Sebelum secara resmi diberlakukan pada 17 Oktober 2019, Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) pada dasarnya banyak menuai persoalan. Beberapa perdebatan muncul sewaktu 13 Agustus 2019, MUI di 34 provinsi mengajukan uji materi (judicial review) pada PP No.31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal. Hal yang sama juga dilakukan oleh Indonesia Halal Watch (IHW).

Duduk perkaranya bukan soal perdebatan hukum semata, melaikan juga melibatkan persaingan antara Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI (LPPOM) dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kemenag RI. Pasalnya, sejak kehadiran BPJPH yang didirikan pada 2017, banyak muncul pertanyaan mengenai peran LPPOM MUI dan bagaimana nasib pekerja di dalamnya.

Atas hal itu, penelitian yang dilaksanakan oleh Koeswinarno dkk. (2020) di Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI ini berusaha mengurai makna di balik fenomena persoalan hubungan antarlembaga yang berkaitan dengan jaminan produk halal tersebut. Riset ini bertujuan untuk memetakan bagaimana regulasi UU No.33 Tahun 2014 dan PP No.31 Tahun 2019 dimaknai oleh aktor masing-masing lembaga yang terlibat dalam JPH serta apa yang terjadi dalam relasi antarlembaga tersebut.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan kerangka teori semiotika dan kajian simbol. Kegunaannya adalah untuk menganalisis permasalahan sosial-kebudayaan yang ada kaitannya dengan kebijakan publik, administrasi publik, dan budaya perusahaan terutama dalam konteks Indonesia. Jadi, dialektika antara teks dalam UU dan PP dengan respons dan pemaknaan antarlembaga (LPPOM dan BPJPH) menjadi fokus utama yang akan dianalisis. Pembacaan itulah yang akan diuraikan.

Temuan Riset

Dalam UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) disebutkan pada pasal 5 bahwa pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan JPH. Sebagai bentuk penyelenggaran JPH tersebut, dibentuklah BPJPH yang selanjutnya dapat membentuk perwakilan di daerah layaknya Kanwil Kementerian Agama Provinsi. JPH juga melibatkan beberapa lembaga lain, yakni MUI, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan pelaku usaha. Apabila diuruskan menjadi bagan, maka gambar piramida di bawah ini mewakilinya.

Sebagai fokus penelitian, ada beberapa perbedaan yang perlu digambarkan mengenai kedua lembaga yang paling terkait dengan JPH, yaitu LPPOM-MUI dan BPJPH, berdasarkan UU No.33 Tahun 2014. Pertama, mengenai BPJPH, ia adalah lembaga penyelenggara seluruh proses penjaminan produk halal. BPJPH juga bekerjasama dengan MUI mengeluarkan fatwa dan label halal. Kemudian perbedaan selanjutnya adalah berada di bawah instansi Kementerian Agama dan tidak memiliki pemeriksa (auditor) halal tetapi ikut mengatur dan mengakreditasi auditor halal. BPJPH juga menentukan biaya proses jaminan produk halal.

Kedua, tentang LPPOM-MUI, ia sebentuk Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), sebagai salah satu lembaga dari seluruh proses jaminan produk halal. Selanjutnya LPPOM-MUI tidak bisa mengeluarkan fatwa dan label halal sendiri. Ia juga bisa berupa instansi pemerintah atau masyarakat (perguruan tinggi negeri, swasta, lembaga penelitian, LSM). LPPOM-MUI pun memiliki auditor halal yang diakreditasi oleh BPJPH, namun tidak bisa menentukan biaya jaminan produk halal.

Dari peran kedua lembaga di atas, sesekali terjadi gesekan atau persaingan. Ada relasi kuasa politik dan personal yang tampak. Sebagaimana diketahui, sebelum ada UU JPH, pelaksana jaminan produk halal adalah LPPOM-MUI. Lembaga ini menguasai sertifikasi produk halal, meskipun juga bersama Komisi Fatwa MUI, namun tetap saja dalam satu lembaga, yakni MUI. Urusan mulai dari pendaftaran hingga penerbitan sertifikat halal, LPPOM yang berperan.

Begitu UU No.33/2014 tentang JPH diberlakukan, peran dominan tersebut mulai serasa ‘dilucuti’ atau dibagi dengan BPJPH. Dari hasil wawancara dengan seorang pejabat di Kementerian Agama di Provinsi A (23 Oktober 2019) dan, terungkap sinyal adanya persaingan bahkan benturan antarkuasa ini: “mungkin ada rasa kekhawatiran, ketika nanti jaminan produk halal dilakukan pemerintah, mereka tidak lagi dilibatkan.”

Hal itu juga mirip dengan kesaksian dari informan lainnya yang bercerita, “Ada yang berat hati dari LPPOM, karena mau tidak mau LPPOM akan kehilangan lahan. Contohnya ketika saya berkunjung ke Dinas UMKM, itu hampir semuanya itu di dinas orang-orangnya adalah auditor LPPOM, kalau kita masuk (LPH selain LPPOM), maka ladang dia hilang.” Demikian hasil wawancara dengan seorang ketua LPH dari perguruan tinggi B di Provinsi A, 25 Oktober 2019.

Benturan antar “kuasa” ini menjadi lazim dalam nuansa transisi “kekuasaan”, apalagi sistem kuasa yang baru belum benar-benar dapat dilaksanakan. Dalam sebuah masa peralihan, biasanya ada “ketidaknormalan” sehingga terjadi proses penyesuaian. Di tengah proses itu, kerap juga didahului oleh benturan dan konflik, sebelum pada akhirnya menuju ke tahap normal kembali. Lewat penelitian ini, kita menjadi tahu bahwa penting untuk mempersiapkan tata-kelola dan infrastruktur regulasi (aturan), dalam konteks ini jaminan produk halal, dengan baik dan efisien untuk meminimalisir konflik antar-kuasa. [mnw]

 

Tulisan ini adalah rangkuman dari diseminasi penelitian yang dilakukan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.

Gambar ilustrasi: TEMPO/Faisal Ramadhan

Topik Terkait: #Hasil Penelitian

Leave a Response