Setengah abad pasca pelaksanaan muktamar keempat, Semarang kembali menjadi tuan rumah perhelatan pengurus Nahdlatul ULama (NU) se-Indonesia. Tepatnya pada tanggal 5-11 Juni tahun 1979. Beda dengan ‘Hotel Arabistan’ yang belum ditemukan jejaknya, tempat pelaksanaan Muktamar ke 26 ini masih terekam.
Kegiatan dilaksanakan di Gedung Olahraga Simpang Lima, termasuk Wisma Pancasila (jika tidak keliru). Tapi, serupa dengan ‘Hotel Arabistan,’ GOR maupun Wisma Pancasila sudah tak ada lagi. Kini, ia menjadi hotel dan pusat perbelanjaan.
Muktamar NU 1979 di Semarang sudah banyak disoroti media. Selain media internal NU, setidaknya, dua media publik meliputnya: Suara Merdeka dan Majalah Tempo. Banyak cerita yang muncul dari panggung Muktamar NU ini. Salah satunya adalah tentang penegasan NU untuk kembali ke Khittah 1926. Percakapan tentang hal tersebut semakin mengeras setelah secara politik, Partai NU keluar dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) setahun sebelumnya.
Sisi lain, Muktamar Semarang juga menampilkan potret suksesi di mana KH. Idham Cholid terpilih untuk kali terakhir. Yang menarik, muktamar itu diwarnai oleh interupsi dan pertanyaan-pertanyaan kritis dari pengurus cabang kepada pimpinan di Pengurus Besar. KH. Idham dengan legawa, menerima semua masukan dan kritikan yang disampaikan kepadanya.
Di samping konten, ada potret yang hemat saya menunjukkan panorama baru pada Muktamar NU. Muktamar NU 1979 adalah perhelatan pertama yang dihadiri oleh peneliti asing, yakni Mitsuo Nakamura dari Jepang. Informasi ini saya dapatkan dari Martin van Bruinessen saat Muktamar 2015 di Jombang yang dibenarkan oleh Dr. H. Aminuddin Sanwar, yang pada tahun 1979 menjadi Panitia di Bagian Persidangan Muktamar.
Menurut van Bruinessen, sikap NU pada saat itu disebutnya sebagai langkah maju. Dikatakan demikian, karena organisasi ini lahir sebagai upaya untuk mempertahankan diri. Jadi NU terlahir untuk membentengi diri dari serbuan luar. Ketika pada perkembangannya, ia membuka diri, tentu ini langkah maju, kata peneliti NU asal Belanda itu.
Pada era sebelum KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur jadi ketua PBNU, hanya satu orang peneliti asing yang mencermati NU, yakni Ken Ward dari Australia. Jelang Muktamar 1979, Gus Dur mengundang Nakamura untuk datang ke Semarang. Di Kota Atlas inilah orang asing datang untuk kali pertama di Muktamar NU.
Nakamura sendiri lebih dikenal sebagai peneliti Muhammadiyah sebenarnya. Ia mendedikasikan dirinya lebih dari 40 tahun untuk menelaah perkembangan organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan tersebut.
Tapi, meneliti Muhammadiyah, pada gilirannya, tetap saja berarsiran dengan NU. Makanya, ia dengan sangat serius menyimak perdebatan demi perdebatan yang ada di Muktamar Semarang. Pencermatannya tentang kegiatan tersebut ia tulis di Jurnal Southeast Asean Studies, Vol. 19, No.2, September 1981 dengan tajuk “The Radical Traditionalism of the Nahdlatul Ulama in Indonesia: A Personal Account of the 26th National Congress, June 1979, Semarang.” Versi Bahasa Indonesianya termuat dalam Buku “Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara”.
Foto: Tulisan Mitsuo Nakamura tentang Muktamar 1979 di Semarang