Satu tokoh menginspirasi banyak orang dalam banyak hal. Itulah Jalaluddin Rumi. Sufi besar Islam itu meninggalkan banyak hal bermanfaat. Bukan hanya puisinya, tetapi juga pikiran-pikirannya di bidang lain, seperti ekonomi.
Penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama yang menggali ide Rumi khususnya berkaitan dengan moderasi berekonomi. Bagaimana moderasi berekonomi itu juga turut mewujudkan moderasi beragama.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif (library research) dengan sumber data menggunakan karya-karya Rumi. Bagaimana konsep ekonomi yang ditawarkan oleh Maulana Rumi adalah titik poin yang diteliti dalam penelitian ini.
Jalaluddin Rumi menampilkan wajah Islam secara universal. Keuniversalan Islam ini sebagaimana dituangkan dalam karya-karyanya dan seni pertunjukkan tari sema yang di dalamnya terdapat adegan tubuh dan kumpulan beberapa orang yang membentuk lingkaran hingga berputar berlawanan arah jarum jam.
Putaran ini sebagaimana dilakukan oleh para jamaah haji saat thawaf dan juga perputaran planet-planet di semesta alam ini. Perputaran wajah penari sema ke berbagai arah ini juga merupakan simbol pengamalan firman Allah “Dan milik Allah Timur dan Barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah” (Q.S. al-Baqarah: 115).
Karena itu, ajaran Rumi dan tarekat Maulawiyah tersebar di Timur dan juga di Barat. Namun, perkembangan ajarannya di Barat lebih menonjol aspek humanismenya saja. Dengan demikian, sedikit sekali literatur di Barat yang menjelaskan jati diri Rumi sebagai ulama Islam.
Padahal, di balik pergaulan Rumi dengan berbagai penganut agama tersebut, ada prinsip yang Rumi pegang sebagai seorang ulama. Ia dipandang sebagai pengikut Imam Asy’ari yang bersama Imam Maturidi dikenal sebagai tokoh aqidah ahlus sunnah wal jamaah.
Pengaruh Rumi di Barat yang tersebar melalui tulisan-tulisan para pengagumnya lebih banyak menonjolkan aspek humanismenya yang kurang dilengkapi sisi keislaman Rumi sebagai ulama. Namun, dari para pembaca karya-karya Rumi berikut penikmat seni tari sema ini, juga terdapat orang yang berupaya melanjutkan pendalaman terhadap ajaran Islam, agama yang dianut Rumi. Bahkan, di antara mereka ada yang menjadi Muslim.
Mereka yang semula pengagum ajaran Rumi berikut tari sema hingga menjadi Muslim salah satunya yaitu Murad Wilfried Hofmaan yang lahir pada tahun 1931 di Jerman. Ia menempuh pendidikan di Munich University Jerman dan Harvard University Amerika. Ia pernah berkarir sebagai salah seorang direktur pada NATO.
Ia juga pernah berkarir sebagai Duta Besar Jerman di Al Jazair dan Maroko. Ia juga merupakan seorang donatur IRCICA (Islamic Cooperation Research Center for Islamic History, Art, and Culture), lembaga di bawah koordinasi OKI di Istanbul Turki.
Perjalanan spiritualnya hingga memeluk Islam dan setelahnya, ia tulis secara panjang lebar dalam buku berbahasa Jerman berjudul “Tagebuch Eines Deutschen Muslim” (Catatan Harian Seorang Muslim Jerman). Buku ini diterbitkan oleh Cagri Yayinlari, di Istanbul Turki pada tahun 2007. Dalam buku tersebut juga ditulis pengalamannya berjumpa pengajaran Rumi baik sebelum maupun setelah menjadi Muslim pada 25 September 1980.
Rumi tidak hanya mengajarkan para pembaca karyanya hal yang bersifat ruhani saja. Ia juga mengajarkan pentingnya memberlakukan sistem keuangan yang adil berbasis dinar (uang emas) dan dirham (uang perak). Hal ini sebagaimana ditulisnya dalam “Matsnawi” pada tulisan berjudul “Bayazid dan Wali”.
Syair ini didahului prolog oleh Rumi yang menceritakan sufi terkenal Abu Yazid Bastami yang hidup abad ke-3 hijriah waktu berhaji ke Mekah dengan ongkos 200 dirham perak. Adapun ukuran 1 dirham adalah koin perak seberat 2,975 gram yang kini dalam rupiah bernilai Rp. 70.000. Dengan demikian, biaya perjalanan ibadah haji oleh Bayazid al-Bastami jika dirupiahkan kini bernilai sekitar Rp. 14.000.000 (empat belas juta).
Penggunaan sistem keuangan saat Rumi hidup, selain diberlakukan dirham (uang perak) juga diberlakukan dinar (uang emas) dan fulus (uang terbuat dari tembaga dan sebagainya). Hal ini sebagaimana ditulis oleh Rumi dalam “Fiihi Maa Fiihi” pada pasal 24 yang berjudul “Manusia Mengemban Tugas Tuhannya”. Di dalamnya, Rumi menganalogikan keagungan para wali sebagaimana mulianya dinar (uang emas) dan dirham (uang perak) dibandingkan dengan “fulus”.
Rumi mengigatkan pembacanya tentang sistem keuangan saat itu berbasis dinar dan dirham yang adil. Hal ini sebagaimana nilai 1 dinar (uang emas) lebih berharga dari pada 1 dirham (uang perak), dan 1 dirham lebih berharga dari pada 1 fulus (uang tembaga dan sebagainya). Dinar berlaku sebagai alat tukar untuk barang yang mahal, dirham untuk barang agak murah, dan fulus untuk barang yang murah.
Berdasarkan hal tersebut dapatlah dikatakan bahwa, saat sistem keuangan berbasis kepada dinar dan dirham, maka terjadi moderasi berekonomi. Hal ini berbeda dengan sistem uang kertas yang makin masif diberlakukan sejak abad ke-19. Pada masa- masa awal upaya penggantian uang emas dan uang perak dengan uang kertas, terdapat salah seorang tokoh yang mengkritik uang kertas.
Tokoh tersebut yaitu pujangga Jerman Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) yang juga mengapresiasi kepada ajaran Islam salah satunya melalui karya-karya Rumi salah satunya Matsnawi (Mommsen, 2001: 186), bahkan Goethe juga difatwakan wafat sebagai seorang Muslim oleh Syekh Abdal Qadir as-Sufi.
Dalam sistem uang kertas, perbedaan uang kertas yang satu dengan uang kertas lainnya bergantung kepada angka yang tercantum pada uang kertas tersebut berikut nama dan asal negaranya. Hal ini sebagaimana 1 dollar Amerika yang kini bernilai Rp. 14.000. Kedua uang ini nilai yang sekaligus daya belinya jauh berbeda, meskipun sama-sama terbuat dari kertas. Dalam konteks ini, ketidakadilan sistem uang kertas tersebut kini juga disadari oleh para pemimpin negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim.
Jalaluddin Rumi menampilkan wajah Islam secara universal. Keuniversalan Islam ini sebagaimana dituangkan pengaruh Rumi di Barat yang tersebar melalui tulisan- tulisan para pengagumnya lebih banyak menonjolkan aspek humanismenya yang kurang dilengkapi sisi keislaman Rumi sebagai ulama. Rumi tidak hanya mengajarkan para pembaca karyanya hal yang bersifat ruhani saja. Ia juga mengajarkan pentingnya memberlakukan sistem keuangan yang adil berbasis dinar (uang emas) dan dirham (uang perak). (MS)
*Tulisan ini adalah rangkuman dari diseminasi penelitian yang dilakukan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2021.