Judul : Napak Jejak Pemikiran Sunan Muria
Penulis : Widi Muryono
Penerbit : LPS Fikro Ponpes Darul Falah Kudus
Cetakan : 2014
Tebal : 212 halaman
Bumi semakin tua dan semakin rusak. Isu lingkungan kian mendesak. Media-media mengabarkan betapa parahnya kerusakan alam dan lingkungan. Kebakaran hutan, kekeringan, polusi udara di perkotaan, pembuangan limbah pabrik yang mencemari air dan tanah, dan berbagai bentuk kerusakan lainnya.
Di tengah kondisi tersebut, kesadaran menjaga dan melestarikan alam kian penting. Selain bagi kita saat ini, pendidikan lingkungan menjadi agenda penting untuk diajarkan ke anak cucu kita demi kelangsungan kehidupan masa depan.
Namun, selama ini pendidikan lingkungan yang didapatkan anak di sekolah bisa dikatakan masih minim, bahkan belum menemukan bentuk. Belajar mengenal, memahami, hingga merawat dan menjaga alam mestinya bisa dihadirkan dari setting sosio-historis lingkungan terdekat.
Inilah yang mendorong Widi Muryono menggali khazanah kearifan lingkungan dari sekitar gunung Muria, untuk menemukan nilai-nilai pendidikan lingkungan yang bisa diresapi bersama.
Napak Jejak Pemikiran Sunan Muria (2014) merupakan karya Widi Muryono yang mengajak kita menziarahi beragam situs keramat alami Sunan Muria atau Raden Umar Said. Berbekal metode elaboratif-semiotika, Widi menelusuri berbagai situs keramat alami Sunan Muria yang lekat dengan berbagai mitologi maupun pernik folklor seputar Muria. Seperti buah Pari Joto, kayu Pakis Haji, Air Gentong, Ngebul Bulusan, pohon Kayu Adem Ati, hingga hutan Jati Keramat.
Pengenalan pada berbagai folklor maupun situs keramat bermuara pada berbagai pesan kearifan lingkungan. Pesan-pesan tersebut digali dari berbagai mitologi situs keramat alami, yang kini menjadi semakin relevan dikaji dan dihadirkan di tengah semakin krusialnya isu lingkungan.
Buah Pati Joto
Salah satu dari mitologi dari Muria adalah buah Pari Joto. Buah khas Muria yang dipercaya mendapatkan karamah Sunan Muria. Buah berukuran kecil berwarna merah muda ini dipercaya berkhasiat membantu perkembangan janin agar berkembang sempurna, baik secara fisik maupun psikis. Konon, saat istri Sunan Muria, Nyai Sujinah (Dewi Ayu Nawangsih) sedang hamil dan ngidam buah masam, Sunan Muria memerintah para santri mencari buah di hutan pegunungan Muria.
Alhasil, para santri pulang membawa buah Pari Joto. Kini, sejarah lisan tersebut terus hidup dan membuat banyak masyarakat membeli buah bernama latin Medinella Speciosa tersebut. Masyarakat percaya, buah yang banyak dijajakan di sekitar makam Sunan Muria ini merupakan buah pilihan dengan manfaat spiritual atau berkah terkait perkembangan janin.
Tak berhenti pada mitos, Widi juga menyuguhkan hasil penelitian tentang bagaimana Pari Joto secara medis memang mengandung unsur kimia yang ideal untuk membantu perkembangan otak janin. Seperti saponin, kardenolin, flavonoid, tanin, nutrisi dan vitamin B9. Widi menilai, mitos khasiat Pari Joto ini serupa seruan Rasulullah Saw. untuk mengkonsumsi Habbatus Sauda (jintan hitam), juga mirip seruan Alquran tentang khasiat madu lebah.
Pari Joto, jintan hitam, dan madu adalah pembuktian medis-ekologis bahwa penciptaan Allah adalah berdasarkan tujuan dan manfaat yang jelas (hlm 37). Widi mengajak pembaca tak berhenti pada pemaknaan parsial berwatak antroposentrik yang menjadikan alam sebatas untuk keperluan manusia.
