Moderasi Beragama kerap diasumsikan dengan beragama yang berada di titik tengah di antara dua titik ekstrim. Untuk bisa moderat, kita perlu mendeteksi titik terkanan dan terkiri dengan baik sehingga bisa pula menemukan titik tengahnya dengan baik. Dulu, saya pun berpikir begitu!

Hal terpenting dalam Moderasi Beragama menurutku justru menemukan inti ajaran Islam yang mesti dijadikan poros dan acuan untuk menilai apakah cara beragama tertentu itu ekstrim atau moderat, di titik manapun, baik kanan, kiri, bahkan ketika berada di tengah antara dua titik sekalipun.

Karena yang beragama adalah manusia, maka titik pijak Moderasi beragama adalah cara pandang Islam atas kemanusiaan.

Setiap manusia punya status melekat sebagai hanya hamba Allah. Karenanya manusia dilarang keras menghamba kepada selain Allah, dan dilarang keras pula menghamba pada Allah sambil menghamba pada apa pun dan siapa pun selain Allah. Di samping itu, manusia juga punya amanah melekat sebagai Khalifah fil Ardl dengan mandat mewujudkan kemaslahatan seluasnya di muka bumi.

Nilai manusia hanya ditentukan oleh taqwa, yaitu sejauh mana mampu membuktikan komitmen hanya menghamba pada Allah (Tauhid) dengan mewujudkan kemaslahatan pada sesama makhluk Allah, atau sejauh mana mampu membuktikan imannya pada Allah sebagai satu-satunya Tuhan dengan perilaku baik (amal shaleh) pada sesama makhluk-Nya.

Taqwa dengan demikian adalah hubungan baik manusia dengan Allah yang melahirkan hubungan baik dengan sesama hamba/makhluk Allah, termasuk sesama manusia, baik laki-laki maupun perempuan.

Misi agama Islam adalah mewujudkan sistem kehidupan yang menjadi anugerah bagi semesta, termasuk bagi perempuan. Sistem kehidupan meliputi kehidupan individu, perkawinan, keluarga, masyarakat, negara, bahkan dunia. Juga meliputi sistem kehidupan, politik, ekonomi, sosial, budaya, dll termasuk kehidupan beragama.

Sistem kehidupan hanya menjadi anugerah bagi semesta jika manusia yang diberi amanah sebagai Khalifah fil Ardl berakhlak mulia. Karenanya, misi agama Islam juga adalah menyempurnakan akhlak mulia manusia, termasuk akhlak pada perempuan.

Di sinilah letak perbedaan antara sistem kehidupan Islami dan Zalim yang menjadi musuh Islam:

Pertama, sistem kehidupan yang zalim menuntut pihak yang lemah (Dluafa) dan pihak rentan/dilemahkan (Mustadl’afin) tunduk mutlak pada pihak kuat dan dominan. Dalam kisah para Rasul, mereka kerap disebut dengan al-Mala’.

Sementara dalam sistem kehidupan yang Islami, semua pihak hanya tunduk mutlak pada Allah dengan tunduk mutlak pada kebaikan bersama. Laa tha’ata limakhluqin fi ma’shiatin Khaliq. Innamath thoatu fil ma’rufi.

Kedua, dalam sistem yang zalim, power/daya/kuasa/kekuatan yang dimiliki pihak kuat menjadi alasan pihak yang memilikinya untuk memperdaya Dluafa dan Mustadl’afin.

Sementara dalam sistem kehidupan yang islami, ia dipahami sebagai amanah dari Allah untuk memberdayakan Dluafa dan Mustadl’afin.

Ketiga, sistem kehidupan yang zalim mengharuskan Dluafa dan Mustadl’afin berakhlak mulia pada pihak yang kuat dan dominan. Sedangkan pihak kuat dan dominan boleh berakhlak tercela pada Dluafa dan Mustadl’afin. Karenanya ciri sistem kehidupan yang Islami adalah pihak kuat juga berakhlak mulia pada Dluafa dan Mustadl’afin.

Keempat, sistem kehidupan yang zalim hanya menjadi anugerah bagi pihak kuat dan dominan, sedangkan bagi Dluafa dan Mustadl’afin ia adalah musibah. Karenanya, khas yang mencirikan sistem kehidupan yang Islami adalah ia menjadi anugerah juga bagi Dluafa dan Mustadl’afin.

Jadi, moderasi beragama adalah beragama dengan memegang teguh jati diri manusia sebagai hanya hamba Allah sekaligus Khalifah fil Ardl. Ia ditandai dengan sikap tidak menghamba pada apa pun dan siapa pun selain Allah yang dibuktikan dengan ikhtiyar terus menerus mewujudkan kemaslahatan bersama, termasuk kemaslahatan pihak lemah atau rentan, dan termasuk kemaslahatan perempuan.

Dengan kata lain, Moderasi Beragama adalah ikhtiyar terus menerus memegang teguh komitmen Ketuhanan Yang Maha Esa dan membuktikannya antara lain dengan tindakan yang mencerminkan kemanusiaan yang adil dan beradab, termasuk adil dan beradab pada perempuan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk adil pada perempuan.

