Nalar politik-teosentris dimaksudkan untuk menjelaskan suatu kecenderungan pemikiran dalam fundamentalisme Islam yang menginginkan hukum-hukum Tuhan diterapkan secara komprehensif di muka bumi ini, yang kemudian diwujudkan dalam bangunan negara Islam.

Dalam bentuknya yang lebih teoritis, gerakan politik fundamentalisme Islam adalah sebuah gerakan yang melakukan pencarian terhadap tatanan politik Ilahi. Fundamentalisme dalam pengertian ini, bukanlah menyangkut masalah kekerasan, tetapi tentang tatanan politik keagamaan.

Politik dalam Islam sering memunculkan dua kutub pandangan yang bersifat ekstrem. Pertama, kelompok yang berpendirian bahwa politik merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Kedua, kelompok yang berpandangan bahwa politik bukan bagian dari ajaran Islam.

Pandangan kelompok pertama melahirkan gagasan Islam Din al-Daulah, sementara kelompok yang kedua melahirkan negara sekuler. Walau demikian, ada juga pandangan lain yang berusaha mengkompromikan kedua pandangan tersebut. Dari kedua pandangan ini muncul pandangan moderat, dengan mencari jalan tengah, yakni negara dapat saja mengadopsi nilai-nilai ajaran Islam dan tidak mesti mendirikan negara agama.

Jika merujuk pada konteks politik Islam yang terbagi dalam dua kutub pandangan ini, maka tampaknya gerakan politik fundamentalisme Islam masuk pada kategori pertama, yakni kelompok yang memiliki pendirian bahwa politik merupakan bagian integral dari Islam. Selanjutnya mereka menginginkan terwujudnya suatu pemerintahan yang menerapkan hukum-hukum Tuhan. Sehingga Tuhan dalam arti transenden, mencoba dihadirkan di dataran bumi agar seluruh nilai-nilai dan sistem kehidupan sesuai dengan kehendak-Nya.

Lagi-lagi mereka menggunakan nalar tekstual (nash) untuk menguatkan aspirasi politik-teosentrisnya seperti merujuk pada surah al-Maidah Alquran: 44) tentang perintah untuk menerapkan hukum Allah, baik dalam konteks sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan politik. Umat Islam yang tidak menerapkannya, akan dikategorikan sebagai orang kafir, fasik dan zalim.

Fundamentalisme Islam pada prinsipnya bicara tentang Tuhan melalui bahasa agama, tetapi pemikirannya berkisar pada seputar persoalan kekuasaan politik dan pemerintahan. Kerangka dari politis-teosentris merupakan ciri-ciri dasar dari gerakan ini hampir di semua tingkatannya.

Politik Islam dalam pengertian ini pun tidak mengacu secara historis pada legitimasi politik keagamaan sebagaimana terjadi dalam kekuasaan Dinasti Bani Umayyah dan Bani Abasiyyah di era klasik. Teologi politik fundamentalisme Islam adalah suatu hal baru dalam domain ini.

Jika fundamentalisme adalah agenda politik untuk memperbarui dunia, maka tidak tepat jika melihatnya juga sebagai bentuk kebangkitan agama. Fenomena fundamentalis yang dikenal dengan “kembalinya yang suci”, sebagian besar mengambil bentuk politik. Politisasi agama ini akarnya harus dicari dalam krisis yang dilahirkan oleh pertemuannya dengan modernitas.

Dalam konteks nalar politis-teosentris, kemunculan kembali Islam dalam format fundamentalisme bukanlah kemunculan kembali iman yang murni, melainkan kemunculan kembali yang suci dengan klaim politik.

Gagasan “kembalinya yang suci” bertumpu pada tiga argumentasi jika diterapkan pada Islam, adalah sebagai berikut:

Pertama, agama Islam itu diperuntukkan bagi umat Islam secara keseluruhan dan sekaligus formula politik untuk suatu tatanan negara, ia bukan hanya sistem ibadah. Mereka menganggap bahwa kesatuan antara negara dan agama merupakan ciri Islam.

Mereka menyadari bahwa Alquran dan Sunnah tidak memiliki sistem yang komprehensif dalam menata suatu negara Islam, tetapi perintah-perintah yang terkandung dalam teks suci itu, khususnya terkait dengan penerapan hukum Tuhan di bumi, bersifat mutlak. Sehingga tidak ada alasan untuk menggunakan sistem dan ideologi lain yang dapat diterapkan dalam suatu pemerintahan.