Lebih kritis, ia dimaknai juga sebagai seruan melestarikan tumbuhan Pari Joto tersebut. Ia memandang, kasus Pari Jotoyang mitosnya terus hidup di masyarakat hingga sekarang—seolah berpesan kepada umat lintas generasi untuk memanfaatkan potensi nikmat alamiah dari Allah Swt. secara bertanggung jawab, yakni dengan menjaga kelestariannya.
Pakis Haji
Makna yang menembus sampai aspek pelestarian alam juga terbaca dari mitos Pakis Haji. Pakis Haji atau Kayu Naga Muria, adalah tumbuhan khas Muria yang juga dipercaya mendapatkan tsawab atau berkah dari Sunan Muria, yakini diyakini memiliki keramat mistik-alamiah dapat mengusir tikus. Kayu yang jika dikupas kulitnya nampak bermotif batik dan sekilas mirip kulit ular Pyton ini juga dijajakan di sepanjang tangga menuju makam Sunan Muria.
Konon, suatu ketika hama tikus mewabah di persawahan di sekitar Muria, sehingga panen terancam gagal. Berbagai cara dilakukan untuk membasmi tikus, namun tikus-tikus masih ada dan melahap padi-padi milik petani. Masyarakat pun mengadu pada Sunan Muria dan beliau memberi ide menggunakan pohon Pakis Haji untuk mengusir tikus. Kayu Pakis Haji ditempatkan di tempat-tempat tertentu di area persawahan.
Selain menyimpan makna spiritual-mistik bernunsa teologis-kosmologik tentang fadhal (keutamaan) yang diberikan Allah Swt. kepada Sunan Muria, Widi juga memandang mitos Pakis Haji memiliki makna konsumtif dan konservatif. Makna konsumtif jelas tentang bagaimana Pakis Haji memberi kemanfaatan bagi petani dalam mengusir tikus sebagai hama.
Sedangkan makna konservatif, terbaca dari keunikan strategi resolutif Sunan Muria yang menggunakan cara ramah lingkungan untuk mengatasi hama. Pemakaian Pakis Haji sebagai media mengusir tikus, tulis Widi, memiliki dua keunikan. Pertama, kayu Pakis Haji memiliki bentuk dan tampilan yang bermotif mirip ular Pyton, yang membuat tikus menyangka kayu tersebut adalah seekor ular, sehingga binatang tersebut tak berani mendekati tanaman di persawahan petani.
Kedua, ada keteladanan pelestarian keanekaragaman hayati, dalam hal ini adalah tikus. Tikus, bagaimana pun adalah bagian dari rantai makanan. Jika tikus dibasmi atau dilenyapkan, jelas akan memengaruhi putaran rantai makanan sehingga menimbulkan ketidakseimbangan alam.
Metode Pakis Haji tak membunuh atau membasmi tikus, melainkan sekadar mengusir atau mencegah binatang tersebut mendekat sehingga keberadaan tikus tetap lestari dan keseimbangan alam terjaga (hlm 44-46).
Selain Pari Joto dan Pakis Haji, masih ada berbagai situs keramat Sunan Muria lainnya yang dibahas Widi Muryono dalam buku ini. Seperti Air Gentong Keramat yang membawa kita pada pemaknaan spiritual tentang keberkahan dan manfaat dari air yang didoakan, Bulusan dan Kayu Adem Ati yang dimaknai sebagai bentuk inspirasi kesetaraan manusia dan alam, dan pohon Jati Keramat Masin yang konon mengisahkan cinta berdarah putri Sunan Muria dengan seorang murid beliau, yang membuat hutan jati tersebut sampai hari ini tak pernah berani ditebang, yang kemudian dimaknai sebagai keteladanan mengenai pentingnya konservasi hutan.
Widi memaknai berbagai situs keramat alami Sunan Muria tersebut sebagai simbol-simbol kearifan lingkungan berwawasan Islam. Ia melihat kode-kode simbolik pembelajaran tentang alam dalam berbagai situs tersebut. Baginya, alam adalah subyek sekaligus obyek imajiner yang mengusung misi pendidikan.
Sebagai subyek, alam memberi pengalaman nyata yang dapat diinderai, dirasakan, dan dapat dikonseptualisasikan secara imajiner. Dan sebagai obyek, alam bersifat pasif dengan segala muatan edukatifnya. Artinya, manusia harus aktif menggali rahasia alam untuk mendapatkan makna dan nilai edukatif yang terkandung di dalamnya.
Wallahu alam..