Beragama secara ekstrim dengan demikian adalah beragama dengan cara-cara yang melahirkan kezaliman pada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun, baik oleh individu, kolektif, maupun sistemik, baik pada laki-laki dan perempuan secara bersama-sama, maupun hanya pada perempuan, baik di ruang publik maupun domestik, atas nama apapun termasuk atas nama agama atau bahkan atas nama Tuhan, baik dilakukan oleh non Muslim maupun oleh Muslim.

Beragama secara ekstrim adalah beragama dengan cara yang melahirkan kerusakan (mafsadat) secara internal yakni pada diri sendiri, keluarga sendiri, masyarakat sendiri, bangsa sendiri, atau eksternal yakni pada orang lain, keluarga lain, masyarakat lain, atau bangsa lain, bahkan makhluk lain.

Beragama secara ekstrim adalah beragama dengan cara yang mencerminkan akhlak tercela pada diri sendiri maupun orang lain, pada keluarga sendiri maupun keluarga lain, pada masyarakat sendiri maupun masyarakat lain, pada umat sendiri maupun umat lain, dan bangsa sendiri maupun bangsa lain, pada sesama manusia maupun makhluk lainnya.

Moderasi beragama ditandai dengan ikhtiyar pemanusiaan penuh pada setiap manusia atas dasar iman. Setiap manusia, laki-laki dan perempuan, adalah sama-sama hanya hamba Allah sekaligus Khalifah fil Ardl.

Sebagai sesama subjek penuh sistem kehidupan, laki-laki dan perempuan, sama-sama bertanggung jawab mewujudkan kemaslahatan sekaligus menikmatinya, dan mencegah kemungkaran sekaligus dilindungi darinya, di mana pun berada, baik di ruang domestik maupun publik.

Sebagai sesama subjek penuh, laki-laki bukanlah standar tunggal kemanusiaan perempuan. Pengalaman kemanusiaan khas perempuan yang diakui sebagai pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi tanggung jawab bersama untuk mewujudkan kemaslahatannya, meskipun laki-laki tidak mengalaminya.

Ada dua jenis pengalaman kemanusiaan khas perempuan:

Pertama, pengalaman Biologis karena sistem reproduksi yang berbeda sehingga tubuh laki-laki hanya mengeluarkan sperma dalam durasi menit bahkan detik dan berdampak nikmat. Sementara perempuan bisa alami 5 pengalaman bilogos, yaitu menstruasi (mingguan) dan berdamapak adza (menyakitkan), hamil (selama 9 bulanan), melahirkan (selama jam-jamaan/harian), nifas (selama harian/mingguan/2 bulanan), dan menyusui (selama 2 tahunan) yang berdampak kurhan (melelahkan), bahkan wahnan ala wahnin (lelah/sakit berlipat-lipat).

Pengalaman biologis khas perempuan ini sudah sakit, melelahkan, bahkan berlipat-lipat. Karenanya, tindakan manusiawi, maslahat, adil, berakhlak mulia sehingga menjadi anugerah bagi perempuan adalah tindakan yang tidak menambah sakit pengalaman biologisnya, meskipun tindakan yang sama tidak menyebabkan sakit pada laki-laki atau bahkan menyebablan kenikmatan pada mereka.

Kedua, pengalaman sosial karena sistem patriarki yang memperlakukan laki-laki sebagai subjek tunggal sedangkan perempuan objek, atau laki-laki sebagai subjek primer sedangkan perempuan subjek sekunder. Dampaknya perempuan mengalami kerentanan sosial untuk diperlakukan secara zalim hanya karena menjadi perempuan. Bentuknya antara lain adalah stigmatisasi, subordinasi, marjinalisasi, kekerasan, dan beban ganda.

Pengalaman sosial khas perempuan ini adalah kezaliman. Karenanya, tindakan manusiawi, maslahat, adil, berakhlak mulia sehingga menjadi anugerah bagi perempuan adalah tindakan yang tidak menambah mengandung satu pun kezaliman pada perempuan termasuk salah satu atau lebih kezaliman hanya karena menjadi perempuan, meskipun tindakan yang sama tidak menyebabkan sakit pada laki-laki atau bahkan menyebablan kenikmatan pada mereka.

Jadi, Moderasi Beragama adalah beragama yang ditandai dengan sikap respek atas kemanusiaan penuh perempuan sehingga laki-laki dan perempuan bekerja sama untuk mewujudkan kenyamanan perempuan dalam menjalani pengalaman biologis khasnya dan bersama-sama pula mencegah dan melindungi perempuan dari aneka bentuk kezaliman, termasuk kezaliman hanya karena menjadi perempuan.

Beragama yang ekstrim dengan demikian ditandai dengan memandang perempuan rendah sebagai objek atau lebih rendah daripada laki-laki sebagai subjek sekunder.

Beragama secara ekstrim juga ditandai dengan sikap tidak peduli pada rasa sakit perempuan saat mengalami masa reproduksinya atau bahkan menyebabkannya menjadi semakin sakit, dan tidak peduli kepedihan perempuan karena mengalami kezaliman termasuk kezaliman hanya karena menjadi perempuan, bahkan melakukan kezaliman itu sendiri, atas nama apapun termasuk atas nama penafsiran tertentu atas Islam.

Moderasi Beragama bukanlah soal berada di titik mana, melainkan beragama yang memanusiakan penuh manusia, termasuk perempuan, atas dasar iman, baik di titik ekstrim kanan, ekstrim kiri, maupun di titik tengah dalam pandangan manusia.

Leave a Response