Plato, merupakan salah seorang filsuf dengan pemikiran yang mempengaruhi hampir sebagian besar cabang filsafat. Pengaruh tersebut terutama dalam aspek politik dan kenegaraan. Beberapa karyanya telah sukses memantik perdebatan yang tak pernah usai, bahkan sampai saat ini.
Dari keseluruhan karya yang ditelurkan oleh Plato, ada satu buku yang dianggap sebagai masterpiece atau inti dari seluruh karyanya, yaitu Republic. Buku Republic adalah karya Plato yang di dalamnya berisi tentang dialog panjang antara Sokrates dengan pemuka Sofis waktu itu.
Berbicara tentang Republic ibarat membicarakan tentang dalamnya sebuah samudera. Hal tersebut dikarenakan isi dari buku tersebut sarat dengan berbagai gagasan, tidak hanya mengenai tentang perpolitikan belaka, melainkan juga menerangkan tentang kearifan hidup yang harus dimiliki oleh orang-orang yang ingin disebut sebagai manusia.
Dari mulai pendidikan hingga musik, ada satu pemikiran Plato yang jarang disentuh oleh beberapa pembaca bukunya, yaitu tentang usia tua.
Dalam bagian pertama dari Republic, diceritakan bahwa Sokrates sedang melakukan perjalanan ke sebuah tempat pemujaan para dewa yang disebut dengan Piraeus. Setelah selesai melaksanakan doa, seorang pelayan menghampiri Sokrates.
Orang itu mengatakan bahwa tuannya, Polemarchus, yang merupakan salah satu bangsawan kota itu. Lalu mengundangnya untuk bercengkerama dengan orang yang ada disana setelah beberapa lama tidak bertemu. Polemarchus datang dengan membawa Ademaintus, Glaukon, dan Niceratus, dan beberapa orang lainnya. (Plato, Republik, terj. Sylvester G. Sukur, Penerbit Narasi, Cet.1, Hal. 2)
Sokrates dan orang-orang tersebut kemudian datang ke rumah Polemarchus, yang di sana ada Lysias dan Euthydemus yang merupakan saudaranya, Cephalus yang merupakan ayah Polemarchus, Thrasymachus, Charmantides, dan Cleitophon yang juga tamu sama seperti Sokrates.
Cephalus pada waktu itu duduk dengan kursi yang penuh bantal yang kepalanya berhiaskan karangan bunga, sebagai lambang keadilan bagi para hakim waktu itu. Dari sanalah percakapan antara Sokrates dengan Cephalus terjadi. (Plato, Republik, terj. Sylvester G. Sukur, Penerbit Narasi, Cet.1, Hal. 3)
Setelah bertegur salam, Sokrates membuka obrolan dengan pertanyaan yang bernada filosofis “… Apakah hidup menuju akhir itu lebih keras, atau keterangan apa yang engkau berikan?”.
Cephalus kemudian menjelaskan “akan saya katakan kepadamu, Sokrates, bagaimana perasaan saya sendiri. Lelaki seusia saya berkumpul bersama, seperti kata pepatah kuno, kami adalah orang yang senasib sepenanggungan, orang yang mempunyai persamaan dalam satu hal; … bahwa saya tidak bisa makan, saya tidak bisa minum; berbagai kesenangan masa muda lenyap entah kemana..” (Plato, Republik, terj. Sylvester G. Sukur, Penerbit Narasi, 4).
Ada sebuah pesan moral yang dapat ditangkap dari dialog tersebut, yaitu bahwa kesenangan atau apapun yang ada dalam masa muda hidup ini hanyalah sekedar kesenangan biasa.
Pada kenyataannya ketika usia tua menghampiri, seperti kata Cephalus, makan, minum, dan semua kesenangan yang lain hanyalah menjadi dera bagi batin. Sekalipun semua itu memberikan kesenangan atau bahkan manfaat bagi tubuh, namun kenyataannya semua kemanfaatan itu tidak banyak dibutuhkan pada usia tua, atau bahkan tidak diperlukan sama sekali.
Lantas kemudian satu-satunya cara untuk memaknai usia tua adalah dengan mensyukurinya. Cephalus menyadari bahwa dirinya bukan satu-satunya yang mengalami usia tua.
Karena itu, adanya usia tua bukanlah suatu kejahatan, dan yang lebih baik dari itu, usia tua haruslah dihadapi dengan penuh syukur dan menjauhkan diri dari segala bentuk keluh kesah.
Kata Cephalus “tetapi bagiku Sokrates, orang yang mengeluh ini tampaknya menyalahkan usia tua yang sebenarnya sama sekali tidak bersalah“ (Plato, Republik, terj. Sylvester G. Sukur, Penerbit Narasi, Hal. 4).
Lalu apakah sebenarnya manfaat yang dapat diperoleh oleh setiap orang ketika berada pada usia tua? Jawabannya yaitu kedamaian, ketenangan, dan kebebasan. Apa yang sudah dilakukan pada masa muda dengan penuh nafsu dan gairah akan hilang pada saat tua.
Karena semua ikatan semangat dan dorongan nafsu telah longgar, orang akan lebih merasa bebas dengan melakukan segala sesuatu sesuai pada apa yang seharusnya menjadi kebutuhannya. Orang hanya akan mengaitkan diri pada kebutuhan rohani, dan yang terpenting, semua itu dilakukan dengan penuh kesadaran.
Karena itu, usia tua bukanlah sebuah penyakit atau derita yang harus dikeluh kesahkan, melainkan sebaliknya harus disyukuri sebagai salah satu maha karya Tuhan akan perlawanan keadaaan suatu objek pada waktu.
Pada akhirnya manusia memahami, bahwa semua keangkuhan diri atau segala bentuk apapun yang ada pada diri manusia pada masa tua tidak ada yang membanggakan, melainkan hanya sekedar pengalaman jasmani. Rohani hanya mengambil apa yang ada didalam pengalaman jasmani tersebut, yaitu nilai-nilai kehidupannya.
Tidak hanya berhenti berkeluh kesah, dengan adanya usia tua maka sudah sepantasnya jika kemudian kita yang mungkin masih belia untuk berbenah diri. Hal ini agar tidak mengisi masa muda dengan ha-hal yang sia-sia.
Memaksimalkan potensi diri adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukan oleh kita sebagai generasi muda. Caranya dengan mengikuti segala bentuk kegiatan yang menjadi penunjang minat dan bakat, sehingga dengan pengembangan minat dan bakat tersebut, maka kita akan menjemput masa depan dengan kesuksesan.
Terakhir, selalu ingat untuk menikmati proses yang ada. Menggapai suatu tujuan, seperti menikmati masa tua merupakan suatu tujuan, tetapi proses didalamnya juga memiliki peranan yang tidak ternilai.
Semua bentuk kepribadian yang baru akan lahir dari proses tersebut. Oleh karena itu, menikmati proses sekaligus menanti hasil adalah suatu pilihan yang bijaksana. Dan untuk generasi muda, para garda terdepan bangsa dan negara, selamat berproses. (mzn)