Nalar dialektika-dikotomis adalah suatu sudut pandang terhadap dunia yang memahaminya secara Manikean, dengan melihat segala sesuatu dari dua kutub yang saling berlawanan, yakni hitam-putih, benar-salah, baik-buruk dan semacamnya.
Paradigma semacam ini sangat mewarnai nalar berpikir kelompok fundamentalis yang berbijak hanya pada teks (nash) dan menganggap sumber-sumber yang lain tidak mampu untuk sampai pada kebenaran. Suatu kebenaran, kata mereka, hanya ada pada teks kitab suci dan akal hanya dapat menerimanya tanpa ada sanggahan atau analisis kritis. Sehingga kebenaran adalah tunggal, tetap dan bersifat mutlak.
Karena hanya berpijak pada teks agama, kelompok fundamentalis lalu menjadikan ayat-ayat suci sebagai satu-satunya pondasi kebenaran dan sumber pembenar, sementara yang lain salah. Sebagai contoh, mereka sering mengutip Surat al-Maidah (Alquran: 44), bahwa Allah memberitahukan kepada siapa saja yang tidak menggunakan hukum Allah akan dikategorikan kafir, fasik, dan zalim. Kafir artinya tidak mau menerima kebenaran, fasik artinya orang yang mungkar, sedangkan zalim artinya perbuatan yang tanpa norma.
Sebenarnya ada berbagai tafsir dan versi kontekstualisasi ayat ini, tetapi kelompok fundamentalis sering mengklaim ayat ini sebagai kedaulatan gerakan, sehingga karenanya menjadi kontraproduktif di tengah-tengah masyarakat modern yang sudah bosan dengan perang dan kekacauan warisan masa lampau.
Bagi kelompok fundamentalis, juga umumnya pemeluk Islam, sesuatu yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan syariat Allah adalah salah. Pendapat demikian adalah benar sekali, tetapi kemudian menjadi tidak benar jika diartikan harus menolak demokrasi.
Dalam konteks ini, mereka terpukau dan bercita-cita akan memperjuangkan khilafah dengan merujuk pada apa yang telah dilakukan pada era Nabi dan sahabatnya. Imajinasi mereka tentang negara Islam, sebagaimana digambarkan oleh An-Nabhani, pendidi Hizbut Tahrir, bahwa pemimpin negara Islam adalah seorang khilafah yang menerapkan syariat Islam.
Di masa kontemporer sekarang ini, gerakan fundamentalisme Islam mendapat bangunan kerangka teoritis yang makin lengkap pada pemikiran Abul A’la Maududi dari Pakistan dan Sayyid Qutb dari Mesir. Al-Maududi berusaha menyalurkan gagasannya melalui majalah Tarjuman al-Qur’an dan partai politik Jama’ah Islamiyah. Partai yang didirikan ini menampilkan pemikiran dan tindakan kekerasan lantaran pengaruh pemikiran al-Maududi sehingga sering dikategorikan ke dalam organisasi Islam fundamentalis.
Ada beberapa pemikiran al-Maududi yang merefleksikan nalar dialektika-dikotomis yang bisa dijadikan ilustrasi, yakni metode berpikir yang menolak jalan ketiga dari dua kutub yang saling berlawanan. Al-Maududi menyatakan bahwa Islam itu mutlak benar dan tidak akan berubah menjadi salah.
Sebaliknya, jahiliah mutlak salah dan tidak akan berubah menjadi benar.
Pemerintahan Tuhan, adalah mutlak benar, dan sebaliknya, pemerintahan manusia mutlak salah. Jahiliah modern adalah lebih jahiliah daripada jahiliah pra-Islam yang kemudian dia sebuat sebagai thaghut. Keimanan dan jihad juga saling memiliki hubungan. Seseorang yang tidak menolong agama Islam dan tidak berjihad fi sabilillah, maka keimanan dan keislamannya perlu diragukan.
Demikian juga Sayyid Qutb yang berpikir secara dikotomis. Dia memandang bahwa ada dua metode berpikir yang saling berhadapan, yakni metode qur’ani (tekstual) dan metode jahiliah. Metode qur’ani mendasarkan pada dua kalimat syahadat, sedangkan metode jahiliah hanya mendasarkan pada pola pikir manusia yang disebut thaghut.
Menurut Qutb, Islam hanya mengenal dua jenis masyarakat, yakni masyarakat Islami dan masyarakat jahiliah. Masyarakat Islami telah menerapkan ajaran Islam, yakni akidah, ibadah, syariat, aturan-aturan, dan akhlak. Sebaliknya, masyarakat jahiliah merupakan masyarakat yang tidak menerapkan ajaran Islam.
Sayyid Qutb memproklamasikan gerakan revolusioner melalui Jihad fi sabilillah. Sebab, Islam membuat akidah dan deklarasi pembebasan manusia dari penghambaan pada manusia sambil mengajak mereka kembali ke menghamba kepada Allah.
