Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara idealnya sudah menjiwai segenap polah-tingkah seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Harusnya, tidak ada alasan secuil pun bagi segenap bangsa Indonesia untuk tidak mengenal dan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan beragama.
Namun, seringkali antara harapan dan kenyataan selalu bertepuk sebelah tangan, alias ambyar, meminjam istilah Lord Didi. Buktinya, saat ini, masih ada masyarakat atau kelompok yang, jangankan memahami dan mengamalkan, bahwa ideologi Indonesia adalah Pancasila saja ia tidak mengetahui. Memang miris, namun itulah fakta lapangan yang berbicara dan bisa dicek secara mudah.
Bahkan celakanya lagi, masih ada kalangan yang mempertentangkan antara agama dan Pancasila. Kalau hendak disebut aneh dan lucu, memang kondisi riilnya seperti itu. Masih ada warga negara yang tak mengerti Pancasila, termasuk lima butir Pancasila itu apa saja.
Tanpa mengutip sebuah survei dan penelitan sekalipun, kita sudah banyak yang mafhum akan kenyataan yang sebenarnya tidak kita inginkan ini. Namun mau bagaimana lagi, ini adalah tugas kita semua, terutama para pegiat literasi.
Belum lagi kalau bicara soal kekosongan ideologi, persoalannya tambah rumit. Pancasila sebagai falsafah bangsa sudah mulai luntur, jika tidak ingin dikatakan telah hilang. Celakanya, ideologi Pancasila yang mulai ditinggalkan generasi saat ini itu, konon, digantikan oleh ideologi lain, seperti liberalisme, materialisme, hedonisme dan lain-lain.
Jelas, masuknya ideologi lain tersebut yang menggerus ideologi Pancasila, patut diberikan perhatian khusus. Pegiat sekaligus tokoh yang selama ini menyuarakan akan pentingnya menjaga ideologi Pancasila seperti Yudi latif.
Ia sendiri mengamini bahwa ada semacam ancaman bagi Pancasila sebagai landasan negara. Ya. Mantan petinggi Badan Pembina Ideologi Pancasila itu mengatakan bahwa ancaman terasingnya ideologi Pancasila, terutama di kalangan generasi muda, sangatlah nyata.
Kira-kira uraian di atas hanya menggambarkan sedikit dari sekian banyaknya masalah yang berkaitan dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar dalam berbangsa dan bernegara.
Penulis melihat bahwa kekosongan ideologi yang menimpa sebagian generasi muda saat ini adalah karena belum maksimalnya program-program yang memang diarahkan untuk memperkuat pemahaman Pancasila seutuhnya terhadap seluruh elemen bangsa ini, hanya sebatas ‘proyek’ saja. Hal ini bukan sekedar mengklaim, tetapi fakta yang berbicara.
Berbicara tentang program penguataan ideologi Pancasila, tidak bisa digelar dan dibungkus dalam program seminar dan semacamnya saja. Kalau dijalankan model sperti ini terus, maka dampak keberhasilan dan kebermanfataannya akan amat kecil sekali bagi penguatan ideologi Pancasila, meskipun sudah mengeluarkan banyak biaya.
Maka, perlu langkah strategis, terlebih di era seperti saat ini. Dunia kini telah dijejaki oleh generasi muda yang sudah barang tentu memiliki gaya dan pola yang berbeda dari generasi sebelumnya.
“Setiap zaman selalu ada generasi-generasi baru, oleh karena itu, Pancasila tidak boleh berhenti penyampaiannya. Setiap generasi memerlukan pengenalan, memerlukan pemahaman tentang dasar-dasar nilai, dasar-dasar titik temu dan titik tuju dari bangsa ini,” kata Yudi Latif pada awal Agustus 2017 sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia (8/6/018).
Persoalannya sekarang, bagaimana menjadi generasi milenial akrab dengan ideologi Pancasila? Inilah tantangan kita semua, terutama generasi muda Indonesia hari ini.
Berikut tiga (3) langkah strategis yang bisa ditempuh oleh para pemangku kepentingan. Strategi ini dapat untuk memancing generasi milenial agar mengerti dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama, penguatan dalam kurikulum. Langkah ini idealnya diterapkan sejak dini. Artinya, sejak pendidikan dini, nilai-nilai Pancasila harus mulai dipopulerkan kepada anak. Tentu dengan metode dan materi yang menyenangkan dan sederhana. Menerapkan nilai Pancasila secara sederhana adalah kuncinya.
Kedua, rangkul komunitas. Sebagai lingkungan kesekian setelah keluarga dan sekolah, komunitas bisa menjadi wadah efektif dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi Indonesia. Saat ini ada ribuan komunitas di Indonesia. Inilah garapan pemerintah dalam upaya menjadikan Pancasila arus utama dalam kehidupan sehari-hari.
Pengenalan dan penerapan Pancasila bisa disesuaikan dengan komunitas masing-masing. Namun, satu hal yang harus diperhatikan adalah kemasan penyampaiannya.
Misalnya, bisa dengan cara membiasakan diri menjalankan pikiran dan memainkan jemarinya untuk membuat konten-konten sederhana namun menarik nan positif, lalu diposting di media social masing-maisng atau group.
Ketiga, teladan pemimpin. Ujung-ujungnya kembali pada segenap pemangku dan penggerak roda pemerintahan republik ini. Percuma membuat program dan menganggarkan sekian miliar hingga triliunan rupiah untuk memperkuat ideologi Pancasila, tetapi para pejabat lakunya tidak mencerminkan, bahkan mencederai pancaila itu sendiri.
Teriak-teriak ‘Saya Pancasila’, eh tak lama kemudian berurusan dengan KPK. Inilah yang membuat generasi kita saat ini mulai meninggalkan jati diri dan nilai-nilai luhur bangsa sebagaimana tercermin dalam Pancasila.
Generasi milenial harus akrab dengan Pancasila. Tentu dengan langkah-langkah yang dikemas sedemikian rupa agar sesuai dengan karakter dan keinginan generasi milenial.