Seringkali, tarekat dianggap sebagai institusi olah rohani yang mengantarkan kesalehan individu di hadapan Tuhan. Para sufi dipandang sebagai orang yang hanya mementingkan akhirat sebagai suatu yang mutlak dalam kehidupannya, padahal gerakan tarekat yang disebarkan oleh para sufi tidak melulu menjauhi kehidupan duniawi.

Salah satu ajaran yang menuai kritik pada tarekat adalah ajaran zuhud yang dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Penganut tarekat juga dianggap hanya mendakwahkan ajaran melalui ritual ibadah dan doa saja, tanpa menggunakan perangkat sosial lainnya seperti politik, budaya, ekonomi, dan pemerintah.

Anggapan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Tarekat menjadi interkoneksi dalam berbagai bidang kehidupan. Di bidang pendidikan, terdapat Khwajah Nizm al Mulk yang berpartisipasi langsung membangun universitas dan juga madrasah. Di Indonesia, penganut tarekat juga membangun berbagai pesantren di penjuru negeri. Di bidang politik militer, ada tarekat Safawi yang berubah dari gerakan spiritual menjadi gerakan politik.

Di Indonesia, gerakan tarekat juga tersebar di banyak tempat, salah satu tempat yang memiliki eksistensi tinggi dalam dunia tarekat yaitu Pekalongan. Pekalongan dikenal sebagai kota sufi internasional. Pertemuan sufi tingkat dunia yang ketiga pada 8-10 April 2019 diselenggarakan di Pekalongan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian yang dikoordinatori oleh Elma Haryani dan Lufaefi dengan judul “Tarekat Habib Luthfi dalam Dinamika KUB di Kota Pekalongan” lahir untuk meneliti mengenai eksistensi dan gerakan tarekat di kota Pekalongan.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan yaitu metode kualitatif melalui studi kasus. Data-data dikumpulkan menggunakan teknik wawancara bersama tokoh kunci seperti Habib Luthfi selaku Mursyid TQN di Pekalongan, Wakil Wali Kota Pekalongan, dan sejumlah masyarakat menengah kebawah. Data lain diperoleh melalui FGD bersama Kepala Kementerian Agama Pekalongan, tokoh berbagai agama, tokoh budaya, tokoh ormas, dan akademisi. Peneliti juga melakukan studi pustaka dan dokumentasi dengan menelaah buku dan dokumen yang terkait dengan tarekat tersebut.

Temuan Penelitian

Habib Luthfi diangkat menjadi Rois ‘Amm Jam’iyah Ahl Tharekah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMAN) pada Februari 2002. JATMAN merupakan badan otonom dibawah naungan Nahdlatul Ulama. Tugas khususnya yaitu mengawasi tarekat-tarekat yang berkembang di Indonesia.

Menurut Habib Luthfi, peran tarekat untuk kehidupan perdamaian sangat penting. Karena perpecahan dan permusuhan yang terjadi di dunia Islam pada waktu sekarang disebabkan banyaknya orang yang tidak memiliki hati dan nafsu yang bersih. Hanya tarekat yang dapat menjadi obat kekacauan dunia saat ini.

Tarekat dapat menghantarkan kepada kemanusiaan, sehingga antar manusia dapat saling mengenal, menghormati antar suku dan bangsa, serta terbentuklah perdamaian. Hal lain terkait pentingnya tarekat, menurutnya tarekat perlu bersosialisasi, sehingga seorang Sufi harus menjalin kebersamaan dengan pemerintah, kepolisian dan TNI agar dapat menjaga fungsi negara supaya menciptakan kebahagiaan bagi seluruh umat manusia.

Tarekat yang dikenal dekat dengan Habib Luthfi yaitu tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN), karena TQN merupakan tarekat paling awal yang Habib Luthfi ikut berbaiat kepadanya. TQN memiliki ajaran-ajaran sosial yang bertujuan agar kehidupan sosial masyarakat menjadi lebih baik, melalui kepedulian sosial, sekaligus ditujukan untuk menjaga eksistensi dan mengembangkan gerakan tarekat di kota Pekalongan.

