Menguatkan Moderasi Beragama di Indonesia: Belajar dari Rumi dan Turki
Sebagai negara yang dihuni masyarakat dengan berbagai agama, Indonesia perlu terus menguatkan moderasi beragama. Penguatan itu penting agar agama-agama yang ada di Indonesia menjadi inspirasi bagi terwujudnya perdamaian dan kerukunan.
Penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama ini menjelaskan bahwa penguatan moderasi beragama bisa dilakukan dengan belajar dari tokoh dan tempat lain. Tokoh dimaksud adalah seorang sufi besar, Jalaluddin Rumi, dari Turki.
Penelitian ini adalah kajian literatur (literature review) dan penelitian kepustakaan (library research). Untuk menganalisis berbagai data historis, maka perspektif penelitian yang digunakan adalah perspektif sejarah atau penelitian sejarah. Adapun metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah survei dan focus group discussion (FGD).
FGD dilakukan terutama dengan Dr. Abdul Samet, salah satu pejabat senior yang mewakili IRCICA (Research Center for Islamic History, Art and Culture), sebuah lembaga penelitian sejarah, seni dan kebudayaan di bawah payung OKI (Organisasi Kerjasama Islam) di kawasan Fetih, Istanbul. FGD juga diperoleh dari tim Esin Celebi Bayru, keturunan ‘biologis’ (generasi ke-22) Jalaluddin Rumi, tepatnya di ruang lembaga International Mevlana Foundation yang terletak di dekat museum Jalaluddin Rumi.
Adapun survei data difokuskan selain di perpustakaan IRCICA yang memiliki banyak koleksi literatur tentang Rumi, juga Perpustakaan Yusuf Aga, letaknya tidak jauh dari Museum Rumi di pusat kota Konya. Lokasi perpustakaan menempel dengan masjid besar Selimiye yang berdampingan dengan masjid, makam, sekaligus museum Maulana Jalaluddin Rumi di kota Konya. Perpustakaan Yusuf Aga ini menyimpan sejumlah koleksi manuskrip Islam dan kitab-kitab tua semenjak Dinasti Saljuk dan Ottoman dari abad ke-12 hingga abad ke-20 M.
Rumi mengajarkan keberagamaan universal yang melampaui seluruh doktrin, keyakinan, dan konsepsi manusia tentang Tuhan yang disebut “agama dalam”, “agama batin”, atau “agama cinta”. Maqam tersebut hanya dapat diperoleh jika seorang telah menjalin hubungan intim dengan Yang Dicintai (Tuhan).
Jika hal itu tercapai, maka tidak ada lagi ‘kebencian’ karena yang hadir hanya cinta. Cinta akan menyatukan hati semua orang tanpa batas, baik karena ke sukuan, kebangsaan, kebudayaan, kebahasaan, ideologi, keagamaan, dan pembeda lainnya. Proses penyingkapan ‘hakikat’ tersebut tidak cukup hanya mengandalkan ibadah ‘lahiriah’, tetapi mesti ditempuk melalui pintu tasawuf dan disiplin formal (syariat).
Orang yang terlalu sibuk dengan persoalan teknis hukum hanya akan menjadi ‘pembenci’ para pelanggar hukum syariat. Para teolog yang sibuk mendefinisikan konsepsi tentang hakikat Tuhan, akan terbiasa musuhi orang yang berbeda sehingga menjadi bibit perselisihan dan perpecahan umat.
Bukan hanya itu, Rumi juga mengkritik dunia filsafat yang cenderung melampaui batas karena mengabaikan unsur perasaan dan ‘hati’ manusia. Setelah lebih dari delapan abad, popularitas Rumi tidak pernah “pudar”, bahkan terus meningkat di kalangan Muslim maupun non-Muslim.
Dengan demikian, model moderasi beragama Rumi sangat penting dikampanyekan secara luas di Indonesia yang multikultural, baik dari sisi suku, agama, bahasa, tradisi, maupun budayanya.
Selain konsep dan ajaran Rumi, penguatan moderasi beragama di Indonesia juga dapat “belajar” dari pengalaman bangsa Turki. Akan tetapi, “belajar” di sini harus dipahami sebagai ‘mengambil hikmah’ karena kasusnya berbeda dengan pengalaman Rumi.
Konsep moderasi beragama di Turki dapat dikatakan unik, sebab perlakuan negara berbeda terhadap umat Islam dibanding umat lainnya. Trauma sejarah di masa kesultanan Islam (Usmani), ditambah lagi akibat kekalahan pada Perang Salib, Perang Dunia Pertama, dan Perang Dunia Kedua, menjadikan Turki sebagai negara yang benar-benar “baru”, terutama melalui program Tanzimat dan Kemalisme sehingga lahirnya Turki modern (baca: sekuler).
Bangsa ini bahkan ‘tercerabut’ dari akarnya akibat dihapuskannya berbagai bentuk institusi dan simbol keagamaan, terutama masjid, madrasah, dan organisasi tarekat serta simbol keagamaan lainnya. Sekularisasi negara Turki mampu melumpuhkan gerakan politik Islamisme seperti Nursi, Erbakan, Gulen, dan Süleymancis.
Namun demikian, semangatnya tetap eksis dan makin menguat melalui gerakan sosial dan pendidikan keagamaan umat, terutama program pendidikan umat yang sukses di berbagai negara, termasuk di Indonesia hinggga sekarang.
Indonesia merupakan negara-bangsa multikultural yang telah memiliki konstitusi yang ‘matang’, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pancasila, UUD 1945, dan UU PNPS 1/1965. Akan tetapi, harus diakui bahwa romantisme sejarah umat Islam Indonesia dapat dikatakan lebih ‘akrab’ dengan Timur Tengah dibanding Turki.
Kedekatan tersebut antara lain karena jaringan keilmuan para intelektual Muslim lebih dekat ke Haramain, terutama melalui proses pelaksanaan haji sepanjang zaman. Meskipun belakangan banyak terjadi intoleransi yang ‘mengatasnamakan’ agama, namun penguatan moderasi beragama di Indonesia tidak dapat disimplifikasi.
Sebab, ideologi dan ajaran keagamaan di Indonesia tidak seluruhnya berasal dari luar (transnasional), tetapi juga merupakan hasil akulturasi antar ajaran agama dengan nilai-nilai luhur (lokalitas) yang begitu mengakar. Artinya, selain didukung oleh konsep-konsep moderasi beragama yang inklusif, universal, dan humanis, moderasi tersebut juga perlu didukung oleh berbagai kebijakan yang lebih teknis (membumi) sehingga tidak sekadar tulisan atau wacana.
Rumi mengajarkan keberagamaan universal yang melampaui seluruh doktrin, keyakinan, dan konsepsi manusia tentang Tuhan yang disebut “agama dalam”, “agama batin”, atau “agama cinta”. Maqam tersebut hanya dapat diperoleh jika seorang telah menjalin hubungan intim dengan Yang Dicintai (Tuhan). Jika hal itu tercapai, maka tidak ada lagi ‘kebencian’ karena yang hadir hanya cinta. Cinta akan menyatukan hati semua orang tanpa batas, baik karena ke sukuan, kebangsaan, kebudayaan, kebahasaan, ideologi, keagamaan, dan pembeda lainnya. (MS)
*Tulisan ini adalah rangkuman dari diseminasi penelitian Ridwan Bustamam yang diterbitkan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama tahun 2021.