Beberapa hari terakhir ini beranda media sosial kita dipenuhi pemberitaan tentang Habib Rizieq. Dari sekian banyak segmen berita yang mengabarkan tentang Habib Rizieq, ada satu berita yang (menurut saya) menarik dan cukup berfaedah untuk kita bahas melalui catatan yang teramat singkat ini. Berita yang saya maksud di sini adalah berita tentang pernikahan putri Habib Rizieq, Syarifah Najwa Shihab dengan Syarif Irfan al-Idrus pada sabtu 14 november 2020.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan berpanjang lebar mempersoalkan kerumunan massa yang terjadi dalam acara pernikahan itu. Betapa lucunya jika orang pesantren seperti saya ini kemudian fasih berbicara tentang pasal dan undang-undang tentang Kekarantinaan Kesehatan. Sudahlah, untuk wilayah itu, saya sepenuhnya percaya kepada ahlinya, Tim Kesehatan dan pihak berwajib.
Dalam catatan ini, saya hanya akan fokus menyasar pernikahan antara Syarifah Najwa Shihab dengan Syarif Irfan al-Idrus dengan sebuah pertanyaan, kenapa putri Habib Rizieq yang merupakan keturunan Rasulullah saw. harus menikah dengan seseorang yang juga merupakan keturunan Rasulullah saw.?
Pertanyaan konyol ini muncul bukan tanpa sebab. Ia muncul akibat dari laku masyarakat yang saya lihat selama ini. Dalam beberapa kesempatan, hampir belum pernah saya temukan seseorang dari komunitas keturunan Rasulullah saw. alias Habaib menikah dengan seseorang yang berada di luar komunitas Habaib. Katanya, jika itu terjadi maka akan merusak nasab ke-habaiban-nya.
Kalau kita cermati, fenomena semacam ini, selain tidak memiliki dasar yang kuat, ia juga cenderung diskriminatif dan terkesan berhadap-hadapan dengan spirit yang dibawa oleh agama Islam. Islam yang selama ini saya pelajari sangat menjunjung tinggi spirit kesetaraan (al-musāwā). Ia tidak membolehkan umatnya untuk mengunggulkan satu manusia atas manusia lainnya hanya dengan dasar perbedaan warna kulit, asal daerah, apalagi hanya karena perbedaan asal keturunan. Kata Nabi, manusia itu sama rata seperti gigi sisir. [Ibnu Shalah al-Shan’ani/Subul al-Salam/II/189]
Baiklah, agar catatan ini tidak ngalur-ngidul kemana-mana, mari kita ajukan satu pertanyaan lagi. Kalau bukan agama, lantas apa yang membuat sekelompok orang itu tetap ngotot melestarikan fenomena yang (menurut saya) sangat diskriminatif itu?
Sidang pembaca yang budiman, fenomena semacam itu sesungguhnya tidak lahir dari tradisi agama Islam yang keren dan suci ini. Fenomena itu muncul dari konstruk budaya masyarakat yang bersumber dari salah satu bagian dari konsep fikih yang cenderung diskriminatif. Tepatnya dalam pembahasan nikah, pada bab Kafa’ah. Konsep inilah yang kemudian melatarbelakangi terbentuknya konstruk budaya yang diskriminatif dalam soal pernikahan.
Sebelum saya paparkan diskusi para Imam Mazhab mengenai konsep Kafa’ah ini, alangkah baiknya saya jelaskan terlebih dahulu apa itu Kafa’ah. Secara sederhana, Kafa’ah itu adalah kesamaan level antara pihak lelaki yang hendak melamar dengan pihak perempuan yang hendak dilamarnya. Selevel dalam ranah apa saja? Ntar saya jelaskan lagi di paragraf-paragraf berikutnya. Sebab dalam hal ini para Imam Mazhab masih berbeda pendapat mengenai harus selevel dalam ranah apa saja.
Dalam Mazhab Syafi’i misalnya, mereka merumuskan bahwa seorang perempuan hendaknya menikah atau dinikahkan dengan seseorang yang selevel dengan dirinya dalam lima hal. Pertama, selevel dalam soal kesehatan jasmani dan rohani (salāmah min ‘aib al-nikāḥ). Kedua, selevel dalam status kemerdekaan (ḥurriyah) alias bukan seorang budak (al-riq). Ketiga, selevel dalam hal nasab alias asal muasal keturunan. Keempat, selevel dalam soal ketaatan kepada agama (‘iffah). Kelima, selevel dalam profesi atau penghasilan (ḥirfah).[Abu Yahya Zakariya al-Anshori/Fatḥ al-Wahhāb/39-40].
