Pada 2019 Balai Litbang Agama Jakarta kembali melaksanakan kegiatan penelitian tentang toleransi umat beragama di penjuru daerah Indonesia. Riset ini bermaksud mempelajari lebih jauh apa saja faktor penopang atau perekat kerukunan umat beragama. Salah satu daerah yang menjadi area penelitian adalah Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan (Sumatera Utara).

Tulisan ini akan menguraikan temuan yang diperoleh peneliti tentang faktor utama apa saja yang membentuk kerukunan di Sipirok. Kemudian pembahasan lanjutan menyinggung bagaimana upaya pelestarian yang masyarakat lakukan dalam merawat tradisi damai tersebut. Harapannya laporan penelitian ini dapat memberi gambaran dan pertimbangan terkait strategi pemeliharaan kerukunan umat beragama di masa mendatang.

Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografis dan sejarah. Durasi penelitian lapangan terbagi menjadi dua tahap: 29 Juli – 2 Agustus dan 3-17 September 2019. Pengambilan data melibatkan teknik observasi, wawancara, dan studi dokumen maupun literatur yang berkaitan.

Informan meliputi beberapa kategori. Pertama, unsur pemerintah yang mencakup Bupati Tapanuli Selatan, Sekretaris Daerah, dan Kepala Badan Kesbangpol Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan beserta Kepala Seksi Bimas, KUA Kecamatan Sipirok, Lurah, dan jajaran sejenis.

Kedua, dari tokoh agama antara lain Ketua FKUB Tapanuli Selatan, Ephorus Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA) dan pengurusnya, pendeta Huria Kristen Batak Protestan, pastur gereja, hingga tokoh-tokoh MUI, Gereja Katolik, dan NU dan Muhammadiyah daerah Sipirok. Ketiga, informan lainnya dari tokoh masyarakat dan warga sipil.

Temuan

Sebagai daerah yang secara historis telah lama memperjumpakan antara Islam dan Kristen, Sipirok dan wilayah Tapanuli Selatan lainnya masih menunjukkan situasi sosial keagamaan yang kondusif.

Ada sejumlah hal yang mengindikasikan tradisi kerukunan umat beragama di Sipirok masih berjalan baik. Pertama, selama ini belum pernah terjadi konflik sosial yang melibatkan sentiment keagamaan di sana. Pendirian atau keberadaan rumah ibadat ragam agama, yang di banyak tempat lain kerap memantik ketegangan dan pertikaian, tidak menjadi sumber pertikaian di Sipirok.

Kedua, di sejumlah lokasi di Sipirok masih dijumpati keberadaan rumah ibadat Muslim dan Kristen yang berdiri saling berdekatan. Contohnya adalah Masjid Sri Alam Dunia dengan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang hanya berjarak sepelemparan batu. Demikian halnya dengan gereja GKPA dengan Masjid Nurul Huda di kelurahan Bunga Bondar. Menurut kesaksian sejumlah informan, pembangunan rumah ibadah di masa puluhan tahun silam itu senantiasa melibatkan gotong royong warga dari kedua komunitas agama Muslim dan Kristen.

Ketiga partisipasi bersama umat Kristen dan Muslim dalam berbagai kegiatan sosial adat, seperti upacara perkawinan dan upacara kemalangan. Mengenai sajian untuk para tamu, biasanya jika keluarga Kristen mengadakan pesta dan masakan babi, maka hidangan untuk Muslim disediakan di tempat terpisah.

Keempat, praktik kerukunan juga tercermin dalam lingkunga pemukiman yang tidak terkotak-kotak (berkubu-kubu). Meski hal ini juga hanya ditemui di sebagian lokasi. Namun sekalipun tinggal di tempat terpisah, pada umumnya informan mengaku bahwa interaksi sesama warga di sana berjalan baik.

Kelima, sikap saling menghargai dan menghormati antarpemeluk agama terlihat dalam praktik keseharian masyarakat. Sebagai bukti, ketika di satu lingkungan warga Kristen menyelenggarakan pesta, begitu masuk waktu salat yang ditandai dengan suara adzan, secara sadar mereka segera menghentikan pesta sejenak untuk menghormati itu.

Keenam, beberapa dari mereka memiliki anggota keluarga yang berbeda keyakinan dan agamanya. Bagi mereka, perbedaan keyakinan dalam keluarga sekalipun adalah hak masing-masing individu untuk memilih keputusan. Itu tidak menjadi sekat pemisah apalagi pemutus hubungan kekeluargaan mereka.

Dalam kesaksian seorang informan, “Kami semua masih bersaudara, Ibaratnya, darah kita masih saling ngomong.” Dari sini tampak bahwa ikatan kekerabatan sangat menonjol dan tampak penting bagi masyarakat Batak.

Selain ikatan kekerabatan, pengalaman hidup bersama selama puluhan tahun juga membuat mereka relatif terbebas dari konflik. Memori kolektif yang positif tentang hidup rukun inilah yang kemudian mengakar sehingga dijalani generasi yang masih hidup sekarang.

Tradisi hidup rukun seperti itu dipelihara terutama lewat mekanisme non-formal seperti upacara ada, interaksi sehari-hari, pertukaran ekonomi, serta perjumpaan dan obrolan di warung kopi. Sedangkan pemeliharaan kerukunan di ranah formal, baik institusi pemerintah, ormas, pendidikan, masih tampak terbatas. Meski begitu, kerukunan hidup di Sipirok telah tumbuh dan berkembang secara alamiah dan perlu untuk tetap dilestarikan, pula untuk diteladani.[mnw]

 

* Tulisan ini adalah rangkuman dari diseminasi penelitian Rudy Harisyah Alam yang diterbitkan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama tahun 2020.

Topik Terkait: #Hasil Penelitian

Leave a Response