Prokreasi selama ini cenderung menjadi dogma untuk menciptakan manusia-manusia baru di dunia. Sedangkan pada masyarakat Islam konservatif, prokreasi berarti memperbanyak keturunan sebagai cara memperabanyak umat Islam sekaligus sebagai wahana dakwah.

Atas dogma tersebut, kalangan Islam konservatif melakukannya melalui institusi perkawinan. Bahkan rasionalitas numerik digunakan dalam tujuan perkawinan, yaitu semakin banyak istri maka semakin banyak keturunan yang dihasilkan. Itulah pandangan yang mereka gunakan untuk memunculkan manusia baru yang berguna untuk agama yang sebetulnya semakin mempersempit ruang hidup di bumi.

Berdasarkan data US Cencus Bureau pada tahun 2018 jumlah penduduk di bumi mencapai 7,53 miliar. Sedangkan untuk jejak ekologi menurut Global Footprint, di Kenya setiap orang hanya memiliki jejak ekologi 1 hektar dan prediksi pada tahun 2050 jumlah penduduk di bumi mencapai 9,7 miliar. Dari data tersebut dengan jelas menggambarkan sempitnya ruang bagi setiap orang di bumi dan segera diperlukan jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan jumlah manusia di bumi.

Sebenarnya cara berfikir antroposentris (menganggap manusia sebagai pusat kehidupan) menyelimuti kalangan Islam konservatif dan tentunya mengancam ekologi, karena semakin menyempitnya ruang hidup yang diakibatkan dari pernikahan yang tujuannya untuk memperbanyak keturunan.

Oleh karena itu, masyarakat di masa depan akan lebih mengedepankan ego karena sibuk berebut ruang hidup. Sehingga objek lain yang dianggap mengganggu ruang hidup manusia harus disingkirkan. Seperti penebangan pohon, reklamasi dan pembakaran hutan merupakan beberapa cara yang digunakan untuk mendirikan tempat tinggal dengan legitimasi demi kehidupan manusia.

Dengan semakin banyaknya manusia di bumi bukan saja mempersempit ruang hidup, tapi juga membutuhkan pasokan pangan yang semakin banyak dengan ruang untuk tumbuhan yang semakin menyempit. Dapat dipastikan bahwa cara pandang terhadap prokreasi seperti itu membuat ketidakseimbangan kehidupan yang menempatkan manusia berada pada puncak rantai makanan.

Perlu kiranya manusia juga memahami dirinya sebagai makhluk yang berbahaya dan memahami bahwa di dunia ini organisme yang hidup bukanlah manusia saja, melainkan ada entitas lain, seperti hewan, tumbuhan, pasir, tanah, air, udara, dan lain sebagainya yang mana semua elemen itu saling mempengaruhi untuk menyeimbangkan kehidupan di bumi.

Akar masalahnya juga terletak pada kebebasan manusia menginterpretasi apapun, semuanya dianggap objek yang perlu dimaknai, bahkan tuhan pun juga diinterpretasi oleh manusia. Contoh fatalnya manusia dalam menginterpretasi kehidupan ini adalah menganggap seluruh yang ada di bumi disediakan untuk menghidupi manusia.

Seperti yang disebutkan di atas, “kehidupan manusia” seakan menjadi legitimasi yang kuat untuk mengeruk seluruh isi perut bumi dan meratakan semua yang ada di atas bumi. Padahal manusia adalah bagian dari lingkungan itu sendiri, sangat disayangkan hanya dengan memiliki keunggulan akal daripada entitas lain menjadikannya bebas berbuat merusak.

Lantas bagaimana cara pandang prokreasi yang ramah terhadap ekologi? Melarang setiap orang untuk punya anak atau memaksa setiap orang hanya boleh memiliki satu anak bisa masuk dalam pelanggaran HAM dan terkesan otoritarian. Perlu adanya reinterpretasi terhadap pengertian prokreasi untuk memberi kesadaran pada setiap orang tanpa harus memaksa lewat regulasi.

Bagi kalangan Islam konservatif, dalil yang mereka gunakan tentang prokreasi adalah hadis nabi: “tanakahu taktsuru fa inni mubaahin biku al-yauma al-qiyamah”, yang memiliki arti “berkawinlah kalian dan berbanyak-banyak anak agar dapat ku banggakan kalian di hadapan bangsa-bangsa lain di Hari Kiamat kelak.”

Bunyi hadis sangat jelas untuk menghasilkan keturunan sebanyak-banyaknya. Namun perlu diinterpretasi ulang sebagaimana pendapat Gus Dur, bahwa yang dimaksud hadis tersebut adalah jumlah kualitatif bukan jumlah bilangan. Sehingga memperbanyak disini diartikan jumlah orang yang berkualitas, berpendidikan dan berilmu atau menguasai teknologi.

Dengan begitu setiap keluarga akan berlomba meningkatkan kualitas anak-anaknya untuk memperbaiki zaman dan mulai meninggalkan dogma banyak keturunan. Interpretasi ini tentu lebih ekologis dan semakin menjauh dari sikap antroposentris.

Pengertian melahirkan manusia baru dalam prokreasi bisa dimaknai lain, yaitu bukan lagi perkawinan yang menghasilkan manusia baru dalam bentuk fisik, melainkan terbentuknya manusia yang memiliki cara pandang baru terhadap dunia, pendewasaan diri dalam menyikapi persoalan, terutama soal ekologi.

Gus Dur juga berpendapat bahwa ada timbal balik antara keterdidikan dan jumlah anggota keluarga, semakin tinggi tingkat keterdidikan sang anak, semakin sedikit jumlah anggota keluarga. Visi perkawinan yang berusaha memunculkan manusia baru yang berkualitas tentu lebih berguna daripada memunculkan kuantitas manusia baru yang cenderung menyumbang penyempitan ruang hidup.

Atau visi lain perkawinan yang menghasilkan manusia baru, yaitu bukan terfokus pada menghasilkan anak, tapi manusia baru itu adalah suami-istri itu sendiri yang berusaha untuk menjadi manusia yang memiliki wawasan baru dan lebih luas serta mengedepankan cara pandang mereka pada krisis ekologi. Dapat diambil pengertian dalam visi perkawinan bukan melulu soal menghasilkan anak/keturunan.

Leave a Response