Dengan dasar konsep ini maka dalam pandangan Mazhab Syafi’i, orang tua memiliki kuasa untuk menolak seorang lelaki yang melamar anak perempuannya hanya dengan alasan lelaki yang melamarnya berasal dari keluarga biasa-biasa saja, alias tidak selevel dalam soal nasab, misalnya. Contoh nih, perempuan yang hendak dilamarnya adalah seorang Syarifah, yakni keturunan Habaib. Sementara lelaki yang hendak melamarnya adalah saya, lelaki yang berasal dari keluarga biasa-biasa aja.
Lain lagi menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali. Menurut ulama yang menganut dua Mazhab ini, Kafa’ah (selevel) tidak hanya terjadi dalam lima hal tadi. Menurut dua mazhab ini seorang lelaki juga harus Kafa’ah (selevel) dalam soal jumlah kekayaan (al-māl wa al-yasār).[Muhammad Jawwad Mughniyah/al-Fiqh ‘Alā al-Madhāhib al-Khomsah/275]. Misalnya, si perempuan adalah anak dari seorang pengusaha kaya raya. Sementara lelaki yang melamarnya adalah saya, seorang mahasiswa yang nasibnya masih tak tentu arah.
Kalau kita merujuk pada konsep Kafa’ah yang digagas Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali, maka orang tua dalam kasus di atas memiliki kuasa untuk ‘menyelamatkan’ anak perempuannya dari lamaran yang saya ajukan. Sebab, menurut konsep Kafa’ah ala Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali, saya memang sudah cukup syarat untuk ditolak, karena tidak selevel dalam soal jumlah kekayaan (al-māl wa al-yasār).
Sementara Mazhab Maliki dan Mazhab al-Zaidiyah cenderung tidak sepakat dengan konsep Kafa’ah yang digagas oleh tiga Imam Mazhab tadi, yakni harus Kafa’ah (selevel) dalam hal nasab, profesi, jumlah kekayaan dan lain-lain. Menurut Mazhab Maliki dan Mazhab al-Zaidiyah konsep Kafa’ah hanya berlaku dalam hal ketakwaan dan agama yang dianutnya (al-dīn).[Dr. Nasr Farid Muhammad Washil/Fiqh al-Usrah Fī al-Islām/172].
Konsep Kafa’ah yang digagas oleh Mazhab Maliki dan al-Zaidiyah cenderung lebih longgar jika dibandingkan dengan konsep Kafa’ah yang digagas oleh tiga mazhab lainnya, yakni Syafi’I, Hanafi, dan Hanbali. Jika tiga mazhab sebelumnya memberikan pembenaran kepada para orang tua untuk menolak lelaki yang melamar anak perempuannya dengan alasan karena yang melamar adalah lelaki miskin atau karena berasal dari keluarga biasa-biasa aja, maka Mazhab Maliki dan al-Zaidiyah tidak, ia tidak mempersoalkan itu.
Menurut konsep Kafa’ah yang digagas oleh Mazhab Maliki dan al-Zaidiyah, selama lelaki yang melamar anak perempuannya itu berasal dari agama yang sama maka tidak ada alasan bagi orang tua untuk menolaknya, kecuali si anak memang tidak mau menerima lelaki itu. Ini mah lain lagi.
Itulah konsep fikih yang (menurut saya) melatarbelakangi terciptanya konstruk budaya diskriminatif dalam pernikahan. Perlu diketahui, konsep-konsep yang tertuang di dalam kitab-kitab fikih tidaklah mengikat dan tidak wajib untuk kita imani seperti mengimani al-Qur’an dan hadis. Sebab, ia bukan al-Qur’an dan juga bukan hadis, ia hanya buah pikiran dan penafsiran ulama-ulama tempo dulu, yang boleh jadi sudah tidak relevan lagi untuk kita pakai dan kita terapkan saat ini.
Sebagai penutup sekaligus untuk menegaskan bahwa konsep Kafa’ah hanya konstruk budaya, bukan produk agama, berikut saya kutipkan ungkapan Syaikh Muhammad Jawwad. Kata beliau, sesungguhnya menjadikan Kafa’ah sebagai syarat dalam sebuah pernikahan tidaklah sesuai dengan al-Qur’an dan prinsip agama Islam!