Selama satu tahun lebih, kita semua semakin sadar bahwa dampak pandemi Covid-19 tidak melulu berimbas pada hal-hal besar. Covid-19 juga berimbas pada lini terdekat sekaligus terkecil kita yakni kehidupan rumah tangga. Boleh dibilang kondisi rumah tangga masyarakat kini merupakan mimpi paling buruk bagi para perempuan dan anak di Indonesia.
American Psychology Assosiate (APA) sendiri telah memprediksi melalui artikelnya “How COVID-19 may increase domestic violence and child abuse” (2020) bahwa akan terjadi peningkatan tindak kekerasan dalam rumah tangga selama pandemi, di mana perempuan dan anak menjadi pihak yang paling rentan sebagai korbannya.
Berdasarkan data Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan dalam kurun waktu 12 tahun terakhir meningkat hampir 8 kali lipat. Pada masa pandemi Covid-19 kekerasan itu semakin meningkat sebesar 63% (Puspa, 2020).
Sedangkan, hasil survei yang dirilis oleh Tim East Asia & Pacific Gender Innovation Lab Bank Dunia pada lebih dari 800 perempuan di 6 provinsi di Indonesia menampilkan bahwa 83% responden melaporkan telah terjadi kekerasan yang dilakukan oleh pasangan selama pandemi berlangsung (Halim, Can, & Perova, 2020).
Angka-angka tersebut sangat mungkin bertambah karena data tersebut hanyalah data yang berhasil terlaporkan. Masih ada indikasi banyak data yang belum sempat terlaporkan.
Di samping itu, beberapa studi mutakhir menunjukkan bahwa kondisi pandemi sekarang menjadikan perempuan memiliki beban ganda daripada kondisi normal. Selain harus bekerja dan mengurus urusan rumah tangga, perempuan juga harus mendampingi anak belajar dari rumah (Silaban, 2021).
Beratnya beban ganda perempuan selama pandemi ini, turut pula memengaruhi kesehatan mental dan emosional perempuan. Sebanyak 57% perempuan Indonesia mengungkapkan mengalami peningkatan stres dan kecemasan. Itu akibat bertambahnya beban pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan, kehilangan pekerjaan dan pendapatan, hingga mengalami kekerasan berbasis gender (kemenpppa.go.id).
Hingga saat ini, budaya masyarakat kita masih tetap menganggap bahwa semua urusan domestik rumah tangga seperti mencuci, bersih-bersih, menyiapkan makanan, sampai mengasuh anak adalah kewajiban sekaligus tugas istri saja. Sebaliknya kaum lelaki/suami dianggap tidak memiliki tugas dan kewajiban tersebut. Akibatnya berdampak pada beratnya beban tugas para perempuan/istri selama di rumah.
Hal ini terbukti dengan hasil laporan kolaborasi UN Women dengan Indosat Ooredoo pada awal-awal terjadinya pembatasan sosial, “Menilai Dampak Covid-19 terhadap Gender dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia” (2020). Bahwa meskipun semua anggota keluarga turut membantu pekerjaan rumah, tetapi tetap saja perempuan masih melakukan pekerjaan paling banyak.
Senada dengan temuan di atas hasil survei Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang dan Perbukuan Kemendikbud pada bulan April-Mei 2020 mengenai kegiatan belajar dari rumah pada siswa dan orang tua di 34 provinsi memperlihatkan sebanyak dua pertiga atau sekitar 66,7 % pendampingan anak di Indonesia lebih banyak didominasi oleh ibu ketimbang ayah (Rakhmah & Azizah, 2020).
Adanya ketimpangan yang dominan tersebut tentu mempengaruhi pola pendampingan pada anak. Para ibu/istri berada dalam kondisi yang tidak ideal (lelah dan bosan) ketika mendampingi anak belajar daring. Akhirnya membuat para ibu mudah sekali marah, tidak sabar, lalu melakukan tindakan kekerasan pada anak ketika tidak sesuai dengan ekspektasinya.
Seperti terjadi di Banten tahun lalu, seorang ibu tega melakukan tindakan kekerasan hingga putrinya yang berusia delapan tahun meninggal dunia. Ia berdalih anaknya susah untuk diajari dalam pembelajaran daring (Nazmudin, 2020).
Perlu diperhatikan pula bahwa dengan adanya bias gender dalam pola asuh di masa perkembangan akan menjadikan anak mudah membanding-bandingkan dirinya dengan saudaranya, cemburu, kurang percaya diri, gangguan emosional, sulit untuk diatur, hingga gangguan perilaku (agresif, hiperaktif) (Sofiani, Sumarni, & Mufaro’ah, 2020).
Agar beban ganda perempuan selama masa pandemi tidak sampai overload dan berpengaruh pada keharmonisan serta kebahagiaan anggota keluarga khususnya perempuan dan anak, ada baiknya para anggota keluarga terutama ayah/suami kembali memperhatikan ulang pandangan lama terkait pola asuh dan pembagian kerja domestik yang sebagian besar hanya dibebankan pada ibu, menjadi pembagian kerja yang terdistribusikan secara adil pada tiap anggota keluarga tanpa ada yang merasa paling terbebani.
Oleh sebab itu penting membangun komitmen bersama pasangan terkait pembagian waktu pendampingan anak dan pekerjaan domestik sesuai kondisi masing-masing pasangan. Lebih-lebih bagi para ayah dalam urusan mengasuh anak.
Sebagaimana temuan dari (Mcbride et al., 2009), keterlibatan ayah yang minim atau bahkan terlambat akan berdampak buruk pada pencapaian akademik seorang anak. Apalagi dengan kondisi work from home sekarang, seorang ayah jauh lebih banyak memiliki waktu serta kesempatan berinteraksi dengan anaknya, yang dalam kondisi normal belum tentu dapat ia miliki.
Tidak ada salahnya untuk memulainya sebab menurut (Cano, Perales, & Baxter, 2019) keterlibatan ayah dalam pola asuh menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan kesehatan mental ibu, partisipasi angkatan kerja ibu, dan peningkatan fungsi keluarga.
Terakhir yang tak kalah penting, harus dipastikan ketika mendampingi anak baik ayah/ibu dalam keadaan emosi dan mental yang benar-benar stabil/siap. Jangan memaksakan mendampingi anak (belajar) dalam kondisi tidak siap sebab nantinya proses pendampingan tidak akan berjalan efektif. Kita hanya akan cenderung meluapkan emosi buruk pada anak (kekerasan).
Ada baiknya saat tidak dalam kondisi yang baik, kita meminta bantuan anggota keluarga lain. Bisa kepada pasangan atau saudara yang lebih tua guna mendampingi adiknya belajar.
Terlepas dari masalah-masalah lain yang berkaitan ranah domestik. Baik ibu maupun ayah harus sadar bahwa mereka sama-sama memiliki hak dalam urusan pendidikan dan pengasuhan anak di masa perkembangannya.