Pertama kali mengetahui makna “Bhairawa” melalui novel fenomenal karya Ayu Utami “Manjali dan Chakra Birawa”, penulis selalu merinding setiap kali membaca ulang diksi tersebut dalam beberapa literature bacaan. Dalam novelnya, Ayu Utami menarasikan cerita pertumpahan darah masa PKI dan hubunganannya dengan simbol Bhirawa yang dianggap keramat oleh masyarakat Jawa.
Novel yang dijuluki sebagai roman misteri ini menggunakan latar belakang cerita dan gaya dialog yang asyik untuk dinikmati dan memberikan banyak informasi, terutama bagi kalangan muda. Namun, penulis tidak bermaksud menceritakan isi novel Ayu Utami di sini. Meski demikian, pembahasan Ayu Utami memiliki tambahan dan bantuan informasi untuk memperbincangkan keterlibatan “Bhairawa” dalam konteks dakwah Walisongo di tanah Jawa.
Seperti pada masa Majapahit, terjadi kekacauan dalam tatanan kehidupan rakyat Majapahit karena salah satu sekte aliran Bhairawa. Rakyat Majapahit yang mayoritas beragama Hindu-Budha saat itu terdiri dari beberapa sekte, salah satunya sekte Tantrayana atau Shiwa-Bhairawa (Trantra-Bhairawa).
Secara garis besar, ajaran sekte Tantrayana ini mirip seperti ajaran Filsafat Hedonist, dimana prinsip-prinsip ajarannya adalah dengan tidak membatasi nafsu agar manusia dapat memperoleh kebahagiaan seutuhnya. Selain itu, untuk mencapai tingkat spiritual tertinggi yang abadi, sekte Trantrayana mengajarkan tradisi yang disebut sebagai mo-limo. Tradisi ini merupakan ritual yang harus dilakukan seseorang dengan melakukan lima tahapan ritual yang kemudian disebut sebagai Pancamakara.
Pancamakara yang dimaksud adalah tahapan yang meliputi mamsha (memakan daging sebanyaknya), matsya (memakan ikan sebanyaknya), madya (minum-minuman keras), maithuna (bersetubuh sepuasnya), dan mudra (benghabiskan biji-bijian; nasi, gandum, jagung dan lainnya).
Ritual yang demikian itu mendapat teguran keras oleh pihak kerajaan karena memunculkan kekacauan dalam tatanan masyarakat. Karena respon kerajaan berbeda dengan pandangan para Tantrik, maka kondisi masyarakat semakin kacau tidak terkendali.
Sekte Tantrayana dalam tradisi Siwa-Budha di Nusantara memang sudah ada lebih dulu jauh sebelum kerajaan Majapahit berkuasa. Dalam beberapa literature dan bukti Prasasti Talang Tuo Palembang tahun 684 M, sekte ini masuk ke tanah Nusantara melalui Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 M. Bahkan ketika sampai di Jawa, sekte Tantra-Bhairawa berkembang pesat, tidak saja diikuti oleh masyarakat kaum bawah melainkan juga para elite pemerintahan pada masa kejayaan Kerajaan Singhasari.
Sejauh perjalanan sejarahnya pun, sekte Tantrayana direpresentasikan dengan para pengikutnya yang sarat akan tindakan-tindakan kekerasan. Representasi dari ajaran Tatrayana juga digambarkan melalui arca Bhairawa. Arca Bhairawa merupakan perwujudan dari Raja Adityawarwan yang digambarkan dengan sosok tubuh yang berdiri tegak di atas mayat dengan tangan kiri yang memegang mangkuk berisi darah dan tangan kanannya yang menggenggam pisau belati lengkap dengan singgasananya yang tersusun dari tengkorak kepala manusia.
Melihat kekacauan akibat sekte Tantra-Bhairawa yang membelenggu Majapahit semakin memburuk, Sunan Ampel pun merespon dengan memodifikasi mo-limo menjadi moh-limo. Sunan Ampel berperan penting dalam penyebaran dakwah Islam terutama di era Majapahit.
Di sekitar Kutharaja, Sunan Ampel mulai menyebarkan gagasan penting dalam proses Islamisasi masyarakat Majapahit. Selain mendirikan pesantren, Sunan Ampel juga mengkombinasikan tradisi keagamaan lokal yang masih kental dilakukan masyarakat dengan syariat Islam, salah satunya mengislamkan ritual pancamakara atau mo-limo menjadi moh-limo.
Meski moh-limo adalah hasil kombinasi dari tradisi lokal masyarakat, namun seluruh substansi ritual dalam ajaran dalam mo-limo didekonstruksi total oleh Sunan Ampel. moh dalam bahasa Jawa berati ‘tidak akan melakukan suatu hal’, sementara limo merupakan kesamaan makna dengan lima.
Dengan begitu, moh-limo dapat diartikan dengan perilaku yang menjauhi lima hal yakni; moh-main (menjauhi keinginan untuk berjudi), moh-ngombe (menjauhi keinginan minum arak atau segala jenis yang memabukkan), moh-maling (menjauhi perilaku mencuri, merampok, dan kejahatan lainnya), moh-madat (menjauhi segala sesuatu yang menyebabkan kecanduan), moh-madon (menjauhi segala perbuatan zina atau hubungan persetubuhan dengan perempuan yang bukan isterinya).
Dalam rangka memperkuat serta mempercepat transformasi ajaran moh-limo di kalangan masyarakat Majapahit, Sunan Ampel menggunakan tradisi kenduri sebagai media dakwahnya. Tradisi-tradisi keagamaan yang telah berkembang di era Majapahit dikomodifikasikan oleh Sunan Ampel ke dalam ritual kenduri. Seperti sraddha misalnya, tradisi meruwat arwah orang yang telah dua belas tahun meninggal. Prosesi ini diuraikan dan diceritakan secara detail dalam naskah Negarakertagama.
Dengan demikian, falsafah yang diajarkan Sunan Ampel dan keberhasilan dakwah Islam di tanah Jawa tidak terlepas dari sumbangsih tradisi terdahulu yang ada di masyarakat. Sebab itulah, memandang tradisi terdahulu tidak boleh semata-mata dari sisi negatifnya saja seperti pancamakara. Karena tradisi terdahulu lah (pancamakara) muncul moh-limo ajaran Sunan Ampel sebagai counter atas praktik mo-limo yang membuat kekacauan dalam kehidupan masyarakat di era Majapahit saat itu.