Berdasarkan sejarah Islam, terdapat tiga tipologi tentang hubungan agama dan negara, sebagaimana yang diusung oleh Din Syamsudin. Pertama, suatu golongan yang berpendapat bahwa negara dan agama berjalan secara selaras. Hal ini dianggap bahwa domain negara juga menjadi domain agama, bahkan keduanya tidak ada jarak dan menjadi satu kesatuan. Al-Maududi menjadi salah satu tokoh yang mendukung pada gerakan ini.

Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa hubungan negara dan agama berjalan secara dinamis atau dialektis, bukan hubungan secara langsung. Alhasil, keduanya tidak secara utuh menyatu, ada jarak dan kontrol masing-masing, sehingga dari sini berjalan beriringan.

Pada satu sisi, negara dan agama bertemu dalam rangka pemenuhan kepentingannya, negara membutuhkan agama dalam membangun negara yang baik, berkemajuan, adil serta memiliki spirit ketuhanan yang kuat. Di sisi lain, agama pun membutuhkan negara dalam rangka mengimplementasikan akselerasi perkembangan. Abdullah Ahmed An-Na’im, Abdurrahman Wahid, Muhammad Syahrur, Nurcholis Madjid, Nasr Hamid Abu Zaid merupakan tokoh berpengaruh dunia yang termasuk golongan ini.

Ketiga, agama dan negara adalah dua hal yang berbeda serta tidak bisa dihubungkan satu sama lain. Golongan ini cenderung memisahkan keduanya. Pada era kerajaan di Jawa, norma agama begitu ditekankan dalam sendi kehidupan oleh pemerintah. Secara simbolik sebagai bentuk mengayomi masyarakatnya, sehingga warga merasa diayomi jikalau ada seorang pemimpin datang.

Demikian dapat dilihat dalam sejarah ketika para raja di pulau Jawa turut menghadiri kegiatan keagamaan yang dilakukan di Sekatenan. Para raja Jawa juga memberikan kebebasan kepada masyarakatnya untuk memeluk agama tertentu.

Tubuh Pancasila: Wujud Nilai Agama

Itulah salah satu bentuk toleransi dalam konteks sejarahnya yang juga memiliki keterkaitan dengan UUD 1945 Pasal 28E UUD dengan redaksi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Begitu pun pada pasal 29 ayat 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.”

Ciri yang tampak dari karakteristik ideologi Indonesia adalah Pancasila. Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 29 ayat (1) UUD Republik Indonesia Tahun 1945 dan menempatkannya sebagai sila pertama dalam Pancasila mempunyai beberapa makna.

Makna pertama, bahwa Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa. Sila pertama menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai-nilai “Ketuhanan.”

Kerelaan tokoh-tokoh Islam saat itu untuk menghapus kalimat dengan “Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya” setelah redaksi “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada pengesahan UUD, 18 Agustus 1945, tidak lepas dari cita-cita bahwa Pancasila harus mampu menjaga dan memelihara persatuan dan persaudaraan antar semua komponen umat beragama. Artinya, tokoh-tokoh Islam yang menjadi aktor kemerdekaan bangsa Indonesia telah menjadikan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa sebagai tujuan utama yang harus berada di atas kepentingan primordial lainnya.

Makna kedua, bahwa seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan bahwa sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama dan sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat. Ini berarti, Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjadi landasan dalam melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.

Makna ketiga, seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga berkesimpulan bahwa sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan sila-sila lain dalam Pancasila secara utuh.

Hal ini dipertegas dalam kesimpulan nomor 8 dari seminar tadi bahwa: Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) Persatuan Indonesia (4) Kerakyatan, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan adil dan beradab, berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkeadilan sosial. (5) Keadilan sosial yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini berarti bahwa sila-sila lain dalam Pancasila harus bermuatan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Makna keempat, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa juga harus dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan ateisme.

Karena itu, ketetapan MPRS No.XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29 ayal 2 UUD bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama (ateis).

Kata “tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan pengertian tidak membolehkan, terutama jika ateisme tidak dianut secara personal, melainkan juga didakwahkan kepada orang lain. Prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat dan rakyat pun cenderung paham akan korelasi hukum yang ada.

Oleh karenanya, nilai-nilai atau pesan tersirat dari ideologi bangsa (Pancasila) sebenarnya selaras dengan hakikat ber-Islam. Pasalnya, di dalam tubuh Pancasila terdapat aspek teologi yang juga secara tersirat merupakan wujud dari moderasi beragama, terdapat dalam sila pertama. Ketuhanan yang Maha Esa, tandanya tidak memihak kepada salah satu golongan semata, namun semua masyarakat Indonesia bebas memilih agama mana pun sesuai kepercayaan.

Pesan tersirat lainnya yang juga senada dengan prinsip Islam yang dalam Al-Qur’an yang secara kuantitas banyak ayat-ayat yang bermuara pada aturan berhubungan sosial, terangkum dalam sila ke-2 sampai ke 5. Yaitu bagaimana anjuran memanusiakan manusia, memperkuat persatuan, musyawarah, dan menerapkan prinsip keadilan, di mana hal demikian sudah ada dalam tubuh Islam dengan segala aturan-aturannya.

Maka dari itu, hubungan Islam dan negara (Pancasila) sebagai simbolik bangsa, telah menunjukkan karakteristiknya, bahwa nilai luhur yang terkandung di dalamnya tidak lepas dari unsur nilai-nilai agama, yang lebih mengutamakan kesejahteraan dan kedamaian masyarakatnya.

Topik Terkait: #kebangsaan#Pancasila

Leave a Response