Gerakan sosial tersebut diantaranya: Pertama, memahamkan masyarakat tentang nilai-nilai ajaran (konseptual) tasawuf. Menurut Habib Luthfi, seseorang tidak boleh menyalahkan keyakinan orang lain yang berbeda hanya dengan menilainya dari sisi yang kasat mata, melainkan perlu penglihatan yang hakiki dalam melihat semua manusia.

Ajaran tarekat meyakini bahwa semua manusia adalah satu kesatuan yang semuanya dalam kasih sayang Allah, apapun agama dan keyakinannya. Habib Luthfi menginginkan dengan adanya pemahaman agama yang esensial, masyarakat dapat memperbaiki kehidupan mereka, sehingga tidak mudah untuk saling menyalahkan antar satu pemeluk agama dengan pemeluk agama lain yang berbeda.

Kedua, membangun interaksi dengan tokoh-tokoh, seperti pemerintah, tokoh agama, budaya, politik, dan para pemuda yang kemudian diterjemahkan dengan kegiatan-kegiatan sosial. Hal tersebut dilakukan guna mewujudkan keamanan hidup masyarakat Pekalongan. Kerukunan Umat Beragama (KUB) di Pekalongan adalah wujud konkrit ajaran sufi Habib Luthfi yang memandang semua manusia dengan menggunakan kacamata kemanusiaan dengan atas nama sesama manusia ciptaan Tuhan. Secara tidak langsung, interaksi antar tokoh tersebut sekaligus dapat memberikan kemanfaatan dan menyebarluaskan ajaran kebaikan sosial di masyarakat.

Ketiga, membuat branding bahwa tarekat (tasawuf) menciptakan kerukunan antar agama, budaya, suku dan etnis. Habib Luthfi dalam hal ini menggandeng berbagai elemen masyarakat diluar agama Islam untuk turut serta mengikuti berbagai acara besar seperti maulidan, Isra Mi’raj, dan sebagainya. Hal tersebut merupakan bentuk pengemasan diri yang dilakukan dalam rangka berkontribusi melakukan perbaikan bangsa dari perpecahan.

Keempat, memasukan ajaran tarekat sosial pada budaya-budaya lokal. Budaya-budaya lokal yang berada di kota Pekalongan menjadi objek dalam rangka memperluaskan ajaran tarekat sosial, yang berupaya untuk memberikan kemanfaatan kepada masyarakat seluas-luasnya.

Dan Kelima, meyakinkan masyarakat bahwa nilai-nilai taawuf dan tarekat adalah solusi bagi banyak konflik dan persoalan. Solusi tersebut dilakukan melalui pendekatan emosional, serta pengharmonisasian antara agama dan budaya lokal. Dengan lima hal tersebut, TQN eksis di kota Pekalongan dan ajaran-ajarannya mudah diterima oleh masyarakat secara luas, baik masyarakat Islam maupun diluar Islam.

Kesimpulan

Gerakan tarekat di kota Pekalongan bukanlah gerakan tarekat pasif yang terhenti pada kegiatan-kegiatan individual seorang Sufi (hanya) dengan Tuhannya. Gerakan TQN di kota Pekalongan berupa gerakan tarekat sosial, yang lebih memfokuskan kepada pembangunan peradaban dan pemberian kemanfaatan yang lebih besar kepada masyarakat.

Untuk menjaga eksistensi dan mengembangkan gerakan tarekat di kota Pekalongan dilakukan gerakan-gerakan sosial yang dimotori oleh Habib Luthfi bin Ali bin Yahya. Tarekat sosial secara tidak langsung mampu melahirkan kerukunan antar umat beragama di Kota Pekalongan. Sehingga, TQN dinilai mampu berkontribusi dalam mencegah perpecahan bangsa. (ANS)

*) Tulisan ini adalah rangkuman dari diseminasi penelitian Elma Haryani dan Lufaefi yang diterbitkan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama tahun 2020.

Gambar ilustrasi: Habib Luthfi bin Yahya bersama Uskup Paskalis Bruno Syukur dalam Hari Toleransi 2021.

Topik Terkait: #Hasil Penelitian

Leave a Response