Mranggen, sebuah kota kecamatan di wilayah administrasi Kabupaten Demak yang berbatasan dengan Semarang timur, merupakan pusat penyebaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Jawa. Desa pertama yang menjadi pusat penyebaran adalah Brumbung, lalu diikuti Menur, dan Suburan.
Secara geografis, tiga desa itu berhimpitan, dan lokasi antarsatu pusat tarekat dengan pusat tarekat lainnya tidak berjauhan.
Orang pertama yang diketahui mengajarkan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke Mranggen adalah Kiai Ibrahim Yahya Brumbung yang lahir tahun 1839. Beliau merupakan putra Raden Thohir bin Yudo Negoro alias Raden Syahid bin Raden Surohadi Menggolo alias Sayid Muhammad yang makamnya tepat di belakang Masjid Terboyo Semarang.
Kiai Ibrahim Brumbung baiat tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah pada Syekh Abdul Karim Banten, ada pula yang menyebutnya langsung pada Syekh Ahmad Khatib Sambas (Dalam risalah “Sulal al-Iqyan”, Kiai Muslih menyebutkan sanad tarekat Kiai Ibrahim langsung pada Syekh Khatib).
Menurut catatan “Manaqib Syekh Ibrohim” (2017: 9) beliau mulai menerima santri dan mengajarkan tarekat pada sekitar tahun 1876. Beliau, dengan demikian, satu kurun dengan Kiai Muhammad Hadi Girikusumo.
Nama yang disebut belakangan adalah mursyid tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang diangkat menjadi khalifah oleh Syekh Sulaiman Zuhdi pada 1878 (Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis, 1995: 162).
Kiai Ibrahim Brumbung memiliki beberapa khalifah, dua di antaranya adalah Kiai Abdurrahman Menur dan Kiai Abdurrahman Qashidil Haq Suburan. Cerita mengenai proses pemilihan khalifah Kiai Ibrahim Brumbung sangat populer di Mranggen, setidaknya di kalangan para santri dan pengamal tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Dikisahkan suatu malam Kiai Ibrahim Brumbung mengumpulkan sembilan santri yang akan diangkatnya menjadi khalifah. Beliau meminta sembilan santri tersebut untuk berzikir dan tidak boleh berhenti sampai Kiai Ibrahim datang.
Saat mereka tengah berzikir, tiba-tiba datang ular besar yang konon sebesar batang pohon kelapa sehingga beberapa santri ketakutan dan lari. Hanya dua orang yang lulus ujian tersebut, yaitu Abdurrohmain (dua Abdurrahman), Kiai Abdurrahman Menur dan Kiai Abdurrahman Suburan.
Dari dua khalifah Kiai Ibrahim Brumbung inilah tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah menyebar makin luas. Kiai Abdurrahman Suburan Mranggen memiliki beberapa putra yang kemudian menjadi mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sangat masyhur, yaitu Kiai Muslih dan Kiai Ahmad Muthohar.
Di era Kiai Muslih, pengaruh tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah makin meluas sampai Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 1970-an, menurut Martin van Bruinessen, Pesantren Futuhiyyah Mranggen asuhan Kiai Muslih menjadi salah satu pusat penyebaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di pulau Jawa.
Selain Mranggen ada Rejoso Jombang dengan Kiai Mustain Romly, Suryalaya dengan Abah Anom, dan Pagentongan Bogor dengan Kiai Thohir Falak. Mranggen dan Pagentongan mewakili jalur Syekh Abdul Karim Banten, Rejoso mewakili jalur Kiai Ahmad Hasbullah dari Madura, dan Suryalaya jalur Kiai Tolhah Cirebon (Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, 2012: 267).
Kiai Muslih sendiri mendapat ijazah kemursyidan dari Kiai Abdul Latif Banten, seorang khalifah dari Kiai Asnawi Caringin. Nama yang terakhir tidak lain merupakan khalifah Syekh Abdul Karim Banten. Juga kepada Kiai Abdurrahman Menur. Dengan demikian Kiai Muslih memiliki dua sanad keguruan, yakni dari Kiai Abdul Latif Banten dan Kiai Abdurrahman Menur.
Beliau memiliki khalifah yang tersebar di berbagai daerah. Beberapa di antaranya adalah Kiai Adlan Aly Jombang, Kiai Ahmad Muthohar, Kiai Makki Ma’shum Mojo Agung, dan Kiai Zamroji Kencong Kediri. Oleh karena banyak kiai yang baiat pada Kiai Muslih, beliau kemudian dijuluki “Syaikhul Mursyidin” (gurunya para mursyid).
Hingga kini geliat tarekat di Mranggen masih tinggi. Di Futuhiyyah sendiri, di era kemursyidan Allah yarham Kiai Hanif Muslih (w. 2020), setiap Rabiul Akhir digelar Tawajuhan Akbar. Sekitar 15 ribu orang yang terdiri dari para khalifah dan santri tarekat Mranggen dari berbagai daerah di Indonesia hadir.
Kiai Ibrahim Brumbung dimakamkan di pemakaman umum Desa Brumbung, tepat di belakang Pesantren Futuhiyyah. Kiai Abdurrahman Menur dimakamkan di Desa Menur, sebelah Barat Daya Mranggen, sekitar 3 km dari pusat kota Mranggen.
Sedangkan Kiai Abdurrahman dimakamkan di Kompleks Pemakaman Keluarga Pesantren Futuhiyyah di Suburan Tengah Mranggen. Bersama dengan putranya yang juga pernah duduk sebagai Rois Aam JATMAN (Kiai Ahmad Muthohar), KH. Luthfi Hakim Muslih, KH. Hanif Muslih, dan lainnya.
Adapun Kiai Muslih dimakamkan di pemakaman Jannatul Ma’la Makkah.
Sampai hari ini, makam Kiai Ibrahim Brumbung, Kiai Abdurrahman Menur, dan Kiai Abdurrahman Suburan masih ramai. Terutama setiap Jumat, ribuan santri yang ada di Mranggen secara bergiliran menziarahi makam-makam tersebut. Wallahu a’lam bis shawab.