Nalar qur’ani Sayyid Qutb jelas sangat bersifat tekstualis, artinya ia mengembangkan jenis nalar bayani secara ketat dan menolak jenis nalar yang lainnya sebagai sumber kebenaran. Nalar tekstual ini mengacu pada ayat-ayat yang bersifat perintah dari Allah untuk menerapkan hukum-hukum Tuhan di bumi. Sehingga gaya berpikir semacam ini tidak bisa lepas dari paradigma dialektika-dikotomis yang meletakkan segala sesuatunya secara berhadap-hadapan.
Islam yang terkandung dalam metode qur’ani tadi, menurut Qutb, merupakan metode Ilahi yang diturunkan untuk kepentingan manusia dalam mengarungi hidup di muka bumi. Sebagai metode Ilahi, Islam adalah sebuah agama yang mempunyai kebenaran yang bersifat mendasar, baik dilihat dari sisi wataknya, identitasnya maupun metode penerapannya dalam kehidupan manusia.
Sementara itu, al-Maududi memandang, kekuatan besar Barat sedang bersatu padu untuk menghancurkan Islam. Kaum muslim, harus bersatu untuk melawan sekularisme, jika mereka ingin agama dan budaya mereka bertahan. Maududi menantang seluruh etos sekuler, dia mengusulkan teologi pembebasan Islam. Karena Allah yang berdaulat, tidak seorang pun wajib menerima perintah dari setiap manusia lainnya.
Begitu juga dengan Sayyid Qutb, akibat menggunakan nalar dikotomis itu, ia justru melangkah lebih jauh daripada Maududi, yang hanya melihat masyarakat non-muslim sebagai jahili. Qutb menerapkan istilah jahiliah, yang dalam historiografi Islam konvensional hanya digunakan untuk menggambarkan periode pra-Islam di Arabia, kepada masyarakat muslim kontemporer.
Meskipun penguasa sepeti al-Nasser di Mesir secara terbuka mengakui Islam, kata-kata dan tindakannya menunjukkan dia sebagai seorang pemurtad dan kaum muslim terikat kewajiban untuk menggulingkan pemerintahan yang seperti itu, persis seperti Muhammad telah memaksa pemerintahan pagan Makah untuk tunduk.
Menurut Aksin Wijaya (2018), Qutb menyerukan agar umat Islam kembali pada Islam autentik sebagaimana diajarkan oleh ulama salaf shalih dengan merujuk pada sumber aslinya, Alquran dan hadis. Melalui kedua sumber ini, Qutb lalu memandang orang-orang yang tidak mengikuti ajaran Islam autentik disebut jahiliah. Kebenaran itu tunggal, dan tidak berbilang. Kebenaran itu hanya ada pada Islam. Jahiliah, sebagai lawan dari Islam, adalah kesesatan. Keduanya tidak bisa dicampuradukkan. Kalau tidak Islam, pasti jahiliah, tidak ada jalan ketiga, keempat, dan seterusnya.
Jika dikaji secara teliti, antara al-Maududi dan Sayyid Qutb sama-sama menerapkan paradigma berpikir dialektika-dikotomis dan menutup diri pada kemungkinan kebenaran yang lain dalam segala hal. Mereka menolak fakta bahwa banyak hal dapat mengalami perubahan. Sehingga mereka memahami Islam sebagai mutlak benar dan tidak akan berubah menjadi salah, dan sebaliknya, jahiliah mutlak salah dan tidak akan berubah menjadi benar.
Hukum Allah (al-Hakimiyyah al-Ilahiyyah) adalah mutlak benar, dan hukum manusia (al-Hakimiyyah al-Basyariyyah) mutlak salah, serta jahiliah modern lebih jahiliah daripada jahiliah pra-Islam atau disebut thaghut.
Dalam pandangan al-Jabiri (1991), karakteristik nalar berpikir bayani yang terlalu memusatkan pada otoritas teks, sebagaimana kaum fundamentalis, memang cenderung mengabaikan pertimbangan epistemologi lain dalam memproduksi pengetahuan. Sehingga mereka menolak hal-hal yang datang dari luar, menolak kebenaran lain dan menolak hampir seluruh inovasi pemikiran manusia.
Dengan kata lain, gaya berpikir semacam ini memiliki konsekuensi pada cara berpikir yang dialektis-dikotomis, yakni apapun yang berasal dari teks (nash) selalu benar, sementara yang berasal dari luar teks selalu salah.
Salah satu karakteristik penting dari nalar dialektika-dikotomis yang ada dalam pemikiran fundamentalisme Islam adalah mereka sama sekali menolak realitas perubahan dan perkembangan zaman dengan segala konsekuensinya. Ia bahkan menjadi sangat subordinat dari teks.
Sesuatu yang baru, menurut mereka, tidak memiliki arti apa-apa dihadapan sesuatu yang lama (Alquran dan hadis), atau paling tidak sesuatu yang baru harus tunduk pada sesuatu yang lama. Akhirnya, mereka terjabak pada pemutlak-mutlakkan kebenaran, yakni yang benar selalu mutlak benar dan yang salah juga mutlak salah. Tidak ada sesuatu yang relatif dan berubah di antara keduanya, oleh karenanya tidak ada yang perlu untuk dipikirkan kembali.