Kedua, ajaran Islam harus menjadi suatu sistem hidup yang total dalam segala hal. Bukan hanya nilai-nilanya saja yang diterapkan sebagai pandangan hidup, tetapi juga harus berupa sistem yang konkrit berbentuk negara Islam, yang dapat menjadi kekuatan tunggal kekuasaan Islam.

Ketiga, Islam dalam pengertian fundamentalis, harus benar-benar menghadirkan tatanan Ilahi dan menolak seluruh kedaulatan rakyat, juga tidak ada kompromi untuk ide pluralisme dan demokrasi yang mengakui suatu tempat bagi liyan politik. Fundamentalisme Islam berpikir dalam kode dikotomis ikhwal mukmin sejati dan orang kafir.

Sayyid Qutb, yang merupakan aktor fundamentalis asal Mesir, menegaskan nalar politis-teosentris ini dengan sebutan tatanan Ilahi atau Hakimiyah illa Allah (pemerintahan Allah) yang harus diterapkan ke seluruh Dar al-Islam. Tatanan Ilahi ini kemudian akan menciptakan revolusi Islam yang dirancang untuk mengarahkan ke perdamaian dunia di bawah syarat-syarat siyadat Islam (supremasi Islam) atas seluruh dunia. Inilah kewajiban agama untuk mengejar jihad sebagai “revolusi dunia Islam” dalam rangka mengatasi masyarakat jahiliah, yang identik dengan kafir.

Pandangan dunia yang dikotomis dari fundamentalisme Islam tidak hanya memerlukan perjuangan melawan penindasan Barat, di atas semuanya, mereka memperbarui dunia dalam rangka mengejar tatanan politik yang dititahkan Ilahi. Ide-ide dari Sayyid Qutb secara eksplisit juga menganjurkan perang pemikiran antara konsep tatanan sekuler dan agama sehingga pandangan dikotomis Islam politik itulah yang sesunggguhnya menjadi inti gagasan mereka.

Mengingat beragam fundamentalisme Islam ini menglaim universalitas atas ide-ide politiknya, maka ini menempatkan peradaban Islam seakan-akan terlibat konfik global dengan seluruh umat manusia. Jadi, nalar politis-teosentris dari fundamentalisme Islam ini ingin mengubah hukum-hukum manusia (al-Hakimiyyah al-Basyariyyah) yang ada sekarang ini ke dalam hukum-hukum Tuhan (al-Hakimiyyah al-Ilahiyyah).

Menurut kelompok fundamentalis, tujuan utama pendirian pemerintahan Tuhan adalah menciptakan sistem keadilan sosial masyarakat sesuai dengan kitab suci Islam, dan tujuan itu hanya bisa dicapai melalui kekuatan politik. Jadi, tidak sekadar mencegah permusuhan di antara sesama umat Islam, pemerintahan Tuhan juga mereka anggap dapat memelihara kebebasan manusia sesuai dengan ajaran kitab suci sebagai sumber legislasi Tuhan.

Qutb menegaskan bahwa fungsi didirikannya pemerintahan Tuhan adalah agar kita bisa menerapkan hukum Ilahi dan menyingkirkan hukum manusia, baik melalui dakwah maupun jihad. Kedua langkah ini saling berhubungan. Manusia yang beradab, mendambakan dakwah Islam yang memproklamasikan perdamaian dan pembebasan manusia di seluruh penjuru dunia dari belenggu kekuasaan manusia itu sendiri sembari mengembalikannya pada kekuasaan Ilahi.

Jadi, menurut kelompok fundamentalis, kedamaian hanya benar-benar akan terwujud ketika hukum Ilahi sudah diterapkan. Kedamaian yang tidak dilakukan atas dasar hukum Ilahi, maka ia secara tidak langsung telah melakukan penghambaan terhadap manusia lainnya. Karena ia sudah dikuasai oleh sistem pemerintahan manusia, dipimpin oleh manusia dan menghamba pada manusia. Kedamaian yang sesungguhnya haruslah dengan hukum Ilahi, karena ia akan dapat membebaskan manusia seutuhnya.

Leave a Response