Telah Gugur Beberapa Nama”.
Menurut Sulaiman , Priyono (2016) dalam “Literacy map arrangement through Indonesian literature tracing as nation identity with character” sebagai salah satu Angkatan 66, Bur Rasuanto, di samping Ayip Rosidi, W.S.Rendra, Iswi Sawitri, Abdul Wahid, Situmcang, Satyagraha Hocrip, Masnur Samin, Subagio Sastro Wardoyo, dan lain-lainnya tergolong pejuang dalam membela negara untuk tetap tegaknya Pancasila dan UUD 45 melalui karya-karyanya
Doktor Filsafat
Saya Berambisi menjadi Presiden adalah judul buku yang mencakup percikan pemikiran gagasan brilian dari Bur Rasuanto. Dalam buku ini terhimpun 28 artikel yang salah satunya dijadikan sebagai judul buku.
Tulisan Bur yang dipublikasikan pada 1977 tersebut, bernuansa tragedi sebelum tragedi. Hal yang dimaksud jelas, yakni kemustahilan di kancah perpolitikan negeri ini. Sewaktu rezim militer, makin tak bisa dilengserkan kepemerintahannya. Dengan kata lain, tidak ada yang mengganti jabatan yang dipimpin Soeharto (dikutip dari pernyataan Pangdam Brawijaya saat itu, Mayjen Witarmin).
Tidak seorang pun sanggup. Maka, apalah artinya pemimpi. Seakan sia-sia. Namun, pemimpi –setidaknya bagi Bur– berarti orang yang bercita-cita. Tokoh saya dalam esai Bur, meski pada akhirnya, dipaksa menyerah. Ia berhenti pada pemberitahuan Panglima Witarmin. “….mereka yang berambisi jadi presiden sudah dalam black list di tangan sang jenderal.”
Keadilan sosial bukanlah suatu keadaan mahasempurna, final, selesai. Masyarakat berkeadilan sosial seyogianya tidak dipahami sebagai gambaran masyarakat di surga yang tanpa masalah, tanpa tak kesamaan, tanpa konflik kepentingan dan karena itu tanpa politik. Masyarakat berkeadilan adalah masyarakat manusia biasa dengan segala masalahnya, kecuali bahwa mereka masyarakat berdaulat tidak terbelenggu dalam sekapan oppresif di bawah kekuasaan represif, dan karenanya memiliki kaki langit.
Demikian dikemukakan budayawan Bur Rasuanto dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor ilmu filsafat dari Program Pascasarjana Universitas Indonesia di Depok-Jabar, Jumat 9 April 1999. Bur Rasuanto dihadapan para penguji mempertahankan disertasi berjudul Keadilan Sosial, Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas: Suatu Studi Filsafat Politik, dengan predikat sangat memuaskan.
Pencapaian gelar doktor tersebut menakjubkan, mengingat kesibukannya sebagai wartawan sekaligus Ketua Dewan Kesenia Jakarta yang diembannya seak 1990. Selamat jalan Bur … semoga dilempangkan menuju janah-Nya.