Diskusi tentang moderasi beragama di Indonesia hingga dewasa ini menjadi bahan kajian yang menarik. Di samping itu, setiap periode tertentu selalu ada saja penyegaran pemikiran agama dan moderatisme. Demikian begitu sangat penting untuk dipahami seksama bahwa betapa pentingnya menjadi pribadi yang penuh rasa toleran, kasih sayang, dan cinta terhadap siapa pun tanpa pandang bulu.

Istilah moderat acap kali didefinisikan Islam wasathiyah (tengah-tengah). Artinya mengambil jalan tengah dalam urusan agama, dinamis, cenderung toleran, jauh dari ekstremisme-radikalisme, dan mengutamakan cinta kasih dalam menerapkan prinsip beragama. Bahkan dalam forum-forum regional, nasional, maupun internasional, kajian penting moderasi beragama acap kali dipilih menjadi topik pembahasan seksi untuk selalu dimunculkan-disosialisasikan di muka publik.

Hal demikian tidak lepas dari tujuan utamanya, yaitu lebih menyebarluaskan pemahaman Islam yang santun, menuntun, dan luwes. Maka salah satu upaya sosialisasi, mendidik, dan menjadi insan moderat dalam konteks Indonesia yang paling berpengaruh adalah adanya Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan.

Salah satu Pesantren yang selalu memberikan edukasi dan menguatkan fondasi menjadi insan moderat adalah Pesantren Luhur Al-Husna, Wonocolo, Surabaya, di bawah asuhan Prof. Dr. KH. Ali Maschan Moesa. Kiprah beliau dalam struktur kepengurusan Nahdlatul Ulama pernah menjabat sebagai Ketua PWNU Jawa Timur Periode 1999-2008, Guru Besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya, Rektor Universitas Islam Kadiri (UNISKA), Kediri, dan sekarang masih diamanahi sebagai Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur.

Melihat latar belakang Kiai Ali Maschan Moesa dari kalangan Nahdliyin dan Pesantren, maka tidak heran jika sangat menolak prinsip pendirian Negara Khilafah yang digaungkan golongan ormas-ormas ekstrem yang hingga dewasa ini menyita perhatian publik. Dalam tubuh Nahdlatul Ulama sendiri sebagaimana dalam segala amaliah-amaliah yang diterapkan sehari-hari layaknya tahlil, sholawat, tawassul, yang menurut mereka (golongan ekstrem) bid’ah sejatinya tidak menyimpang dari ajaran Islam, karena di dalamnya bacaan yang dilafalkan adalah kalimat thayyibah.

Tidak hanya amaliah-amaliah keseharian yang Kiai Ali Maschan Moesa ajarkan kepada para santrinya setiap ngaos/ngaji setiap selepas Subuh dan Kamis malam, namun penanaman prinsip selalu menebar kebaikan kepada siapa pun tanpa pandang bulu selalu ditekankan. Kalimat yang selalu beliau utarakan adalah “wa maa arsalnaaka rahmatan lil ‘alamin, bukan marahtan lil ‘alamin”.

Pesan beliau, pada dasarnya sebagian besar isi kandungan Al-Qur’an mengatur hubungan sosial dan segala aktivitas keseharian manusia. Seperti halnya penggalan ayat di atas, kewajiban umat muslim adalah berbuat kebajikan kepada seluruh alam, tidak hanya pada manusia, melainkan juga pada lingkungan (alam). Bukan justru “marahtan”, artinya mereka yang suka marah-marah dan melegalkan kekerasan dengan mengatasnamakan agama (Islam).

Dakwah abah Ali (begitu kiranya kami para santri menyapa beliau) terbilang unik dan menjadi teladan bagi para santrinya. Terlebih dalam hal urusan bagaimana seharusnya menjadi muslim yang cerdas, kontekstual, dan penuh rasa kasih sayang terhadap pemeluk agama lain. Setidaknya ada tiga poin penting bagaimana penekanan dakwah Abah Ali untuk menjadi muslim moderat dalam beragama, di antaranya:

Pertama, implementasikan intisari “rahmatan lil ‘alamin”, artinya dengan memahami pesan tersirat maupun tersurat dalam penggalan ayat tersebut nantinya kita tidak mudah menyalahkan orang lain, memandang perbedaan sebagai anugerah, dan menebar kasih sayang terhadap siapa pun. Karena sejatinya muara utama dari dalil-dalil teks agama berakhir pada hubungan sosial.

Kedua, kontekstual dalam memahami ayat. Acap kali ketika ngaos beliau selalu mengulang-ulang cerita bagaimana banyak golongan yang melegalkan kekerasan dengan mengatasnamakan bela Islam. Padahal demikian tidak dibenarkan dalam intisari Islam sendiri. Bahwa Islam pada prinsipnya diciptakan untuk menyempurnakan akhlak

Ketiga, jangan takut berdialog dengan pemeluk agama lain. Demikian juga dicontohkan oleh Kiai Ali dalam rangka merawat harmoni beragama khususnya di Surabaya. Mengingat beliau juga aktif dalam Forum Lintas Agama Jawa Timur, maka demikian selaras dengan prinsip poin “a” di atas. Bahkan, beberapa kali para santri Pesantren Luhur Al-Husna terlibat berdialog dengan pemeluk Kristiani di Surabaya. Pernah juga seorang Kristiani pun juga menginap di Pesantren Al-Husna sebagaimana para santri dan mengikuti kajian kitab Tafsir Munir setelah Subuh bersama Kiai Ali Maschan.

Dalam upaya membentuk karakter para santrinya yang moderat. Cara dakwah beliau seperti pada umumnya para Kiai disampaikan secara lisan (bi lisan/ucapan) atau ungkapan secara langsung dengan tutur kata yang lembut dan sesekali diselingi humor. Dengan membacakan teks-teks keislaman yang terangkum dalam kitab, lalu disampaikan dengan penjelasan yang rinci beserta contoh-contoh yang mudah dipahami.

Sebagai contoh untuk para santrinya, Kiai Ali Maschan juga menulis beberapa buku sebagai penguat ideologi kebangsaan dan pemahaman Islam ahlussunnah waljamaah. Di antaranya adalah “NKRI Harga Mati” dan “Pengantar Ahlussunnah Waljamaah”, di mana keduanya ditujukan untuk sebagai fondasi pemahaman berislam secara cerdas dan kontekstual, bahkan dalam urusan bernegara.

Oleh karenanya, partisipasi Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya dalam upaya mencetak generasi muda yang moderat begitu berpengaruh di Surabaya. Terlebih sosok Kiai Ali Machan Moesa juga memiliki keluasan ilmu dan keberaniannya dalam menentang siapa saja yang ingin merusak NKRI.

Maka dari itu seperti yang dikatakan oleh Khaled Abou El-Fadl dalam bukunya yang bertajuk “The Place Tolerance in Islam”, bahwa sejatinya Islam mampu menerapkan dan menempatkan teks-teks keislaman sesuai dengan konteks zaman. Nantinya, akan terhindar dari paham ekstremis, radikalis, bahkan jaringan teroris layaknya di Timur-Tengah yang hingga kini belum surut.

Leave a Response