Mistik kejawen sejatinya merupakan manifestasi dari agama orang-orang Jawa. Agama Jawa sendiri tak lain adalah akumulasi praktik religi masyarakat Jawa. Dalam Pandangan Clifford Geertz, agama Jawa memiliki tiga variasi; abangan, santri, dan priyayi. Terlepas dari benar tidaknya tipologi ini, jelas bahwa masyarakat Jawa memiliki sikap dan perilaku keagamaan yang beragam dan unik.
Dalam praktik religi itu, sebagian orang meyakini ada pengaruh sinkretik dengan agama lain, seperti agama Hindu, Buddha, dan Islam. Sebaliknya, ada yang meyakini secara puritan bahwa mistik kejawen adalah milik manusia Jawa yang telah ada sebelum ada pengaruh lain. Masing-masing asumsi ini memiliki alasan yang masuk akal.
Suatu hal yang sangat menarik bila ditinjau dari sudut agama adalah pandangan yang bersifat sinkretik yang mempengaruhi watak dan kebudayaan Jawa, hingga masanya ketika Islam datang, watak sinkretik inilah yang mampu menjembatani antara ajaran-ajaran Islam dan kejawen. Dari sinilah, terbentuk jenis keislaman baru yang disebut Islam kejawen dan di masa perkembangannya, orang-orang Jawa mampu mensinergikan antara nilai-nilai Islam dan budaya Jawa, baik melalui pengalaman peribadatan maupun menulisnya dalam bentuk karya dalam kepustakaan Islam kejawen.
Terlepas dari itu, sinkretisme bila ditinjau dari segi agama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya suatu agama. Yakni suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidak murninya suatu agama. Orang yang berpaham sinkretik, semua agama dipandang baik dan benar. Penganut paham sinkretisme, suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama, yang pada dasarnya berbeda atau bahkan bertentangan.
Meski berbeda, konsep sinkretik ini bila dilihat dari segi modernitas, tampaknya memiliki kemiripan dengan ide pluralisme atau pluralitas. Dengan menganggap bahwa kebenaran ada banyak, masing-masing keyakinan dan agama, boleh jadi benar. Tapi yang lebih penting dari itu, orang harus saling menghargai perbedaan dan mulai merayakan keragaman.
Sementara itu, mistik kejawen, yang juga dipahami sebagai agama Jawa, bertujuan untuk mengatur manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, maupun sesama manusia.
Hubungan dengan manusia dikenal dengan nama memayu hayuning bawana, sedangkan dengan Tuhan disebut manunggaling kawula Gusti. Hubungun ini memiliki dimensi spiritual yang dikenal dengan sebutan panembah (sembahyang). Artinya, manusia Jawa akan berbakti kepada Tuhan melalui ritual mistik kejawen.
Pada saat seorang mistikus melakukan panembah, ia akan memusatkan batinnya kepada Tuhan. Pada waktu itu, hati merasa heneng-hening yang berada pada lubuk hati yang disebut endraloka. Artinya, tempat persemayaman batara Endra, yang merupakan bagian vital manusia di rongga dada. Di situlah tempat rasa sejati, rasa ini yang dapat menerima kehadiran giriloka, tempat para dewa yang tinggi, dan loka laka yang berarti akhirat.
Pada hakikatnya, mistik kejawen adalah sebentuk keyakinan dan pemujaan terhadap nenek moyang atau leluhur. Pemujaan ini diwujudkan melalui sikap mistik dan slametan (perayaan rasa syukur). Meskipun secara lahiriah mereka memuja roh dan kekuatan lainnya, namun esensinya tetap terpusat kepada Tuhan. Ini persis sebagaimana orang Islam salat dengan menghadap bangunan Kabah, yang hakikatnya adalah menyembah Tuhan, bukan bangunan Kabah itu sendiri. Jadi, mistik kejawen yang dilandasi sikap dan perilaku mistis tetap tersentral kepada Tuhan. Tuhan dianggap sebagai sumber anugerah, sedangka roh leluhur dan kekuatan sakti lainnya hanyalah wasilah saja.
Titik sentral dari mistik kejawen, termanifestasi pada ritual-ritual slametan yang dioplos dengan adat-istiadat Jawa. Tradisi rakyat yang masih primitif dan puritan justru sering mewarnai keaslian hubungan mistik. Para penganut mistik biasanya sangat mempercayai adanya slametan sebagai tindakan visual mistik. Slametan dipandang sebagai sebuah representasi harapan yang penuh pengorbanan sebagai ikhlas lahir batin.
Sebagai agama, mistik kejawen adalah perwujudan keluruhan budi manusia kepada Tuhan. Agama dalam konteks Jawa juga dinamakan ageming aji, artinya bukan agama itu milik raja, melainkan agama Jawa adalah pedoman dan filosofi hidup. Aji berarti kesaktian, yang kokoh, yang tak tergoyahkan, dan inilah yang dijadikan dasar petunjuk. Karenanya, mistik kejawen adalah pituduh jati yang sering disebut juga pepadhang. Pepadhang berarti huda (petunjuk yang jernih). Atas dasar pepadhang itu, orang Jawa akan merasa tentram hidupnya.
Belakangan, ajaran mistik kejawen ini, mengalami proses sinkretik dengan agama Islam yang umumnya lebih banyak melalui jalan sufistik atau tasawuf. Ketika Islam datang, orang-orang Jawa tidak merasa keyakinannya sedang terancam, – sebagaimana terancamnya ketika kedatangan kolonialisme dan westernisasi – justru orang Jawa mampu dengan mudah menerima Islam melalui jalur sufisme. Dalam pandangan mereka, sufisme tidak jauh berbeda dengan keyakinan Jawa, sehingga alahkah bagusnya bila keduanya dipadukan dan menjadi keyakinan yang utuh agar lebih mudah menyelami samudera makrifat dan mangunggal bersama Tuhan.
Melalui persentuhannya dengan sufisme itulah mistik kejawen membentuk ajaran baru yang sekarang dikenal dengan sebutan sufisme Jawa, yakni perpaduan antara ajaran kebatinan Jawa dan tasawuf. Hal ini bisa terjadi karena keduanya, mistik kejawen dan sufisme, sama-sama memiliki sifat akomodatif dan inkulusif. Sehingga mampu mengakomodir keyakinan-keyakinan luar yang dianggap cocok dan sesuai dengan aspirasi spiritual mereka.
Pada titik ini, bisa diambil benang merah bahwa sikap budi luhur orang-orang Jawa, seperti sikap toleran, inklusif, dan terbuka ternyata sudah mengakar kuat sejak dahulu kala, bahkan sejak Islam belum datang. Watak kebudayaan inilah yang sekarang ini sangat mewarnai cara hidup orang-orang Jawa, baik dalam beragama, bersosial, maupun bernegara.