Pada masa 1920-an, jumlah perempuan sebagai murid di pelbagai sekolah terus bertambah. Sejarah “madjoe” memang bergerak sejak awal abad XX. Kaum perempuan memiliki hak maju dalam ilmu dan berperan di kerja-kerja politik, pendidikan, sosial, seni, dan kultural. Sekolah menjadi institusi penting dalam membentuk identitas, meraih ilmu, dan menata bekal di pembuatan masa depan. Keinsafan kaum bumiputra bermunculan bahwa pendidikan tak cuma hak bagi lelaki. Episode debat dan berat memang dialami awal abad XX meski perlahan menimbulkan lakon besar di tanah jajahan.

Pada masa 1920-an, sekian sarekat, organisasi, dan partai politik berdiri di alur beragam ideologi. Seruan “kemadjoean” dan kebangsaan memberi peran bagi kaum perempuan. Mereka memiliki predikat-predikat baru selama dan setelah menempuh pendidikan di sekolah. Pada 1920-an, peran mereka menguat dalam Sumpah Pemuda dan Kongres Perempuan I.

Kita mengingat daftar nama perempuan terpelajar masa lalu turut menggerakkan sejarah: Amini Gani Soeriokoesoemo, Maria Ulfah Soebadio, SK Trimurti, Sujatin Kartowijono, Suwarni Saljo, dan lain-lain. Mereka terdidik di sekolah dan sadar peran selama turut di organisasi. Mereka pun memiliki profesi-profesi baru di ancangan setara dengan kaum lelaki.

Sujatin Kartowijono bergabung dengan Jong Java saat masih murid atau remaja. Pada 1926, itu turut dalam Kongres Pemuda I. Ia menggerakkan organisasi Wanito Utomo. SK Trimurti pun tampil sebagai penggerak bangsa. Semula, ia berprofesi guru, berlanjut menempuhi jalan politik dan pers. Maria Ulfah Soebadio berhasil melanjutkan studi ke Belanda. Pada masa 1920-an, ia masih remaja, mengikuti perkembangan politik dan pendidikan. Ia memuji seruan emansipasi disampaikan Bahder Djohan pada 1926. Pesona pendidikan modern mengantar Maria Ulfah Soebadio belajar hukum di Belanda.

Mereka lahir dan besar di Jawa dalam asuhan mencampur adat, agama, dan suasana kemodernan. Kita ingin menilik kaum perempuan belajar di sekolah dan dampak. Pada 1922, terbit buku memoar tipis berjudul Darmasanjata garapan R Nganten Kartasiswaja. Buku diterbitkan Bale Poestaka dalam bahasa Jawa. Pengisahan dari pengalaman masa bocah sampai berkeluarga.

Ia masuk sekolah di Puwrorejo awal abad XX. Kartasiswaja menulis: “Kala samanten kantja koela lare estri wonten gangsal, oegi sami kantja koela dolan sadaja.” Di sekolah, ia memiliki teman putri ada lima. Teman belajar di sekolah dan bermain di kampung. Pengamatan sudah berlangsung berkaitan keilmuan dan pergaulan. Lima murid perempuna bergaul dengan puluhan murid lelaki.

Pada saat mau selesai sekolah, terdengar ucapan orangtua: “Ingatase botjah wadon sekolah ikoe, djandji wis bisa matja lan noelis rak ja wos tjoekoep, saiki perloe sinaoe ngadji lan sinaoe prakara agama.” Bocah perempuan dicukupkan bisa membaca-menulis. Orangtua kadang menuntut anak itu melanjutkan belajar agama, persiapan menjelang menikah. Keterampilan membatik pun diajarkan. Segala peristiwa rumahan tak lupa dituntut menjadi amalan rutin. Kedirian perempuan modern terbentuk melalui sekolah tapi masih memiliki ikatan-ikatan agama dan tradisi. Perempuan di jalan ganda. Kemodernan diterima dengan sekian catatan dan sangkalan demi tak menghilangkan keimanan dan adat.

Pada masa berbeda, ia menikah dengan segala bekal sudah dimiliki. Suami bekerja sebagai guru. Kehidupan keluarga itu dijalani secara sederhana. Kartasiswaja tersadarkan bahwa pendidikan di sekolah, mengaji agama, dan pelajaran-pelajaran “rumahan” berfaedah di keluarga. Kemampuan membaca-menulis atau “terpelajar” memungkinkan ia turut dalam perkumpulan atau organisasi.

Kita simak faedah turut perkumpulan: “ngertos tjara-tjaraning pakempalan, manoeh doemateng tjaraning kaprijantoenan, ngloewesaken tenaga, ngaloesken basa, soemerep tata traping pangangge ingkang sae, katah tepanganipoen para prijantoen, saged mindak kawroehipoen, tatag manahipoen.” Ia belajar bahasa, busana, pergaulan, keilmuan selama di perkumpulan.

Pada masa 1920-an, jumlah kaum perempuan berorganisasi terus bertambah dan ambil peran besar di lakon pendidikan, politik, kesehatan, sosial-kultural. Mereka menjadi guru, pengarang, pengusaha, seniman, wartawan, dan lain-lain. Kartasiswaja beruntung telah disekolahkan dan memiliki kemampuan membaca buku-buku atau surat kabar: mengimbuhi ilmu dalam perkembangan menjadi dewasa dan istri.

Sekolah berdampak pada kemauan berpikir, kertebukaan dan kesadaran atas pelbagai perubahan zaman, dan keberanian bersikap dalam pelbagai hal. Ia semakin beruntung bersuamikan guru. Suasana “pendidikan” terasa di rumah, terbawa pula saat turut dalam perkumpulan-perkumpulan.

Memoar itu tak lagi terbaca di masa sekarang sebagi sumber pengisahan perempuan awal abad XX. Kita cenderung mengenali para tokoh dalam peristiwa-peristiwa besar atau organisasi besar. Kecenderungan itu berlaku bila kita membaca buku berjudul Sumbangsihku Bagi Pertiwi (1981) susunan Lasmidjah Hardi, memuat kenangan atau memoar para tokoh perempuan Indonesia, dari masa ke masa.

Tulisan di buku mengisahkan kaum perempuan terpelajar, berani berorganisasi sosial-politik, sanggup memiliki profesi modern, dan membarakan ide-imajinasi Indonesia. Lasmidjah Hardi menjelaskan:

“Dengan menuliskan pengalaman mereka dengan pelbagai latar belakang dan memberikan gambaran senyatanya atau apa adanya, besarlah harapan kami agar setidak-tidaknya semua ini dapat menambah bahan pemikiran dan pengetahuan mengenai makna sejarah.”

Pokok terpenting dalam memoar atau biografi mereka adalah pemenuhan hak untuk sekolah dan menentukan jalan penghidupan dengan segala risiko. Begitu.

Leave a Response