Tidak bisa kita pungkiri bahwa modernitas, dengan sains dan teknologinya, pada satu sisi berhasil membuat berbagai kemajuan-kemajuan. Akan tetapi, pada sisi lainnya kita tidak bisa menafikan, modernitas pun mengandung berbagai kelemahan, dan turut menghadirkan berbagai kerusakan.
Dalam diskursus akademik, ada banyak pemikiran yang mencoba mengupas “sisi gelap” dari modernitas. Kita bisa ambil contoh, salah satunya yakni Mazhab Frankfurt (Teori Kritis). Adorno dan Horkheimer dalam buku Dialektika Pencerahan: Mencari Identitas Manusia Rasional (2014), menyatakan bahwa “pencerahan” sudah keluar dari “rel” seharusnya.
Selain Mazhab Frankfurt, tokoh yang secara khusus dibahas dalam artikel ini untuk mengupas permasalahan modernitas, yakni Seyyed Hossein Nasr, seorang cendikiawan yang dikategorikan oleh Anton Bekker dalam buku Kosmologi dan Ekologi, Filsafat tentang Kosmos sebagai Rumah Tangga Manuisa (1995), dengan sebutan kosmologi tradisional yang tergolong pada jenis kosmologi filsafat.
Penting untuk dicatat, sebagaimana yang ditulis oleh Ach. Maimun dalam buku Sayyed Hossein Nasr: Pergulatan Sains dan Spiritualitas (2015), bahwa Nasr menyelesaikan pendidikannya di MIT (Massachussetts Instititute of Technology) pada bidang Fisika. Kemudian melanjutkan studinya di Harvard University dengan spesialisasi Geologi dan Geofisik. Setelah itu Nasr melanjutkan pada jenjang doktoral dengan spesialisasi sejarah sains.
Nasr sendiri menyelesaikan program doktoralnya pada usia 25 tahun, yakni pada tahun 1958 dengan disertasi berjudul Conception of Nature in Isamic Thought and Methods Used for Its Study by the Ikhwan al-Safa, al-Biruni and Ibnu Sina. Kemudian disertasi tersebut diterbitkan dengan judul Introduction to Islamic Cosmological Doctrines.
Bila kita melihat rekam jejak akademik Nasr sebagaimana yang diungkapkan di atas, maka dapat dikatakan Nasr adalah orang yang mempunyai pengetahuan luas. Dia bukan hanya pengetahuan yang bersumber dari Dunia Timur, tapi juga pengetahuan yang bersumber dari Dunia Barat.
Sebab itu, penting kiranya mempertimbangkan kritik Nasr atas modernitas yang digaungkan oleh Dunia Barat. Meski di satu sisi, harus diakui, modernitas telah membawa kemajuan pada peradaban manusia, tapi di sisi lain, modernitas pun menghasilkan ‘sisi gelapnya’.
Menurut Ach. Maimun (2015), salah satu hal yang menggelisahan hati dan pikiran seorang Nasr adalah krisis ekologi yang telah mencapai titik nadir. Kerusakan hutan, pencemaran air dan udara merupakan contoh yang sangat menonjol.
Bagi Nasr kondisi tersebut tidak bisa dilepaskan karena manusia menggunakan teknologi dan sains untuk mengeksploitasi alam demi kepentingan material sesaat. Nasr menyebut, hal itu terjadi karena yang mendominasi dalam kesadaran (modernitas) adalah realitas fisik, maka segala hal yang bersifat metafisika menjadi tidak penting, bahkan nonsense.
Dalam kacamata Nasr, akar dari persoalannya adalah adalah kesalahan mendasar dari epistemologi modern secara khusus. Kehidupan yang hanya berdasar pada pengetahuan realitas fisik akan menjadi kering dan sempit. Kerusakan ekologi termasuk salah satu dampak yang telah terlihat dan terasa oleh masyarakat dunia.
Dalam Religion and the Order of Nature (1996), Nasr menyebut bahwa krisis tersebut berada pada taraf yang mengkhawatirkan. Nasr mencontohkan, seperti soal peningkatan suhu panas global, kerusakan lapisan ozon, dan sebagainya. Bagi Nasr, krisis ekologi tersebut akan menjadi ancaman yang nyata bagi seluruh struktur kehidupan masyarakat dunia.
Dengan demikian, dapat dikatakan, inti kritik Nasr atas modernitas, merupakan kritiknya atas sains dan teknologi. Nasr sendiri dalam The Encounter of Man and Nature (1968), menyebut bahwa sains membawa dampak yang negatif karena sains telah keluar dari peran, fungsi dan pengaplikasiannya yang seharusnya.
Kembali mengutip Ach. Maimun (2015), selain krisis ekologi, Nasr pun berpandangan bahwa sains modern juga berdampak pada terjadinya krisis manusia. Terputusnya hubungan manusia dari realitas yang lebih tinggi (sering disebut the source) akibat hegemoni sains modern yang menyebabkan manusia modern tidak mengerti tentang siapa dirinya (the self) yang sebenarnya. Sebab, ia tidak memiliki kesadaran yang lebih tinggi (higher consciousness). Sehingga, pandangan tentang manusia hanya terfokus pada dimensi fisik.
Dalam buku Menjelajahi Dunia Modern (1994), Nasr pun mengkritik perkembangan sains modern yang menjelma menjadi saintisme, yang dipahami di sini sebagai keyakinan baru yang dinilai absolute dan menolak kebenaran dari sumber lain. Gambaran sekilas tentang pandangan Nasr ini, meneguhkan posisinya sebagai salah satu cendekiawan terkemuka pengkritik khazanah sains dan teknologi modern.
Nasr sendiri mengajukan filsafat perenial sebagai alternatif. Bagi saya pribadi, saya tidak sepenuhnya menyepakati paradigma alternatif yang coba dikembangkan oleh Nasr, yang tidak akan saya ulas dalam edisi tulisan ini. Hanya saja, saya meletakkan kritik Seyyed Hossein Nasr terhadap modernitas sebagaimana yang dibahas dalam tulisan ini, sebagai bentuk penyadaran kita bahwa sains pun mempunyai keterbatasan.
Di tengah gemerlapnya kemajuan modernitas, meninggalkan suatu celah yang luar biasa yang dapat menjadi ancaman nyata bagi kehidupan kita. Sebab itu, diperlukan suatu kearifan bersama untuk menanggulangi permasalahan tersebut, dan kita tidak mudah terlena dengan janji-janji modernitas.
Bagi saya, untuk membangun suatu peradaban, tidak bisa hanya mengandalkan satu disiplin keilmuan tertentu, melainkan memerlukan berbagai disiplin yang dapat bahu membahu untuk meningkatkan kualitas peradaban kita.